Hari itu adalah hari yang cerah. Aku dengan teman-temanku tengah melihat kirab haul si Mbah Sardi yang ke-79. Sebagian temanku ada yang membeli jajan. Sebagiannya lagi ada yang jalan-jalan, bahkan ada yang dijenguk orang tuanya bersama puluhan santri pondok lain. Seharusnya perayaan hari itu berjalan dengan lancar, namun akhirnya terjadi sebuah ledakan di bagian depan kirab yang membuat orang-orang berhamburan.
DUAR..!!
Ledakan itu disertai pecahan kaca panas dan tumpahan solar yang terbakar.
“Woi, paham aturan tidak itu!”
“Siapa itu!”
“Heh!”
“Woi!”
“Orang gila! Baru ada acara haul malahan bikin rusuh!”
Begitulah kira-kira reaksi para warga dan santri yang terkejut. Melihat kejadian tersebut sebagian ada yang kabur, sebagian lagi mencari pelakunya. Di antara para korban yang terluka akibat bom molotov itu adalah aku. Setelah kejadian itu tampak beberapa pemuda yang menggunakan pakaian serba hitam berlari ke arah teman-temanku. Wajah mereka terlihat buas layaknya singa yang ingin menerkam mangsanya.
“Kang, bagaimana ini?” tanya seorang santri.
“Pulang saja, Kang, kembali ke pondok.” jawab seorang pemuda.
“Kamu bagaimana, Kang?” tanyaku.
“Sudah, biar aku yang urus dengan teman-teman yang lain. Kamu obati saja lukamu.”
Setelah itu tampak beberapa temannya mulai berkumpul. Aku mengerti, ternyata mereka adalah keamanan kirab yang berusaha melindungi kami. Aku dan teman-teman pun bergegas berlari menuju pondok.
***
“Loh, ada apa lagi?” tanya Wagiman yang terkejut melihat tanganku berdarah.
“Tadi waktu kirab ada perusuh melempar bom molotov” jawabku.
“Kok bisa bagaimana, sampai berdarah parah gini.” tanya Munir yang juga panik menyaksikan darah menetes.
“Aku tidak terkena bom, tapi pecahan kacanya.”
“Ya sudah, ayo tak bantu rawat lukamu.”
Dengan terampil Munir membersihkan lukaku. Ia sangat berhati-hati waktu memasangkan perban di tanganku.
“Bagaimana tadi detail kejadiannya? tanya Wagiman.
“Tiddak tahu, aku tidak melihat, tapi intinya ada orang asing yang melempar bom molotov.”
“Hmm… berarti kamu tidaak mengerti penyebabnya apa?”
“Tidak.”
“Aduh, aduh..!”
“Maaf, Din. Kekencangan nariknya.”
Semua orang yang di situ pun sepakat untuk tertawa bersama kecuali Wagiman.
“Udah-udah, coba tanya kang Mukidi, dia kan di kantor bawa HP.”
“Oh iya, ide bagus itu.” ucap Munir.
Aku pun bergegas menuju kantor untuk menemui kang Mukidi yang sedang berjaga.
***
“Assalammualaikum. Ikanmu beranak, Kang.” Sapaku saat masuk kantor
“Waalaikumsalam, mana-mana?” tanya kang Mukidi.
“Tidak tahu.”
“Loh? Kamu belum pernah ngerti rasanya dipukul orang buntung?”
“Tidak tahu dan tidak pernah ingin tahu. Aku hanya ingin berbincang sebentar dengan Anda, Kang.” balasku sambil senyum-senyum.
“Jadi apa yang ingin Anda bicarakan dengan saya?” tanya kang Mukidi.
“Jadi gini, Anda tahu ini hari apa?”
“Tentu saja, ini adalah hari Rabu yang bertepatan dengan haul si mbah Sardi yang ke-79.”
“Benar, apakah Anda tahu kejadian yang barusan terjadi?”
“Oh…itu ya tidak tahu. Kabar burungnya itu ada tawuran antar pemuda, aku tadi lihat di HP.”
“Ya itu, Kang. Aku terkena bala’ gara-gara itu.” Aku memperlihatkan lukaku seketika wajah kang Mukidi terlihat marah.
“Loh, kamu diapakan, Din!”
“Tenang-tenang, Kang, cuma perih dikit.”
“Tidak bisa, aku diamanah orang tuamu buat jagain kamu. Biar aku memanggil bantuan.” kang Mukidi langsung berdiri dan terlihat menarik nafas panjang.
“AAAAlululululu!” teriaknya.
“Loh? Kang, kamu ngapain?” tanyaku terkejut, baru pertama kali ini melihat makhluk di depanku melolong.
“Tunggu sebentar.” katanya sambil tetap melihat ke arah depan. Seketika dari arah pepohonan ada beberapa orang yang berlari ke arah kami, aku pun sangat terkejut.
“Makhluk apalagi ini?” ucapku dalam hati. Mereka semakin dekat, dan saat di depan pintu aku melihat ada yang seperti ingin menerobos masuk tapi ternyata.
“P” sapa makhluk tadi sambil membuka pintu.
“Apaan itu?” tanyaku polos.
“Ini Paropa, bala bantuanku. Paropa, kenalin ini Udin, temanku” kata kang Mukidi memperkenalkan kami.
“Siap, Kang Mukidi” jawab paropa
“Paropa, kamu aku kasih perintah. Nanti kalau Udin ngirim sinyal kamu samperin. Bantuin dia, siap?” minta kang Mukidi.
“Siap, Kang.”
“Nah, ini ada rezeki buat makan 6 orang.” kata kang Mukidi sambil mengeluarkan uang.
“Siap, Kang, AAAAlululululu!” jawab para paropa yang mulai meninggalkan kantor.
“Apa itu, Kang?” tanyaku penuh penasaran.
“Itu tidak penting, ini uang dari orang tuamu. Barusan kamu dikirimin.” Ucap kang Mukidi sambil memberiku uang ratusan ribu.
“Alhamdulillah, ada rezeki!” jawabku penuh bersemangat.
“Kang, pinjam motor ya, sudah lapar aku.”
“Isi bahan bakar sekalian.” ”
“Laksanakan.”
Aku pun keluar dari kantor lalu mengajak Wagiman makan sambil berkata,
“Saatnya mengendarai motor tua.”
“GAS!” sahut Wagiman.
***
“Buk, Makan.” mintaku ke ibu penjual.
“Nggih, Kang, pakai lauk apa?” tanya ibu penjual sambil mengambil nasi.
“Seperti biasanya, sambel, gorengan tiga, sayur asem, kaleh rica-rica, Buk” sahut Wagiman dengan berdiri.
“Anak ini, aku pecel sama gorengan, Buk”
“Bagaimana? Sudah bertanya kang Mukidi?”
“Sudah, katanya kang Mukidi tadi kabar burungnya itu tawuran antar pemuda RT.” jawabku.
Ibu penjual pun memberikan makanan kami. Setelah selesai membayar, aku melihat ada beberapa pemuda yang duduk-duduk di depan warung sambil merokok. Waktu melihat kami mereka langsung berdiri berjalan ke arahku.
“Hei..” kata seorang pemuda yang menurutku suaranya sangat tinggi
“Kamu tadi lihat Kirab di barisan depan kan?”
“Terus kenapa?”jawabku ketus.
“Loh, malah nantangin.” kata pemuda itu sambil mengepalkan tangannya.
“Ya benar kan? Kamu tanya aku jawab” jawabku lebih ketus.
“O.., mau cari masalah kamu ya?” tantang pemuda satunya sambil mendorong ku.
BUK!!
BRAK!!
Aku reflek meninju wajah pemuda itu sampai terjatuh tak sadarkan diri.
“Waduh!” kataku.
“Woy!!”
“AAAAlululululu!!” teriakku.
“Malah teriak-teriak di hutan apa?” ejek pemuda itu.
Dari kejauhan aku melihat para paropa berlari ke arahku. Akhirnya, bantuan telah tiba.
“Siapa orangnya, Kang Udin?” tanya paropa yang besar saat berdiri di sampingku.
“Musuh, tunggu arahanku untuk menyerang.” jawabku.
“Huh.., serang!!” teriak pemuda itu.
“Serang!!” teriakku tak mau kalah.
Para paropa mulai memukuli pemuda itu. Hebat! 6 paropa memukul mundur 8 pemuda. Pertarungan terlihat tidak seimbang sehingga salah satu pemuda mengambil balok kayu besar dan memukul paropa kecil.
Plak!!
“Pukulannya ditangkap, tapi paropa kecil sangat lemah”
DUK!!!
Salah satu pemuda menendangnya dari belakang hingga terjatuh.
“Ini! Rasakan!” kata pemuda itu sambil mengayunkan balok kayunya ke arah paropa.
Byurr!
Tiba-tiba seorang bapak-bapak minyiram si pemuda.
“Aduh, apa ini! Baunya kok gini? ujar salah satu pemuda.
“Uhuk..” salah satu dari mereka terlihat ada yang ingin muntah.
“Hei… itu kencing kambingku, enak kan? Tambah lagi? Bikin rusuh saja di sini. Hah!” bentak bapak yang menyiram pemuda tadi dengan galak. Ternyata bapak itu tidak sendirian, dia bersama beberapa temannya dan terlihat marah.
“Eh, hm.., maaf, Pak, salah sangka, saya kira ini tadi musuhku. Hehe, izin pamit, Pak.” kata si pemuda sambil hendak pergi. Namun mereka kurang cepat
“Eits, mau kemana?” dengan sigap bapak-bapak tadi menangkap pemuda itu.
“Lah, ini kenapa kok tidur di tanah?” tanya salah satu bapak-bapak ketika melihat pemuda yang kutinju tadi.
“Mengantuk niku, Pak” sahutku.
“Oh, sudah lama, Kang?”
“Barusan, Pak. Dia kena tonjok sekali langsung jatuh.”
“Kamu berdua tidak apa-apa, Kang?”
“Tidak, Pak. Terima kasih banyak.”
“Iya, Kang. Kebetulan ada anak santri, coba jelaskan kenapa kamu menyerang dan bikin rusuh waktu Kirab tadi?”
“JAWAB!!” tanya bapak-bapak tadi lebih tegas.
“Aku sakit hati, Pak” jawab pemuda itu.
“Sakit hati? Sakit hati kenapa!”
“Sekarang anak-anak santri mulai suka bikin tongkrongan di warung kopi langganan kami.”
“Lalu kenapa?”
“Mereka sukanya pada membawa kitab lalu ngaji bersama-sama. Aku dan teman-teman sangat terganggu degan perilakunya.”
“Oh, berarti kamu suka kalau tidak ada orang yang ngaji? Biar cepat kimat? Heh! Gitu!”
“Tidak gitu, Pak. Kenapa kok harus di warung kopi. Kan ada tempat yang lain. Kenapa juga harus di warung kopi langganan kami.”
“Justru kamu ngapain di warung kopi setiap malam. Begadang sampai lupa untuk menyembah Tuhan. Seperti anak-anak santri ini harus dicontoh. Belajar ngaji biar jadi orang aji.”
Para pemuda tersebut seketika terdiam.
“Jadi hanya gara-gara masalah sekecil itu kamu menyerang mereka waktu Kirab?
“Iya, Pak” jawab para pemuda tersebut serentak.
“Nah, ini contoh mental anak-anak jaman sekarang yang kurang mendapatkan didikan. Jangan baperan, orang baik-baik pada ngaji kok dimusuhi. Ya gini contoh rusaknya zaman yang mendekati hari akhir.”
“Sudah, pada saling maafan sana.”
Para pemuda itu pun menghadap ke arahku sambil malu-malu untuk berbicara.
“Maaf ya, Kang. Gara-gara tingkah kami kalian jadi terkena masalah.”
“Ya sudah tidak apa-apa. Namanya manusia pasti tidak luput dari yang namanya berbuat salah.”
Kami pun bersalaman satu per satu.
“Lah.., gini kan enak saling rukun. Sudah jangan duilangin lagi masalah kayak gini.”
“Iya, Pak. Saya sadar kalau belajar ilmu itu lebih penting dari pada kegiatan nongkrong kami setiap malam. Aku jadi ingin mondok biar bisa ikut seperti mereka. Aku ingin belajar ngaji biar bisa jadi orang yang aji.” jawab si pemuda dengan lembut.
“Lah, gitu loh yang saya harapkan. Kamu boleh ikut mondok setelah kamau selesai tanggung jawab atas ulah yang kamu lakukan.”
***
Tiga bulan telah berlalu semenjak kejadian itu. Pemuda itu pun akhirnya mondok di tempat yang sama sepertiku. Waktu aku kenalan dengannya ternyata ia memiliki nama Putra. Aku pun mulai akrab dengannya. Aku sadar ternyata kunci kerukunan itu ada pada diri kita sendiri, jika kita mudah tersinggung maka kita akan menganggap orang lain seperti sedang mengikuti hati kita. Kami pun menjadi teman akrab dan sering berdiskusi perihal ilmu agama yang wajib kita pelajari.
Karya: Alfian Ardiansyah, santri Mansajul Ulum.










