KOLOM JUM’AT CXXXVII
Jum’at, 28 November 2025
Dalam kajian politik Islam sunni, khususnya pada masa Imam Al Ghazali, kriteria menjadi pemimpin menjadi isu yang sangat penting untuk dibahas. Secara umum, terdapat dua ukuran utama dalam menentukan pemimpin, yaitu memiliki kemampuan yang istimewa dan mempunyai garis keturunan suku Quraisy.
Penetapan nasab sebagai syarat kepemimpinan didasarkan pada hadis yang mengatakan bahwa “Para imam itu berasal dari suku Quraisy.” Dalam konteks sosiologis pada masa itu, suku Quraisy juga mempunyai posisi sentral dalam tatanan sosial masyarakat. Dijelaskan dalam NU Online bahwa suku Quraisy pada masa pra Islam telah menjadi penguasa dan penjaga Ka’bah. Terkait dengan peran sentral suku Quraisy dalam tatanan sosial, dijelaskan dalam sebuah hadits dikatakan bahwa,
قال النبي – صلى الله عليه وسلم -: إن الله فضل قريشًا بسبع خصال – لم يعطها أحدًا قبلهم ولا يعطيها أحدًا بعدهم -: إن الخلافة فيهم، وإن الحجابة فيهم، وإن السقاية فيهم، وإن النبوة فيهم، ونصروا على الفيل، وعبدوا الله سبع سنين لم يعبده أحد غيرهم، ونزلت فيهم سورة لم يذكر فيها أحد غيرهم
Artinya: “Allah memuliakan kaum Quraisy dengan tujuh keistimewaan yang tidak diberikan kepada siapa pun sebelum atau sesudah mereka: kekhalifahan ada pada mereka, tugas menjaga Ka’bah (hijabah) ada pada mereka, tugas memberi minum jamaah haji (siqayah) ada pada mereka, kenabian ada pada mereka, mereka ditolong dari serangan pasukan gajah, mereka menyembah Allah selama tujuh tahun ketika tidak ada kaum lain yang melakukannya, dan satu surah diturunkan khusus untuk mereka tanpa menyebut kaum lain,”
Mekanisme Pemilihan Pemimpin
Walaupun demikian, dalam kitab Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad, Imam Ghazali mempunyai pandangan bahwa pemimpin, dalam kondisi ideal, harus berasal dari suku Quraisy. Walaupun pada realitasnya, legitimasi kepemimpinan juga berasal dari mandat dan kekuasaan. Menurut beliau, setidaknya terdapat 3 jalur dalam melegitimasi pemimpin, yaitu penunjukkan langsung oleh Nabi Muhammad Saw, dipilih oleh penguasa sebelumnya, dan dipilih oleh komandan militer atau umara’.
Puncak dari pandangan Imam Al-Ghazali terlihat jelas saat terjadi situasi krisis atau kekosongan kekuasaan. Bagaimana jika seorang pemimpin muncul bukan melalui pemilihan yang ideal, melainkan melalui kudeta atau penguasaan paksa, namun ia mampu mengendalikan situasi?
Beliau berpendapat bahwa jika seorang figur Quraisy atau bahkan tidak berasal dari suku Quraisy dalam kondisi darurat, kemudian mengangkat dirinya sendiri (Imaratul Istila’) dan berhasil menggalang ketaatan serta menjaga ketertiban, maka ia sah menjadi pemimpin. Hal ini dikarenakan menolak pemimpin yang sudah mapan berkuasa hanya akan memicu pemberontakan, pertumpahan darah, dan kekacauan sosial (chaos atau fitnah).
Dalam pandangan Sunni yang diwakili Imam Al-Ghazali, menjaga ketertiban umum dan keselamatan nyawa umat jauh lebih prioritas daripada memaksakan prosedur pemilihan yang ideal namun berpotensi memicu perang saudara. Jika pemimpin tersebut mampu membawa rakyat pada kebaikan dan menegakkan hukum layaknya seorang hakim yang adil, maka kepemimpinannya adalah sah dan wajib ditaati. Wallahu a’lam.
Oleh: Salman Akif Faylasuf, Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.










