Secara historis, jauh di abad 6 SM, manusia pernah berada di satu fase, satu titik di mana segala hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia dan fenomena alam raya, mereka dasarkan kepada sebuah kepercayaan mitologi. Suatu kepercayaan yang berbasis kepada kisah sakral, serta kepercayaan yang menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pelik yang dialami oleh manusia. Termasuk juga pertanyaan-pertanyaan fundamental yang diajukan selama beribu-ribu tahun yang lalu. Seperti siapakah kita, dari mana kita berasal, dan akan pergi kemana kita selanjutnya?
Mitologi Sebagai Alternatif
Kepercayaan ini menjadi jawaban alternatif dari kekosongan dan ketidaktahuan manusia yang telah mengusik akal budi. Sehingga, apabila terdapat suatu kejadian alam raya yang dirasa sulit, atau bahkan tidak terpecahkan oleh pikiran manusia, maka mereka dapat mengambil jawabanya melalui kepercayaan mitologi yang mereka yakini. Meskipun, barangkali secara akal hal itu bertentangan dengan penalaran manusia itu sendiri.
Tetapi mau bagaimanapun juga, mitologi tetap eksis dan berkembang di telinga masyarakat dengan versinya masing-masing. Karena pada saat itu, manusia masih kesulitan mencari jawaban atas alasan di balik terjadinya fenomena-fenomena alam raya. Mereka masih kebingungan mencari alasan mengapa hujan, gempa bumi, hingga kekeringan bisa terjadi. Apa penyebabnya, dan tentu siapa yang melakukanya? Pada saat itu, manusia sama sekali tidak mengetahui jawabanya. Science (Ilmu Pengetahuan) belum lahir, metode pencarian kebenaran pun belum tersusun, Immanuel Kant belum ada dengan paham kritisismenya. Oleh karena itu, kepercayaan mitologi pun mengambil alih pikiran manusia, dan mitos para dewa menjelma menjadi jawaban terhadap semua masalah alam jagad raya.
Dalam buku-buku Filsafat, kisah mitologi banyak sekali ditemukan. Seperti mitologi Greek atau Yunani, hingga mitologi klasik Skandinavia. Dahulu kala, orang-orang Skandinavia percaya bahwa hujan turun diakibatkan karena Dewi Freija (Dewi kesuburan) tengah menangis. Sedangkan guntur terjadi karena ayunan palu dewa Thor yang mengalirkan listrik.
Sedangkan, jauh di timur tengah, di tempat peradaban kuno berkembang, Mesir, manusia juga memiliki kepercayaan mitologi tersendiri. Mereka menyebutnya dewa Rah atau dewa matahari sebagai alasan pertama di balik terjadinya segala fenomena alam. Apapun yang ia katakan, maka itulah yang akan terjadi. Begitulah keyakinan orang-orang Mesir menjelaskan asal-usul dari eksistensi alam raya yang mereka huni. Kepercayaan-kepercayaan semacam inilah yang menjadi keyakinan, serta kunci jawaban orang-orang Yunani, Mesir dan negara-negara lainya dalam mengomentari masalah yang berada diluar jangkauanya.
Dari Mitos Menuju Logos
Kepercayaan manusia terhadap mitos berlangsung cukup lama, serta juga memberikan impact yang signifikan terhadap tatanan sosial masyarakat. Namun berjalanya waku, setelah abad ke 6 SM manusia mulai berani mempertanyakan asal usul, serta dasar dari kebenaran mitologi. Karena bagaimanapun juga, kebenaran yang bersifat mitos sama sekali tidak dapat diukur, dibuktikan, atau pun diuji kebenaranya. Besitan pikiran inilah yang menjadi step keraguan pertama manusia terhadap mitologi.
Di sisi lain, saat keraguan mulai menyelimuti pikiran manusia, di saat yang sama pula nalar manusia mulai tumbuh. Mereka terbuka untuk mempertanyakan jawaban-jawaban yang didasarkan kepada mitos. Selain itu mereka juga memencari jawaban yang dapat memuaskan akal sehatnya, atau jawaban yang berdasarkan pada logos (dalam bahasa lathin memiliki makna “ilmu”). Mengapa demikian? Karena jawaban itulah yang dapat diterima oleh akal serta dapat dibuktikan secara universal. Tidak seperti kebenaran mitos yang hanya bersifat dogmatis. Maka dari kesadaran inilah, paradigma cara berpikir baru mulai terbentuk, cara berpikir yang tidak didasarkan kepada cerita supranatural, melainkan cara pikir yang didasarkan kepada ilmu pengetahuan.
Orang-orang mulai berjalan untuk mencari kebenaran yang didasarkan kepada akal sehatnya. Kebenaran yang dapat diuji, dibuktikan secara akal budi atau pun empiris. Maka, seketika cara pandang manusia terhadap realitas pun berbalik total. Di mana dulu manusia percaya bahwa hujan turun merupakan hasil dari air mata para dewa, sekarang manusia percaya bahwa hujan turun merupakan hasil dari penguapan air yang kemudian terbang dan berproses menjadi awan mendung. Gempa bumi yang mulanya adalah hasil dari campur tangan dewa Rah, sekarang manusia percaya bahwa gempa terjadi karena pergeseran dua lempeng bumi yang saling bertolak belakang.
Dari sini, ilmu pengetahuan mulai lahir satu per satu dengan objek kajianya masing-masing, metode pencarian kebenaran perlahan mulai tersusun dengan sistematis, dan kesadaran manusia akan pentingnya memahami alam jagad raya mulai terintis, maka ilmu pengetahuan pun berkembang pesat, serta memunculkan berbagai didiplin ilmu yang menggeser cara pandang yang bersifat dogmatis. Maka saat itu juga, manusia pun memulai peta perjalanan barunya dalam mencari kebenaran, sebuah kebenaran yang tidak didasarkan kepada mitos, melainkan kebenaran yang didasarkan pada logos.
Oleh: Ahmad Ainun Niam, Redaktur EM-YU.