KOLOM JUM’AT CXXXIII
Jum’at, 3 Oktober 2025
Kiai dan ulama mengamini bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara sebagai makhluk Allah. Keduanya tidak memiliki perbedaan melainkan kualitas ketaqwaan di hadapan-Nya. Mereka, laki-laki dan perempuan memiliki peran dan kewajiban yang sama untuk beriman, beribadah dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar (menegakkan kebaikan dan menghindari kebatilan). Demikian halnya laki-laki dan perempuan wajib menuntut ilmu pengetahuan, artinya mereka berhak memiliki akses pendidikan yang sama sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan.” Pada redaksi hadist ini, kata ‘wajib’ dimaknai dengan kata ‘faridatun’ bukan ‘fardun’ di mana kata fardun berarti wajib sedang faridatun itu sangat wajib yang ditandai pada huruf ta’ pada faridatun yang berfaidah mentaukidi (menekankan) yang dapat ditafsirkan bahwa menuntut ilmu mempunyai level kewajiban yang tinggi.
Dewasa ini, laki-laki dan perempuan sudah diberikan akses pendidikan yang sama dalam mendapatkan multidisiplin ilmu, baik agama maupun sosial di pesantren. Namun, ketika sudah memasuki ranah operasional dan praktis, sterotipe akan kesetaraan ini belum sepenuhnya. Misalnya dalam tataran pendelegasian atau pengimplementasian ilmu yang masih tetap berada di naungan laki-laki. Perempuan kurang diberikan ruang untuk performing ilmunya, seperti menjadi pendidik di lingkup pesantren. Rata-rata laki-laki memiliki porsi besar untuk menjadi pendidik, baik di wilayah santri putra atau putri. Sebagian besar yang mengajar kitab kuning atau salaf didominasi oleh guru laki-laki, sedangkan perempuan jarang diberikan tempat untuk mengimplementasikan ilmu yang sama dengan laki-laki.
Di sisi lain, perempuan ditempatkan pada ranah kerja domestik, sementara laki-laki berada di ranah sosial dan publik. Peran tersebut membatasi antara kapasitas laki-laki dan perempuan di lingkup pesantren. Dapat dikatakan, budaya patriarki masih menyisakan banyak tradisi yang tidak dapat hilang dalam waktu singkat. Diskursus mengenai isu perempuan di pesantren ini telah menjadi promblematika eksklusif untuk dinarasikan di internal pesantren dan ranah publik. Isu seperti ini masih dipahami sebagai nilai baru, bahkan dikhawatirkan dapat merusak tradisi yang telah ada.
Suatu pengecualian, misalnya, di Pesantren Putri al Badliyyah (Pesilba) Kajen, Pati, di mana pendirinya ialah Nyai Nafisah Sahal, sosok ulama perempuan pesantren yang berkiprah di berbagai bidang. Baik bidang pendidikan, politik dan sosial keagamaan. Beliau mampu menunjukkan bahwa perempuan yang sering dimarginalkan perannya, harus diberikan askses untuk berkiprah di ruang publik bukan lagi soal urusan domestik saja. Kesempatan perempuan di ranah publik tentu membangun kesataraan gender dengan menjadi pendidik untuk mendelegasikan ilmu yang sama-sama didapat di pesantren.
Partisipasi perempuan menjadi seorang pendidik akan menjadi titik start perempuan pesantren untuk berani tampil baik masih terjebak bias gender atau pun tidak. Pada hal ini pentingnya untuk mengaktualisasi nilai-nilai fiqh dalam membangun kehidupan yang adil terhadap perempuan di pesantren. Hal tersebut akan melibatkan interpretasi secara kontekstual dan iklusif yang sejalan dengan ajaran agama Islam untuk diimplementasikan dalam realitas zaman. Tujuannya agar perempuan di pesantren diperlakukan secara adil, mendapatkan kesampatan yang sama dan mempunyai akses penuh di bidang pendidikan dan pemberdayaan.
Langkah preventif yang dapat dilakukan yang pertama adalah studi fiqh yang berprespektif kesetaraan di mana pesantren perlu mengiktikadkan jika studi fikih meliputi kesetaraan gender. Hal ini menyertakan interpretasi pada teks-teks agama yang membahas tentang perempuan yang lebih inklusif.
Pada studi fiqh, banyak konteks yang harus dipertimbangkan di antaranya yakni sosial, budaya dan perkembangan zaman untuk menciptakan hukum-hukum Islam kontemporer yang adil bagi Perempuan.
Kedua, pesantren perlu memfasilitasi perempuan dalam hal pelatihan dan pembinaan. Hal ini sebagai bentuk dukungan pesantren terhadap perkembangan perempuan yang mampu berkiprah dalam konteks agama maupun masyarakat. Langkah ini dapat mengatasi sterotipe gender yang mungkin masih relevan serta memberikan perempuan kesempatan penuh untuk berkontribusi di bidang yang signifikan.
Ketiga, pesantren mampu menghadirkan kajian kritis terhadap tradisi dan sosial budaya yang belum selaras dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam agama Islam. Hal seperti ini menjadi ikhtiar pesantren dalam mengatasi praktik yang dapat merugikan pihak perempuan.
Keempat, pesantren dapat mengoptimalkan dan mengadvokasi kurikulum yang lebih inklusif, meliputi isu-isu gender dan pemberdayaan perempuan dengan memasukkan literatur ulama kontemporer. Realisasi kurikulum pesantren ini dapat disampaikan dalam pelajaran fiqh, adab dan memberikan penjelasan tentang urgensi pendidikan sensitif gender di pesantren. Sehingga penting bagi pesantren untuk menciptakan pendidikan yang mengawal kesetaraan gender karena pesantren adalah basis pengembangan ilmu salaf dan modern yang mampu berperan sebagai agen perubahan dalam pengembangan dan pemberdayaan umat.
Kelima, pesantren mampu memastikan partisipasi perempuan pada persoalan operasional dan praktis dengan memberikan banyak ruang untuk mengimplementasikan ilmunya. Hal ini mampu menunjukkan komitmen pesantren terhadap kesadaran dan inklusivitas yang relevan. Sehingga tidak ada hambatan bagi perempuan untuk menjadi seorang pendidik di pondok pesantren, karena keduanya memiliki akses pendidikan yang sama dan sebagai objek yang setara. Syaratnya dapat bertanggung jawab terhadap apa yang diajarkan, mengajarkan akhlakul karimah (adab mulia), menegakkan kemaslahatan dan menjadi panutan bagi santri.
Beberapa langkah untuk mengaktualisasi fikih dalam membangun kehidupan yang adil terhadap perempuan di pesantren adalah proses berkelanjutan dan memerlukan dukungan dari seluruh elemen pesantren, ulama, pemerintah dan masyarakat. Langkah preventif tersebut dapat menjadi jawaban atas problematika selama ini. Perempuan memang seharusnya mendapatkan ruang untuk mengembangkan peranan dan partisipasinya di pesantren melalui interpretasi nilai fiqh yang kontekstual dan inklusif. Wallahu ‘alam.
Oleh: Vida Atiatul Izza, salah satu peserta nominator terbaik ke-18 Festival Literasi Santri 2023 yang diadakan oleh Pesantren Mansajul Ulum.