Menu

Mode Gelap

Opini Santri · 2 Sep 2025 10:36 WIB ·

Santri Melek Politik: Perlu atau Tabu?


 Santri Melek Politik: Perlu atau Tabu? Perbesar

Perdebatan tentang keterlibatan santri dalam politik selalu menarik sekaligus kontroversial. Di satu sisi, ada pandangan bahwa santri harus fokus pada urusan akhirat dan menjauhi “kotornya” dunia politik. Di sisi lain, ada yang berargumen bahwa santri sebagai warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertanyaan mendasar pun muncul: haruskah santri bicara politik, ataukah lebih baik diam saja demi menjaga “kesucian” spiritual mereka.

Santri dalam Dunia Politik

Santri tidak hanya boleh, tetapi wajib terlibat dalam politik, dengan syarat keterlibatan tersebut dilandasi prinsip-prinsip moral yang jelas dan diorientasikan untuk memperjuangkan kemaslahatan umat. Politik yang saya maksud di sini bukanlah politik dalam pengertian sempit sebagai perebutan kekuasaan atau ajang kepentingan pribadi, melainkan politik sebagai upaya untuk memperjuangkan keadilan, kesejahteraan rakyat, dan tegaknya nilai-nilai moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sejarah Indonesia dengan gamblang menunjukkan bahwa santri tidak pernah benar-benar terpisah dari dunia politik. Bahkan, dalam momen-momen krusial bangsa, santri justru tampil sebagai garda terdepan yang memberikan legitimasi moral dan kekuatan riil untuk perubahan.

Keterlibatan Santri dalam Politik

Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), menjadi bukti nyata keterlibatan politik santri yang sangat strategis. Ketika Belanda hendak kembali menjajah Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan, Presiden Soekarno sendiri meminta arahan kepada Kiai Hasyim, yang kemudian menginstruksikan PBNU untuk mengadakan rapat pada 21-22 Oktober 1945 di Surabaya. Resolusi tersebut mewajibkan setiap muslim untuk membela dan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dari serangan penjajah, dengan semangat jihad yang sama menyebar ke seluruh Indonesia.

Peran politik santri berlanjut dalam dinamika ketatanegaraan Indonesia modern. Pada era Konstituante (1955-1959), NU aktif dalam perdebatan fundamental tentang dasar negara, memperjuangkan keseimbangan antara nilai-nilai Islam dan Pancasila. Keterlibatan ini bukan tanpa makna santri membuktikan kemampuan mereka dalam diskursus politik yang substansial, bukan sekadar mobilisasi massa.

Puncak dari tradisi keterlibatan politik santri adalah terpilihnya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden Keempat Republik Indonesia pada tahun 1999-2001. Sebagai seorang ulama sekaligus cendekiawan yang lahir dan besar dalam tradisi pesantren, Gus Dur membuktikan bahwa santri bisa menjadi pemimpin bangsa yang inklusif dan demokratis.

Politik sebagai Tanggung Jawab Setiap Warga Negara

Dari perspektif kewarganegaraan, keterlibatan santri dalam politik adalah konsekuensi logis yang tidak bisa dihindari. Santri, bagaimanapun juga, adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban konstitusional yang sama dengan warga negara lainnya. Dalam sistem demokrasi, partisipasi politik bukan hanya hak, tetapi juga tanggung jawab moral setiap warga negara.

Logikanya sederhana, jika santri adalah warga negara, dan warga negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih, menyampaikan aspirasi, serta mengkritisi kebijakan pemerintah, maka santri otomatis memiliki hak dan kewajiban yang sama. Menolak keterlibatan politik santri sama saja dengan menolak hak kewarganegaraan mereka, yang secara substantif bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi.

Lebih dari itu, dalam konteks Indonesia yang majemuk, suara santri justru dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan dan memberikan perspektif moral dalam dinamika politik yang sering kali pragmatis. Tanpa keterlibatan santri, arena politik bisa didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang tidak memiliki landasan nilai moral yang kuat.

Politik Bentuk dari Konsep khalifah

Dari sisi normatif keagamaan, ajaran Islam justru mewajibkan keterlibatan dalam urusan publik, termasuk politik. Konsep khalifah dalam Islam menegaskan bahwa manusia adalah wakil Allah di bumi yang bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan dan kebaikan. Tanggung jawab ini tidak terbatas pada urusan pribadi, tetapi meluas pada urusan kemasyarakatan dan kebangsaan.

Prinsip amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) secara eksplisit mengharuskan setiap muslim, termasuk santri, untuk tidak berdiam diri ketika melihat ketidakadilan atau kebijakan yang merugikan rakyat. Dalam konteks sistem demokrasi, politik adalah salah satu arena paling efektif untuk mewujudkan prinsip ini.

Konsep maslahah (kemaslahatan umum) yang menjadi landasan fikih Islam juga menuntut orientasi pada kesejahteraan bersama. Politik, dalam pengertian yang benar, adalah upaya untuk mewujudkan maslahah tersebut melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat dan keadilan sosial.

KH Abdurrahman Wahid, dalam berbagai ceramah dan tulisannya, sering menekankan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat. Memisahkan keduanya justru bertentangan dengan ajaran Islam yang holistik dan komprehensif. Tentu saja, keterlibatan santri dalam politik bukannya tanpa risiko dan tantangan. Kritik yang sering muncul layak untuk direspons secara serius dan konstruktif.

“Politik itu kotor, santri akan tercemari.” Memang benar bahwa praktik politik di Indonesia sering kali jauh dari ideal, korupsi, nepotisme, dan politik uang masih menjadi penyakit kronis. Namun, justru karena politik sering kotor, dibutuhkan orang-orang berintegritas seperti santri untuk membersihkannya. Dengan tidak terlibat sama sekali, santri justru membiarkan politik dikuasai oleh orang-orang yang tidak memiliki landasan moral yang kuat. Yang dibutuhkan bukanlah menjauh dari politik, melainkan berpolitik dengan cara yang benar.

“Santri harus fokus pada urusan akhirat.” Pandangan ini mencerminkan pemahaman dikotomis yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Islam tidak pernah memisahkan antara urusan dunia dan akhirat. Memperjuangkan keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, dan tegaknya nilai-nilai moral justru merupakan bagian dari ibadah kepada Allah Swt. Konsep rahmatan lil alamiin (rahmat bagi seluruh alam) mengharuskan keterlibatan aktif dalam urusan kemanusiaan, termasuk politik.

“Keterlibatan politik akan memecah belah umat.” Yang memecah belah bukanlah politik itu sendiri, melainkan cara berpolitik yang salah. Politik yang dilandasi prinsip-prinsip moral, mengutamakan persatuan, dan berorientasi pada kemaslahatan bersama justru bisa memperkuat persatuan umat. Sebaliknya, tidak berpolitik sama sekali juga tidak menjamin terciptanya persatuan, karena kekosongan suara moral dalam politik bisa dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan yang justru memecah belah.

Prasyarat Sebelum Terjun dalam Politik

Mengakui pentingnya keterlibatan santri dalam politik tidak berarti mengabaikan tantangan dan risikonya. Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar keterlibatan politik santri benar-benar memberikan kontribusi positif bagi bangsa.

Pertama, santri harus dibekali dengan pemahaman politik yang sehat dan komprehensif. Mereka harus memahami sistem demokrasi, mekanisme checks and balances, dan prinsip-prinsip good governance. Tanpa pemahaman ini, keterlibatan politik santri bisa menjadi kontraproduktif.

Kedua, kemampuan berpikir kritis harus diasah secara konsisten. Santri harus mampu menganalisis isu-isu kompleks dengan objektif, tidak mudah terjebak dalam fanatisme buta atau politik identitas yang dangkal.

Ketiga, integritas moral harus menjadi fondasi yang tidak bisa ditawar. Keterlibatan politik santri harus selalu dilandasi oleh prinsip-prinsip yang jelas tidak untuk kepentingan pribadi atau golongan, tidak menggunakan agama sebagai komoditas politik, dan selalu mengutamakan kemaslahatan umat di atas segalanya.

Keempat, santri harus mampu menjadi jembatan dalam masyarakat yang majemuk. Mereka harus bisa mengomunikasikan nilai-nilai Islam dengan bahasa yang dipahami oleh semua kalangan, tidak eksklusif atau fanatis.

Dengan bekal keilmuan agama yang kuat, tradisi nilai moral yang mengakar, dan semangat pengabdian yang tinggi, santri memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan dalam politik Indonesia. Mereka bisa membawa angin segar dalam dunia politik yang sering kali didominasi oleh pragmatisme dan kepentingan jangka pendek.

Selain itu, santri juga bisa menjadi jembatan dalam masyarakat yang semakin terpolarisasi. Dengan tradisi toleransi dan moderasi yang kuat, mereka bisa menjadi kekuatan penyeimbang di tengah arus radikalisme dan liberalisme yang sama-sama mengancam keutuhan bangsa.

Hal mendesak yang dibutuhkan sekarang adalah komitmen dari dunia pesantren untuk memberikan pendidikan politik yang berkualitas kepada santri-santrinya. Bukan pendidikan politik dalam arti partisan, melainkan pendidikan tentang sistem demokrasi, civic engagement, dan leadership yang bertanggung jawab.

Dengan landasan iman yang kuat, ilmu yang mendalam, dan komitmen pada kemaslahatan umat, santri bisa menjadi motor penggerak transformasi politik Indonesia menuju arah yang lebih beradab dan bermartabat. Sejarah mencatat bahwa santri selalu tampil di garda terdepan ketika bangsa membutuhkan pemimpin yang berintegritas. Kini saatnya generasi santri masa kini melanjutkan estafet mulia tersebut. Wallahu ‘alam.

Oleh: Mohammad Himam ‘Awaly, Santri Mansajul Ulum sekaligus Mahasiswa IPMAFA Pati.

 

Referensi

¹ UICI, “Hari Santri Nasional: Sejarah Resolusi Jihad dan Naskah Lengkapnya,” https://uici.ac.id/hari-santri-nasional-sejarah-resolusi-jihad-dan-naskah-lengkapnya/ (Diakses 25 Juli 2025)

² Detik, “Sejarah dan Isi Teks Resolusi Jihad, Dasar Ditetapkannya Hari Santri Nasional,” https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-7600679/sejarah-dan-isi-teks-resolusi-jihad-dasar-ditetapkannya-hari-santri-nasional (Diakses 25 Juli 2025)

³ Detik, “Naskah Resolusi Jihad Hari Santri 22 Oktober, Sejarah, dan Penetapannya,” https://www.detik.com/sulsel/berita/d-7598489/naskah-resolusi-jihad-hari-santri-22-oktober-sejarah-dan-penetapannya (Diakses 25 Juli 2025)

⁴ Museum Kepresidenan RI – Balai Kirti, “Presiden Gus Dur: Bapak Pluralisme,” https://museumkepresidenan.id/artikel/bapak-pluralisme/ (Diakses 25 Juli 2025)

⁵ P2K Stekom, “Abdurrahman Wahid,” https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Abdurrahman_Wahid (Diakses 25 Juli 2025)

 

 

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 97 kali

Baca Lainnya

TRANS7: Kecerobohan Jurnalistik yang Melukai Santri

14 Oktober 2025 - 18:20 WIB

Degradasi Norma Sosial di Era Digital

30 September 2025 - 14:12 WIB

Menjadi Santri di Era FOMO: Pelan, Tapi Pasti

23 September 2025 - 12:17 WIB

Membaca: Obat Penawar Alzheimer

16 September 2025 - 14:15 WIB

Penyakit Hati: Penghalang Tugas Manusia

9 September 2025 - 12:58 WIB

Begadang: Antara Hikmah dan Resiko Medis

26 Agustus 2025 - 13:36 WIB

Trending di Opini Santri