Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, manusia semakin jauh dari ketenangan, notifikasi gadget, dan rutinitas tanpa jeda menggerus ruang untuk diam dan merenung. Padahal dalam sunyi itulah jiwa manusia menemukan dirinya kembali. Tak heran sekarang banyak orang yang mencari ketenangan ke tempat yang paling sunyi dan jauh dari kediaman manusia, yaitu alam luas baik itu hutan, gunung, maupun taman.
Secara tidak langsung, menyatu dengan alam dapat membuat seseorang lebih merasa tenang dan mengurangi stres. Walaupun hanya bersifat sementara, setidaknya kehidupan manusia ada jedanya untuk menenangkan jiwa yang di mana setiap harinya disibukkan dengan hiruk-pikuk duniawi.
Keheningan yang Membebaskan Jiwa
Di kehidupan modern sekarang ini, semuanya dapat dilakukan dengan instan, kita bisa menyelesaikan banyak hal dalam waktu singkat. Karena semua serba instan manusia jarang merenung, dan fokus pada hasil daripada proses. Setiap hari kita disuguhi informasi, notifikasi, dan tekanan sosial. Jiwa yang seharusnya tenang menjadi gaduh. Dalam kondisi ini kita membutuhkan tempat yang tenang untuk merenung sembari menenangkan diri sejenak.
Maka dari itu alam menghadirkan ketenangan itu melalui puncak gunung, tepi danau, maupun tengah hutan yang di mana terkadang tidak ada sinyal, bahkan tidak ada orang lain. Dalam kondisi ini, manusia dapat mendengar kembali isi hatinya, yang selama ini disibukan dengan urusan duniawi.
Menurut Imam al-Ghazali, diam dan menyendiri (uzlah) adalah salah satu sarana penting untuk mencapai kesucian hati. Ia mengatakan bahwa seseorang akan sulit mencapai kedekatan dengan Allah jika jiwanya selalu sibuk dengan dunia yang hiruk-pikuk.
Alam sebagai Cerminan Jiwa
Bisa kita lihat ketika kita berjalan di tepi hutan dan menatap luasnya samudra, sebenarnya kita bisa bercermin bahwa kita hanyalah sebagian kecil dari ciptaan tuhan
Al qur’an pun mengingatkan:
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ ١٩٠
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.”
Pelajaran Hidup dari Alam
Dari alam kita bisa belajar bahwa semua itu butuh proses dan ketekunan. Seperti halnya pohon yang tumbuh pelan tapi pasti, air air yang menetes secara perlahan mampu melubangi batu yang begitu kerasnya.
Dalam sejarah kenabian, alam sering menjadi tempat perenungan. Nabi Musa AS menerima wahyu di gunung Sinai. Rasullah SAW menyendiri di gua Hira di jabal nur sebelum turunya wahyu pertama. Semua ini menunjukan bahwa alam adalah tempat yang paling baik untuk seseorang menenagkan dirinya sejenak.
Ketika berada di alam luar, kita lebih mudah merasakan kebesaran sang pencipta. Fiersa Besari pernah berkata: “bahwa gunung, meskipun tinggi menjulang, tidak pernah menyombongkan diri dan selalu memberikan manfaat bagi sekitarnya. Dapat kita sadari bahwa kita tidak pernah lebih besar dari ciptaanya.”
Alam bukan hanya tempat rekreasi, tetapi juga tempat refleksi. Ia mengajari kita untuk melambat, merenung, dan kembali kepada kesadaran diri. Di tengah modernitas yang serba cepat, kita butuh kedalaman, dan kedalaman itu sering kita temukan di tengah kesunyian alam. Maka, luangkan waktu untuk keluar dari kebisingan kota. Pergilah ke hutan, duduklah di tepi danau, atau berjalanlah di kaki gunung. Biarkan alam membisikkan makna hidup, dan biarkan jiwa kembali menemukan rumahnya.
Oleh: Eko Nur Wahyudi, Santri Mansajul Ulum sekaligus Mahasiswa IPMAFA Pati.