Menu

Mode Gelap

Cerpen · 5 Sep 2025 11:49 WIB ·

Bingkai Juang


 Sumber: id.pinterest.com. Perbesar

Sumber: id.pinterest.com.

Dalam rinai hujan di pagi Januari, di tengah langkah-langkah tergesa para pemimpi, seruan untuk segera memasuki gerbang utama madrasah, juga gemiricik air yang semakin membuat bising keadaan.

Sholallahu ala Muhammad sholallahu alaihi wasallam….

Lantunan sholawat  dari bangunan 3 lantai yang kutempati juga terdengar semakin landai. Segera kulirik arloji yang bertengger di pergelangan tanganku, masih lima menit lagi.

Hari Rabu, hari yang selalu ingin kuhindari dalam satu minggu pembelajaran di Madrasah Aliyah Sabilul Mujtahidin. Madrasah yang juga dirintis oleh K.H.  Zainal Abidin, pengasuh Pondok Pesantren Sabilul Mujtahidin. Tempat dimana 3 tahun ini aku menenun ilmu.

Hari Rabu, tandanya aku harus kembali lagi berkutat dengan angka-angka yang selalu terlihat semu di mataku.

Bu Kartika, guru pengajar matematika segera membuka pelajaran tanpa babibu. Ia menguraikan materi sembari cepat-cepat mencatatnya di papan tulis agar bisa langsung dilanjutkan mencongak, selalu seperti itu setiap pertemuan.

Kalian tahu mencongak? Sejenis penugasan dengan memberi batasan waktu di setiap soalnya, untuk kemudian dicocokkan dan langsung mengerjakan soal berikutnya. Ah entahlah, aku juga tidak mampu menjelaskan, yang pasti aku selalu mendapat nilai 0 saat mencongak.

“Aira, sudah selesai nulisnya? Habis ini kita langsung mencongak loh.” Tuh kan, baru saja dibicarakan. Ternyata beliau memergokiku yang justru diam melamun di tengah orang-orang yang sibuk menulis uraian materi.

Aku hanya bisa cengar cengir, tersenyum tanggung. Bahkan untuk berkata jujur saja aku tidak mampu, lebih memilih berpura-pura mencoret buku sembari sesekali menengok ke arah papan tulis. Setidaknya, itu pilihan paling rasional sekarang

“Soal pertama, ibu mulai ya, 20,19,18,..”

Aku mendengus pelan, beralih menatap hamparan taman dari jendela di sebelahku. Tadi teman-teman heboh sekali bilang,

“Bingung…  Susah, Bu… Kok bisa hasilnya gitu, Bu?” Mungkin aku satu-satunya orang yang tidak ikut bingung. Bukan! Bukan karena aku pandai, tapi aku memang tidak mampu melihat apa yang Ibu Kartika jabarkan di papan tulis. Padahal bangkuku sudah berada di sudut depan paling kanan. Sekarang, Bagaimana caraku mengerjakan? Entah soal macam apa yang Bu Kartika tuliskan di sana. Mau melihat ke teman sebelah pun percuma, aku tetap tidak tahu penyelesaiannya.

“5, 4, 3…”

Kutolehkan kepala pada teman-teman yang semakin tampak jelas kerut di dahinya. Mereka yang sudah bingung mengaplikasikan rumus dibuat semakin bingung dan gugup karena hitungan angka yang kian lama kian mengecil.

“Sudah semua kan? Baik, langsung dikasihkan ke teman belakangnya”

Nggak ngerjain lagi, Ra?” tanya seseorang dari arah belakang ketika merasa tidak mendapat kertas jawaban balik.

“Hehe, kayak biasanya, Bel” ucapku pada Abel, teman yang paling mengerti tabiatku yang satu ini. Dia hanya tersenyum maklum.

“Aira, ikut ibu ke kantor sebentar ya…” kata Bu Kartika setelah selesai merekap nilai, aku mengangguk mengiyakan.

“Maaf Aira, Ibu tidak bermaksud apa-apa, tapi kalau boleh tahu, apa yang membuatmu kesulitan dalam pelajaran Ibu? Kamu bahkan tergolong murid cerdas, semua nilaimu di mata pelajaran lain selalu di atas rata-rata. Tapi kenapa tidak dengan matematika?”

“Maafkan Aira, Bu. Aira usahakan ke depannya Aira belajar sungguh-sungguh.”

“Ibu tunggu kabar baiknya, jangan sungkan untuk bertanya pada Ibu kalau tidak paham.”

Aku mengangguk, “Tidak akan, Bu.” ucapku lirih. Karena aku selalu tahu, dunia ini untuk orang yang berani. Ilmu tidak akan pernah mau datang pada orang yang pemalu dan sobong, seperti yang Imam Zarnuji katakan dalam kitab Ta’limul Mu’taallim-nya, la yanalul ilma mustahyin wala mutakabbirun.

Dalam perjalanan menuju kelas, aku terus berpikir, satu-satunya cara agar aku bisa mendapatkan nilai baik adalah dengan kacamata. Masalahnya, bagaimana caraku mendapat uang untuk membeli kacamata?

Ustadzah Aira, Ustadzah Aira!”

Di tengah lamunanku tiba-tiba dari arah depan terlihat siluet tubuh perempuan yang berlari menujuku. Teman-teman memang terkadang iseng memanggilku ustadzah, karena di pesantren aku menjadi musyrifah Al-Qur’an untuk anak-anak tingkat Tsanawiyah.

Ustadzah, mau tanya nih” ternyata Zafia, siswa kelas 1 Aliyah

“Tanya seputar apa, Fi?”

“Zafia lupa, urutan bawa kitab itu yang benar gimana ya?”

Kulirik tumpukan kitab yang sepertinya berat ia bawa,

Lah, Mbak kira apa. Gini, urut dari yang paling atas ya tafsir, hadits, tasawuf, ushul fiqh, fiqh baru kitab yang lain. Jangan kayak orang yang tidak pernah belajar, mentang-mentang tafsir paling besar ditaruh paling bawah. Mirisnya lagi, malah ditindih sama LKS dan buku tulis. Itu namanya kita tidak bisa ta’dzim dengan ilmu”

“Padahal, Fi, sebagai tholibul ilmi kita juga harus ta’dzim dengan ilmu. Termasuk dengan memuliakan kitab yang setiap harinya kita pelajari. Menaruhnya di tempat yang semestinya, tidak menindihnya dengan barang apapun, sekalipun itu pulpen yang setiap saat menjadi pelengkapnya. Kalau kita saja tidak ta’dzim ilmu, bagaimana ilmu itu mau ke kita? Bisa-bisa malah menjadi penghalang akan manfaat dan barokah ilmu tersebut.”

Wah, dapet ilmu lagi dari Ustadzah Aira. Syukron ‘amiq deh, Us.”

***

Sepulang sekolah aku sudah menekadkan niatku untuk mencari uang. Dengan berbekal izin dari Umi Shofwah, garwa Kiai Abid sekaligus pengasuh pondok putri. Aku segera menuju Pasar Linggarwangi yang letaknya tidak jauh dari pesantren.

Sebenarnya aku sudah punya sasaran tempat dimana aku ingin membantu berjualan. Bu Asih, pemilik Rumah Masakan Padang yang setiap hari tak pernah surut pembeli pasti membutuhkan karyawan untuk meringankan pekerjaannya.

Setengah berlari aku menuju tempat di pojok tikungan pasar itu. Aroma lezat masakannya bahkan sudah tercium dari kejauhan, ‘pantas saja ramai.’ ucapku dalam hati.

Berkali-kali aku merapal bismillah sebelum masuk ke dalam. Bagaimana kalau aku tidak diterima? Bagaimana kalau aku tidak piawai melayani pembeli? Segera kuenyahkan pikiran-pikiran buruk yang membuatku ragu. Ayo Aira! Demi membuat hati Bu Kartika bahagia! Demi matematikamu! Demi sepotong Ilmu!

Dan ternyata Tuhan memang selalu membuka jalan bagi siapa yang punya iktikad baik. Bu Asih menerima tawaranku dengan senyum dan penuh syukur.

“Masyaallah, Nak Aira, alhamdulillah sekali. Dari kemaren Ibu mencari orang yang mau membantu Ibu. Anak-anak ibu semuanya sibuk, tiga yang pertama sudah menikah dan tidak punya waktu. Dan yang terakhir selalu banyak alasan kalau Ibu suruh bantu. Tapi, apa Bu Nyai Shofwah sudah mengizinkan?”

“Alhamdulillah sudah, Bu.”

Karena semangat tinggi aku berkata akan bekerja hari itu juga. Dengan telaten dan hati-hati aku berusaha untuk tidak mengecewakan Bu Asih. Di tengah kesibukanku melayani pembeli, tiba-tiba seorang menepuk bahuku pelan.

“Aira, Aira kan ini?

Ternyata Nilam, abdi ndalem yang biasa disuruh Umi untuk pergi ke pasar membeli kebutuhan, masih satu tingkat denganku di madrasah.

Eh kamu, Lam. Iya ini aku, Aira”

“Kamu kenapa bisa di sini? Ikut bantu Bu Asih jualan? Buat apa, Ra?”

Pelan-pelan ku tarik tangannya untuk menjauh dari orang-orang,

“Nilam, maaf tidak bisa menjelaskan sekarang, aku harus menyelesaikan pekerjanku dulu. Tapi aku janji, sesampainya di pesantren akan langsung kujelaskan padamu.”

Dan ternyata Nilam berbaik hati menungguku sampai selesai untuk mengajakku pulang bersama, agar teman-teman tidak banyak tanya nantinya.

”Kamu benar-benar mau mendengar ceritaku?” tanyaku memastikan

“Kalau kamu tidak keberatan, Ra”

Aku tersenyum, tentu saja tidak.

“Asalkan kamu selalu ingat, ini bukan cerita publik”

Namaku Aira, lengkapnya Zahwa Aira Dzakiyya. Terlahir di desa terpencil sebelah selatan Pulau Jawa. Sewaktu SMP, Orang-orang selalu menatapku dengan prihatin. Bagaimana tidak? Setiap sehabis sekolah aku harus melihat ibuku menangis di teras rumah dengan lebam di wajahnya. Membuatku seketika lari masuk ke rumah dan berteriak marah pada lelaki yang sedang tertawa lepas bersama seorang perempuan yang bergelayut manja di lengannya, Mayangsari, perempuan yang dicintai ayahku.

“Pergi! Bawa wanita itu pergi Tono!” sudah tidak ada sopan santunku kepada laki-laki yang notabenenya ayahku itu.

“Kamu yang seharusnya pergi dari rumah ini anak haram! Tono lebih memilihku daripada kamu dan Ibumu yang lemah itu”.

Aku selalu benci kala mendengar ucapan itu. Kalau bisa memilih, aku juga ingin terlahir dari pernikahan yang sah. Kalau bisa meminta, Ibuku juga tidak mau hidup bersama laki-laki brengsek tak punya hati itu.

Setiap hari aku harus melihat ibuku disakiti dan disiksa. Sampai pada suatu sore dimana aku baru pulang dari kegiatan ekstrakulikuler sekolah, aku melihat dengan kepalaku sendiri Tono memasukkan kepala Ibuku ke comberan depan rumah, dengan sumpah serapah yang biasa ia teriakkan setiap harinya.

“Iblis macam apa kau ini!” teriakku penuh amarah.

Sore itu, akhirnya Ibuku dirawat di Rumah Sakit untuk pertama kalinya setelah 14 tahun pernikahannya bersama Tono. Dengan telaten aku menyuapinya sesendok demi sesendok susu yang ia minta.

“Aira. Terima kasih telah menjadi gadis kecil Ibu yang membanggakan. Aira yang tumbuh cantik nan pandai. Maafkan Ibu yang membawamu pada takdir sulit ini, maafkan Ibu…”

Kukecup tangan pucatnya berkali-kali, tangan yang mengajariku banyak hal di dunia, tangan yang tetap mengasihiku di atas semua penderitaannya, tangan seorang wanita paling kuat yang pernah aku kenal.

“Berjanjilah, Aira, berjanjilah pada Ibu. Apapun yang terjadi, jangan pernah benci ayahmu.”

Ibu memintaku menjanjikan hal yang bahkan sudah kuingkari, bagaimana aku bisa tidak membenci Tono?

“Ibu mohon, Aira, hapus rasa benci itu. Jangan pernah benci ayahmu.”

Dengan berat hati kuanggukkan kepalaku, agar ibu tenang. Tapi rupanya ibu mendambakan ketenangan yang lebih, ketenangan sejati dari Sang Pencipta. Sore itu, dengan senyum yang terukir di bibirnya, satu-satunya alasanku untuk tetap hidup meninggalkanku menuju kebahagiaan abadi.

***

Hidupku semakin menyedihkan semejak Ibu tidak ada. Tono yang dari awal tidak pernah membiayai sekolahku segera mencari cara supaya aku tidak semakin merepotkan. Dengan berbekal informasi dari temannya, diantarlah aku ke sebuah pesantren di daerah Jawa Tengah. Pesantren yang kemudian mengubah garis takdirku menjadi lebih baik.

“Kira-kira apa bisa anak saya tinggal di sini tanpa biaya, Kiai?” tanyanya pada lelaki paruh baya berpakaian putih panjang yang terlampau menyejukkan kala dipandang.

“Insyaallah bisa, Pak, kalau biasanya para santri yang kesulitan ekonomi tetap bisa mengaji dengan menjadi abdi ndalem, lha putrinya njenengan niki purun nopo mboten?”

Tono melirikku sebagai isyarat untuk menjawab iya. Tapi aku tidak mau terus menerus mengikuti kemauannya.

“Maaf, Kiai, kalau saya boleh tahu, abdi ndalem itu tugasnya apa?”

“Banyak Mbak Aira, bantu-bantu keluarga ndalem, beres-beres rumah, nyuciin baju, nyiapin makanan, beli kebutuhan, seperti itulah kira-kira.” jelas kiai masih dengan raut wajah yang keteduhannya seakan tak bisa luntur.

“Saya keberatan kalau jadi abdi ndalem, Kiai, maaf kalau terkesan tidak sopan. Tapi apa ada solusi lain selain menjadi abdi ndalem?”

“Ya sudah gini saja, Mbak Aira sudah bisa membaca Al-Qur’an dengan tartil belum? Kalau sudah nanti mbak bisa bantu jadi musyrifah Al-Qur’an. Kebetulan anak-anak baru tingkat Tsanawiyyah belum mendapatkan musyrifah.

“Bisa, Pak! Aira ngajinya sudah bagus, tartil dan enak didengarkan” tiba-tiba Tono ikut menyahut, laki-laki itu, sebegitu ingin aku pergi dari kehidupannya.

“Insyallah kalau itu anak saya mampu, Pak”

Alhamdulillah, habis ini biar saya yang ngomong sama Ibu Nyai buat nyemak bacaan Al-Qur’an Mbak Aira”

“Dan seperti yang kamu tahu sekarang Nilam, aku ditempatkan di gedung Tsanawiyyah bersama mbak-mbak Musyrifah lain. Orang-orang mengira aku adalah Musyrifah baru yang memang diminta Ibu Nyai untuk mengisi ngaji, padahal kenyataannya aku hanya anak buangan.”

Nilam mendengarkanku tanpa menyela, sesekali diusapnya air mata yang terus mengalir itu.

“Maafkan aku yang membuatmu mengingat masa lalu buruk itu, Ra”

Aku menggeleng, “Tidak mengapa.

“Untuk itu aku butuh uang Lam, untuk membeli kacamata. Aku selalu tersiksa saat pelajaran matematika. Darimana aku mendapatkannya kalau tidak kucari sendiri, ayahku mana sudi memberikannya.”

“Tapi, Ra, bukankah setiap bulan ayahmu selalu nyambangi, aku bahkan sering lihat beliau mengeluarkan banyak uang saat kebetulan lewat.”

“Memang, sengaja sekali laki-laki itu mengeluarkan banyak uang saat ramai orang. Tapi jangan tanyakan, dia bahkan bisa langsung mengambil paksa saat orang-orang pergi, menyisakan satu lembar untukku”,

Astaghfirullah… kelewatan sekali ayahmu, Ra,”

Aku menggeleng lagi, “Sungguh, tidak mengapa.”

“Lagi pula aku sudah berjanji tidak akan membencinya, Umi Shofwah juga selalu mengingatkan kita untuk menghormati dan memuliakan orang tua. Pesantren ini, memberiku pemahaman baik akan kesabaran.”

Aku tidak pernah berbicara sepanjang ini dengan Nilam. Tapi mulai hari itu kami berteman baik, berbagi cerita dan berdiskusi tentang banyak hal.

“Kalau aku boleh tahu, apa yang menjadi alasanmu tidak ikut seleksi beasiswa tadi pagi?” tanyaku di suatu sore. Maklum kami sudah kelas tiga Aliyah, pembahasan ‘Habis ini mau kemana’ selalu menjadi topik yang seru sekaligus menyedihkan.

“Mana berani aku, Ra, aku tidak sepertimu yang pandai, selain matematika tentunya.” candanya.

Ah, nggak asyik, mana Nilam yang kukenal tak pernah pantang menyerah?”

“Bukan begitu, Ra, kau ingat apa yang pernah Kiai Abid ngendikaken sewaktu ngaos ? “Tumandang, syarate wong urip iku muk tumandang. Jenenge tumandang yo gak pilih-pilih, cek ketoe abot cek sepele, tumandangi! Angger gelem tumandang meski bakale kanggo.” Pesan itu, Ra, selalu menjadi motivasiku agar tak berkecil hati kala tak mampu meraih apa yang aku inginkan.”

“Aku juga ingin kuliah sepertimu, tapi jika seandainya Umi ngersaaken aku tetap di sini, aku manut, Ra, aku akan mengabdikan diriku untuk Pesantren ini, meskipun tidak sebagai ustadzah sepertimu, setidaknya tenagaku bisa kukhidmahkan untuk keluarga ndalem.

Lagi-lagi aku dibuat kagum oleh perempuan di sampingku ini. Seorang abdi ndalem yang memiliki keluhuran budi. Dekat dengan keluarga ndalem tentu memberikan energi positif dalam jiwanya, sehingga ia ingin terus mengecap ladzahnya barokah di setiap langkah kehidupannya. Aira, bagaimana bisa dulu kamu menolak ketika ditawari menjadi abdi ndalem? Astaghfirullah Ya Allah….

“Ngomong-ngomong, Ra, kalau aku boleh tahu, apa uangmu untuk membeli kacamata sudah terkumpul?” tanyanya hati-hati.

Aku mengangguk, tentu saja. Genap 10 hari aku membantu Bu Asih di Pasar, beliau bahkan baik sekali memberiku lebih dari kesepakatan awal.

“Kau mau menemaniku untuk membelinya, Lam?”

“Oke, nanti sehabis ngaos kita izin ke Umi buat keluar” kataku setelah mendapatkan anggukannya

Kami segera beranjak untuk mengikuti pengajian rutin kitab Minhajul Abidin. Kali ini, Kiai abid mengakhiri pengajian kitab dengan sebuah pesan singkat.

“Wanita sholehah adalah wanita yang layak dari aspek apapun. Baik kehidupan dengan Allah maupun dengan semua makhluk. Untuk gurunya dia murid yang layak, untuk suaminya dia istri yang layak, untuk adiknya dia kakak yang layak, untuk masyarakat dia layak, untuk orang tuanya dia layak, untuk siapapun dia layak. Kalo semisal dia rajin ibadah tapi tidak pernah keluar rumah, namanya bukan wanita sholihah” beliau tertawa singkat, tawa yang nular ke kami.

Sampean ngerti, Nduk, Apa bedanya Hasan dengan Muhsin? Kalau Hasan, dia sudah menjadi baik untuk dirinya sendiri. Alhamdulillah. Tapi kalau Muhsin, dia baik untuk dirinya sendiri pun orang lain. Al-Mutaaddi afdholu minal qosir, orang yang mementingkan orang lain lebih baik dari orang yang mementingkan dirinya sendiri. Pesenku, dadio anak wadon seng sholehah, seng muhsinah, seng manfaati marang liyan.”

Kulekatkan pesan itu di hati, agar senantiasa di sana, menjadi abadi.

Bersambung.

Karya: Alayya Ramdhani, alumni Mansajul Ulum 2022.

 

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 42 kali

Baca Lainnya

Tanah Kelahiran

8 Agustus 2025 - 10:32 WIB

Cincin di atas Kepala

11 Juli 2025 - 10:23 WIB

Semesta Teramati

13 Juni 2025 - 09:49 WIB

Semesta Teramati

16 Mei 2025 - 07:36 WIB

AK24

18 April 2025 - 09:54 WIB

Lima Butir Jagung

21 Maret 2025 - 11:38 WIB

Trending di Cerpen