Menu

Mode Gelap

Cerpen · 29 Mar 2024 18:30 WIB ·

Belajar dari Ilmu Padi


 Belajar dari Ilmu Padi Perbesar

“Ada yang berjuang demi menjadi bintang terang, dengan dibersamai tangis yang pekat, juga tawa membuncah, dan bumi untuk pulang.”

 

          Waktu terus berlalu, tak terasa hari itu pun akan tiba, hari yang ditunggu-tunggu oleh seluruh umat Islam khususnya, terlebih bagi santri pondok pesantren Al-Munawwir Jepara yang selalu bergembira atas kedatangannya. Di balik kegembiraan itu, para santri akan disibukkan dengan mengaji kitab kuning setiap waktunya.

          Tidak dengan gus Aji, ia merupakan salah satu putra dari KH. Ma’ali Al-Qudsi yang mempunyai jiwa satria, ia dikenal dengan sosok orang yang lemah lembut, tidak sombong, tawadlu’, ramah dengan semua orang, dan juga tampan sehingga banyak yang suka kepadanya. Tapi, saat ini ia masih dibingungkan untuk mau ngaji posonan di mana. Hal ini dikarenakan setiap menjelang bulan Ramadhan, KH. Ma’ali Al-Qudsi selaku Abahnya selalu mewajibkan ia untuk ikut ngaji kitab kuning di pondok lain. 

          Di suatu malam yang dibersamai suara gemerecitan bambu, arus angin menyambar ke arah halaman pondok mengenai seorang berpeci hitam yang sedang merenung di atas kursi dari rotan. Ia sedang mendiktekan kerumitan yang tengah dialami olehnya. Lalu, lamunannya tiba-tiba pecah akibat suara yang memanggil namanya.

“Aji…..” tutur Kiai Ma’ali sambil menepuk pundak gus Aji.

“Iya, Bah. Ada apa?” jawab gus Aji terkejut.

“Kamu ini lagi ngelamunin apa, coba cerita sama Abah.”

“Jadi begini, Bah, kan Abah yang dulu mewajibkan saya setiap Ramadhan harus ikut mengaji kitab di pondok lain. Ini saya bingung mau ngaji di mana, kan ini sebentar lagi mau masuk bulan Ramadan.”

“Oh, masalah itu.”

“Iya, Bah.”

“Ya sudah, kamu mau ngaji posonan di pondoknya adik sepupu Abah tidak?”

“Di mana itu, Bah?”

“Di magelang, Pondok Pesantren Al-Amin, nanti di sana kamu bisa ngaji kitab Tafsir Jalalain bersama Kiai Muhammad Dahlan Al-Qudsi.

“Oh, yang dulu Abah pernah ceritakan sama Aji.”

”Iya, kamu mau?”

“Mau banget, Bah, apalagi ngaji kitab Tafsir Jalalain yang sekaligus juga bisa dapat tambahan teman baru.” 

“Iya, berarti sudah jelas ya, sudah sekarang kamu tidur sana jangan begadang mulu kalau bukan dibuat untuk belajar.” 

“Iya, Bah.”

***

Allahu Akbar Allahu Akbar.”

           Adzan subuh berkumandang dengan indah, gus Aji terbangun lalu dengan segera mengambil air wudhu. Lebih menariknya lagi para santri Pondok Pesantren Al-Munawwir yang terlihat berjejer rapi untuk antre mengambil air wudhu dengan keadaan masih mengantuk. Lalu, mereka berbondong-bondong menuju ke masjid untuk menunaikan ibadah shalat subuh berjamaah bersama KH. Ma’ali Al-Qudsi. Lantunan suara yang terdengar merdu dari sang imam membuat shalat para jamaah lebih khusyuk dilaksanakan. Selesai shalat, para santri menunggu KH. Ma’ali Al-Qudsi untuk terlebih dahulu kundur dari masjid baru baru disusul gus Aji yang keluar bersama mereka. 

          Setelah jamaah selesai, gus Aji langsung pergi ke dapur untuk menikmati secangkir teh hangat yang sudah disiapkan oleh kang ndalem.

Eh, Kang….” panggil gus Aji pada seorang santri yang tak sengaja lewat di depannya.

“Iya, Gus. Ada apa?” balasnya.

“Tolong panggilin gus Andi suruh ke sini.”

“Iya, Gus, sebentar.”

           Gus Andi merupakan salah satu putra dari kiai yang ikut mengajar di Pondok Al-Munawwir. Ia termasuk salah seorang santri yang sangat akrab berteman dengan gus Aji. Kalau ingin melakukan apapun pasti gus Aji tidak pernah lupa untuk mengajaknya.

          Santri yang dipanggil gus Aji pun langsung bergegas mencari gus Andi di kamarnya.

“Gus, gus Andi.” panggil santri tersebut dengan suara keras dari luar kamar.

          Seketika itu gus Andi dan sebagian santri pun langsung keluar dengan menggerutu setelah mendengar suara seorang yang super keras.

“Gimana, Kang. Ada apa teriak-teriak sampai kupingku ingin jebol ini lho.” getak gus Andi.

Santri itu pun cengar-cengir sendiri karena tersadar bahwa teriakannya terlalu keras yang membuat gus Andi menggerutu karenanya.

“Iya, maaf, tadi saya dimintai tolong  gus Aji, katanya kamu disuruh ke dapur secepatnya.

“Oh, iya, Kang, makasih. Besok-besok kamu nggak perlu teriak-teriak lagi manggilnya.” ujar gus Andi  dengan sedikit kesal kepada santri itu.

” Iya, maaf, Gus.”

          Tampak gus Andi geleng-geleng melihat kelakuan santri itu ngelawak. Seketika gus Andi pun langsung menuju ke dapur untuk menemui gus Aji.

          Sesampainya gus Andi di depan dapur, terdapat seorang lelaki tampan yang sedang duduk termenung sambil menikmati secangkir teh dengan nikmat.

“Maaf, ada apa, Gus?” ucap gus Andi sambil menatap gus Aji.

“Gus Andi,  sini duduk dulu.” ujar gus Aji.

“Iya, Gus……”

“Gus, ngomong-ngomong kamu lagi sibuk tidak.”

“Tidak sih, soalnya ini kan sudah libur sekolahnya.”

“Eh, gimana kalau kita lihat sunrise di bukit kelinci, sepertinya terlihat cantik nanti karena tidak hujan.” ucap gus Aji dengan menaikkan alisnya sambil tersenyum.

“Ayo, Gus, sepertinya seru banget tuh.”

“Gass.. yuk.”

“Eh, tapi sebentar aku izinin dulu sama Abah.”

“Iya, Gus. 

         Gus Aji langsung masuk ke ndalem meminta izin keluar sama KH. Ma’ali Al-Qudsi.

          Udara dingin terasa menyelimuti bukit yang dipenuhi oleh embun pagi. Hembusan angin menyeret bambu sehingga menimbulkan suara yang mempunyai kesan indah. Tak terasa gus Aji dan gus Andi akhirnya sampai ke tempat tujuan. Terlihat lumayan banyak orang yang menantikan sunrise itu tiba.

“Wah, sunrisenya sudah keluar, bagus sekali, Gus.” ujar gus Andi sambil menatap sunrise tersebut.

“Iya nih, Gus. Bagus banget sampai menyihir semua mata yang memandangnya.” sahut gus Aji.

“Gus, aku boleh tanya sesuatu.” ujar gus Andi.

“Iya, tanya aja.”

“Sebentar lagi kan Ramadhan nih, gus Aji mau ngaji di pondok mana nanti?”

“Jadi, awalnya sih aku juga masih bingung mau ngaji di mana. Tapi, Abah tiba-tiba semalam menemuiku memberikan saran untuk ngaji di  Pondok Pesantren Al-Amin Magelang. Kata Abah, pengasuh pondok itu ternyata masih adik sepupu dari abahku.”

“Wah, bagus banget itu, Pondok Pesantren Al-Amin kan termasuk salah satu pondok pesantren terkenal dengan kajian kitabnya. Pastinya gus Aji akan betah dan juga mendapatkan banyak ilmu di sana.”

          Tampak gus Aji bersama gus Andi pun menikmati sunrise tersebut dengan bersenda gurau menceritakan tentang beberapa kisah hebat yang pernah dialaminya. 

***

          Malam terlihat cerah  dengan bintang-bintang yang berkedip manja pada mata yang memandangnya. Di dalam kamar, gus Aji tengah sibuk bersiap-siap untuk keberangkatannya pergi ke Pondok Pesantren Al-Amin Magelang sambil sesekali melihat indahnya malam. 

“Malam yang indah, mungkin inikah pertanda nanti di sana aku akan mendapatkan pengalaman yang indah.” ucap gus Aji dalam hati. 

          Waktu terus berjalan dan tak pernah ingin dihentikan. Akhirnya gelapnya malam kembali terang dari pancaran hangat mentari pagi. Tiba saatnya gus Aji berangkat ngaji di Pondok Pesantren Al-Amin Magelang. Segala perlengkapan dinaikkan ke bagasi mobil. Lalu, Gus Aji berpamitan kepada Abah dan Umi tercintanya.

“Abah, Umi, Aji pamit mau ngaji, Aji minta doa restunya semoga di sana selalu diberikan kesehatan, kelancaran, dan juga ilmu yang barokah.” tutur gus Aji dengan jiwa kesatrianya yang dibersamai dengan rasa takzim kepada orang tuanya.  

 “Iya, belajarlah yang sungguh-sungguh di sana. Doa Abah dan Umi akan terus terlantun hingga akhir hayat nanti.” dawuh Abah.

“Kak Aji, kakak nggak boleh pergi.” rengekan Zahra, adik kecil tercinta Aji yang tiba-tiba memeluk tubuh Aji.

“Kenapa kak Aji nggak boleh pergi, Zahra?”

“Kalau kak Aji pergi, terus siapa nanti yang akan bermain dengan Zahra.”  Zahra tambah lebih mengeratkan pelukan pada kakaknya.

“Oh, bermain, nanti kan bisa sama mbak-mbak santri putri di sana.”

“Pokoknya tetap nggak mau, aku tetap pengen bermain sama kak Aji, kak Aji pokoknya nggak boleh pergi, titik.”

          Lalu, gus Aji beserta semua keluarganya yang ada di situ pun bingung akibat tingkah Zahra.

“Zahra.” ucap gus Aji semangat.

“Semisal kalau kak Aji nanti pulang dari Pondok Al-Amin sana, nanti kak Aji belikan tas dan sepatu baru mau.” lanjut gus Aji.

“Beneran, Kak?”

“Iya, tapi ada syaratnya, izinkanlah kak Aji pergi.”

“Hore, tas dan sepatu baru.”  Zahra tertawa lepas yang disertai rasa gembira.

“Kuliak manih dalam parak, habis menangis galak-galak, kulit manis dalam semak, habis menangis malah tertawa terbahak.” sahut umi menggunakan salah satu pepatah Minangkabau.

          Selepas itu gus Aji pun langsung bersalaman kepada Abah dan Umi, tak lupa dengan Zahra sebelum berangkat ke Pondok Pesantren Al-Amin Magelang.

          Keberangkatan gus Aji ke Pondok Pesantren Al-Amin ini tidak diantar oleh Abah dan juga Umi, melainkan diantar oleh kang Ridho. Kang Ridho adalah salah satu santri ndalem yang bertugas mengantar ke mana-mana Abah dan Umi bepergian, dan lebih seringnya lagi pergi bersama gus Aji. Alasan gus Aji harus pergi sendirian ini dikarenakan Abah dan Umi ada undangan pernikahan, dan Abah sekaligus akan menjadi penghulu nantinya.

          Akhirnya Gus aji pun telah sampai ke tempat tujuan. Terlihat banyak santri tengah berkeliaran ke sana sini. Tiba-tiba seorang santri datang menghampiri gus Aji di dalam mobil.

Assalamualaikum.” ujar santri itu.

Waalaikumsalam.” sahut gus Aji serta kang Ridho di dalam mobil.

“Ada yang bisa saya bantu, Kang?.”

“Oh iya, Kang, kalau mau mendaftar ngaji posonan di sini tempatnya mana, Kang?”

“Di meja sana.” ucap kang santri tersebut sambil menunjuk meja yang berjejer rapi.

“Iya, Kang. Makasih.”

Seketika itu gus Aji dan kang Ridho pun langsung turun dari mobil dan langsung menuju ke meja pendaftaran yang sudah disediakan oleh panitia.

Monggo, Kang, bisa mengisi formulir ini.” ujar salah seorang lelaki bertompel kecil di samping bibirnya.

         Selesai mengisi formulir tersebut, gus Aji pun langsung menyerahkan kertas itu kepada santri bertompel, dan ternyata!

“Hah!”

          Tiba-tiba salah seorang santri itu yang melihat hasil formulir yang ditulis oleh gus Aji berteriak, sepertinya sedang terkejut entah kenapa, kejutannya tak sebanding akan kentutan gunung Merapi Singgalang, ternyata santri yang ingin ngaji posonan itu adalah gus M. Ali Irsyad Maulana Aji. 

 “Ini adalah seorang yang pernah diceritakan Abah Muhammad Dahlan Al-Qudsi, yang katanya adalah salah satu putra dari KH. Ma’ali Al-Qudsi ulama terkenal di Jepara sana.” ucap santri tersebut dalam hati. Lalu tanpa panjang lebar santri itu pun langsung  bersalaman kepada gus Aji.

“Wah, berarti jenengan itu putranya KH. M. Ma’ali Al-Qudsi, salah satu ulama terkenal di Jepara ya, Gus.” lelaki itu memanggil gus Aji  tidak dengan  sebutan kang lagi, melainkan gus.

Nggih…” kata gus Aji dengan sedikit sungkan kepada santri tersebut.

“Maafin kami, Gus, soalnya tadi memanggil jenengan dengan kang.”

“Iya tidak apa, sebenarnya aku itu lebih suka dipanggil kang dari pada Gus malahan.” balas gus Aji sambil tersenyum.

“Kiai ada di ndalem nggak, Kang.”

“Ada, Gus. Monggo kalau mau sowan sama Kiai.” sahut santri itu.

“Iya, makasih atas infonya, Kang.”

          Lalu gus Aji pun langsung berjalan menuju ndalem untuk sowan kepada KH. Muhammad Dahlan Al-Qudsi, terlihat dari belakang gus Aji, dua lelaki cengar-cengir melihat gus Aji yang tampan itu.

Assalamualaikum” ujar gus Aji.

          Tak menunggu waktu lama seorang lelaki menghampiri gus Aji yang sama mirip dengannya. Seorang yang pernah diceritakan dulu oleh Abahnya yang bernama gus Ilham, putra KH. Muhammad Dahlan Al-Qudsi.

Waalaikumsalam, loh, gus Aji. Ayo silahkan masuk.” ujar gus Ilham dengan sedikit terkejut atas kedatangan gus Aji.

“Iya, terimakasih.” sahut gus Aji.

“Ada apa jenengan ke sini? apakah ada yang bisa saya bantu?”

“Iya, kedatangan saya di sini untuk sowan kepada Abah Yai, karena saya mau ngaji posonan di sini.”

MasyaAllah, sebentar aku panggilkan Abah.” 

Nggih, Gus.”

          Tak kunjung lama gus Ilham pun langsung memanggilkan Abah karena sudah ditunggu oleh gus Aji.

          Suasana pun menjadi sunyi, hanya gemericik air dari akuarium yang dibersamai angin menyeret pepohonan di halaman. Tiba-tiba seorang lelaki nan gagah dan berwibawa layaknya raja dari kabilah Arab menghampiri gus Aji.

Ahlan wa sahlan, selamat datang gus Aji.” dari jauh Abah datang dengan menyambut gus Aji.

          Lalu gus Aji pun tersenyum yang melebihi madu rasanya dan bersalaman kepada KH. Muhammad Dahlan Al-Qudsi yang dibersamai dengan rasa ta’dzim.

“Mau minum apa, Gus.” ujar KH. Muhammad Dahlan Al-Qudsi sambil tersenyum.

Ampun repot-repot, Bah” ujar gus Aji dengan sedikit rasa sungkan.

Nggak usah sungkan-sungkan kamu masih saudara terdekat saya, Gus.”

Kang tolong buatin minuman tiga untuk gus Aji, kang Ridho dan juga saya.” teriak kiai Dahlan dari ruang tamu kepada santri ndalem.

Tak lama kemudian seorang santri putri muncul dari balik tirai yang berjalan menggunakan lutut membawa tiga cangkir teh dan juga makanan.

“Gus Aji ke sini ada keperluan apa kok nggak bilang-bilang sama saya dulu” tutur KH. Muhammad Dahlan Al-Qudsi kepada gus Aji. 

Ngapunten, Bah. Saya mau izin ngaji posonan di pondok sini.”

“Oh, ngaji posonan, nanti kalau mau tidur sama Ilham aja biar lebih enak.”

Mboten, mboten usah repot-repot, Bah. Saya mau tidurnya di pondok saja seperti santri biasa, saya tidak ingin dikenal oleh banyak orang sebagai putra kiai di sini.” jawab gus Aji.

MasyaAllah, kalau begitu ya sudah terserah gus Aji saja. Tapi kalau ada apa-apa langsung bilang sama saya ya, Gus.” pesan KH. Muhammad Dahlan Al-Qudsi dengan rasa kagum terhadap sifat gus Aji.

Selesai gus Aji dan kang Ridho sowan ke  ndalem. Gus Aji pun langsung berjalan menuju pondok untuk menyusun seluruh barang-barang yang sudah disiapkan sebelumnya. Di samping gus Aji terlihat banyak sekali santri yang geger ke sana ke mari tanpa arah.

“Sudah selesai semua, Gus?” tanya kang Ridho.

“Iya, selesai semua. Terima kasih sudah bantu-bantu dan mau nganterin saya sampai ke sini.” tutur gus Aji.

“Ya sudah, Gus. Kamu hati-hati di sini ya. Ini saya tadi dititipin uang dari Abah untuk gus Aji.”

Seketika itu kang Ridho pun langsung kembali ke mobil untuk pulang ke Pondok Pesantren Al-Munawwir.

Setelah gus Aji berpamitan dengan kang Ridho, ia pun langsung kembali masuk ke dalam kamar dan istirahat untuk persiapan ngaji posonan.

“Teng teng teng teng.” lonceng telah berbunyi sebagai  pertanda bahwa jamaah pun akan segera dimulai dan akan disusul dengan pembukaan awal ngaji posonan.

Lantunan kajian dari Kiai Dahlan  membuat hati para santri gembira dan tenang. Beliau pun sedikit menyindir atas datangnya salah satu putra dari keponakannya sendiri untuk mengikuti ngaji posonan di Pondok Pesantren Al-Amin ini. Tapi, Kiai Dahlan tidak memberitahu latar belakang dari orang tersebut, seketika para santri pun bingung dan dibuat penasaran mengenai keponakan dari KH. Muhammad Dahlan Al-Qudsi tersebut.

Bersambung…

 

Karya: Muhammad Alif, Santri Mansajul Ulum.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 117 kali

Baca Lainnya

Pesan dari Replika

13 September 2024 - 10:07 WIB

Keajaiban Hati

16 Agustus 2024 - 09:57 WIB

Risalah Langit

19 Juli 2024 - 08:07 WIB

ISMAIL

21 Juni 2024 - 07:28 WIB

Terjemah Rasa

24 Mei 2024 - 09:07 WIB

Belajar dari Ilmu Padi

26 April 2024 - 17:50 WIB

Trending di Cerpen