Menu

Mode Gelap

Cerpen · 26 Sep 2025 09:47 WIB ·

Bingkai Juang


 Sumber: id.pinterest.com. Perbesar

Sumber: id.pinterest.com.

(Bagian Dua)

Sore itu juga aku dan Nilam pergi ke salah satu optik di dekat kantor kecamatan. Setelah puas melihat-lihat frame yang tertempel di seluruh dinding ruangan, segera kupilih satu frame yang kurasa paling cocok dengan wajahku. Sedikit bernegosiasi akan harga dan tinggal menanti kacamata tersebut selesai dibuat 3 hari lagi.

Kami baru berpisah setibanya di pesantren. Nilam segera menuju kamarnya di gedung aliyah sedangkan aku menuju gedung yang berada persis di belakang ndalem, gedung anak-anak tsanawiyyah.

Saat sedang menaiki anak tangga menuju kamarku di lantai 2, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara tangis seseorang dari arah balkon.

“Salwa, hei. Kenapa?” tanyaku pada gadis berjilbab biru yang tengah menelungkupkan wajahnya itu.

Dia menggeleng.

“Tidak apa, coba cerita ke Mbak Aira, insyaallah Mbak bisa bantu.”

“Salwa minggu depan UTS, Mbak. Kata Pak Akrom, kalau mau ikut UTS harus melunasi tagihan sekolah dulu. Salwa masih kurang bayar SKM 2 bulan.” jelasnya terisak-isak.

Eum, Salwa sudah coba telepon Ibu belum?”

“Sudah, Mbak, Ibu sudah bilang mau kirim uang. Tapi sampai hari ini belum dikirim, padahal pembayaran terakhirnya besok.”

“Memang berapa biaya tagihannya?”

“300 ribu, Mbak.

“Ya sudah, Salwa tenang dulu. Alhamdulillah Mbak Aira punya uang 300 ribu, nanti Salwa pakai uang Mbak dulu ya.”

“Tidak apa, Mbak? Mbak nggak butuh uangnya?”

“Salwa lebih membutuhkan.”

“Makasih banyak, Mbak Aira.”

Dia memelukku erat sekali. Anak-anak gedung ini, selalu menjadi penawar untuk segala gundah dan resahku. Tertawa dan membicarakan banyak obrolan tak penting ala ABG bersama mereka selalu mampu menghilangkan penat dan mengembalikan mood baikku.

Baru kemaren sore aku mendapat maqolah baru dari Kiai Abid, Al-muta’addi afdholu minal qosir. Maka biarkan kali ini aku mengamalkannya dengan sadar dan rela. Karena salah satu dawuh yang juga tidak akan pernah aku lupakan dari beliau adalah apa yang beliau sampaikan sewaktu Haflah Muwaddah tahun lalu.

“Mau sepintar apapun kita, kita tetap kalah dengan orang zaman kuno. Kalau dipikir, semakin lama zaman semakin maju. Pengetahuan juga semakin mudah didapat. Setiap orang bisa belajar dengan cepat, fasilitas memadai dan kesempatan yang juga besar. Kita merasa telah belajar banyak hal, mengetahui banyak hal, khatam puluhan kitab, pandai ilmu alat, hafal jurumiyah, imrithi bahkan alfiyah.”

“Tapi kita tetap kalah dengan orang-orang kuno. Ilmu mereka melekat dalam hati dan kehidupan sehari-hari. Karena orang kuno itu punya ilmu sedikit tapi diamalkan, langsung diamalkan, itu kuncinya.”

Maka biarlah aku mencoba untuk menjadi muta’addi, karena keberhasilan bagiku bukanlah ketika aku mampu mendapatkan segala yang aku perjuangkan. Tapi ketika apa yang aku perjuangkan bisa bermanfaat untuk banyak orang. Seakan melepaskan, padahal sejatinya semakin menggenggam.

***

Hari ini seperti biasa aku pergi ke Rumah Masakan Padang Bu Asih. Karena uang kemarin sudah kupinjamkan, maka kali ini aku harus berusaha mengumpulkannya lagi.

Lho, mau bantu jualan sampai kapan sih, Ra? Bukannya uangnya udah kumpul? Kamu jangan capek-capek ah, malemnya masih belajar lagi kan. Jangan sampai tumbang! Kita ini sudah kelas tiga.”

Nggak papa, Lam, aku masih butuh uang. Uang kemarin tak pinjemin ke Salwa dulu, dia lebih butuh buat bayar SKM sekolah.”

Masyaallah, Ra, kamu ini. Ya sudah kita berangkat bareng saja.”

Tiba-tiba aku merasa perutku seperti diremas, sakit sekali. Asam lambungku memang sering kambuh, tapi kali ini rasanya berkali-kali lebih sakit.

“Aira, kenapa kamu?”

Nggak tahu, Lam, mungkin asam kambungku kambuh. Padahal akhir-akhir ini aku sudah berusaha untuk makan teratur dan tidak begadang.”

“Kita ke rumah sakit saja ya, Ra.”

Dengan memesan Bentor, Nilam membawaku ke RSUD Ibnu Ali, Rumah sakit terdekat dari pesantren. Dokter mengatakan kalau aku harus dirawat.

“Tolong telepon ayahku, Lam, aku terpaksa harus meminta uang untuk biaya pengobatan.”

“Iya sebentar ya.”

Tut…tut…tut…

Setelah tiga kali panggilan, akhirnya ayahku bersedia mengangkat panggilan.

“Halo, siapa ini?” tanyanya di seberang telepon.

“Ngapunten Pak Tono, ngapunten kalau mengganggu waktu bapak. Ini saya Nilam temannya Aira. Eee, saya mau memberi kabar kalau Aira masuk rumah sakit, asam lambungnya naik dan harus dirawat. Dan sekarang dia butuh uang untuk biaya pengobatan.”

“Apa? Asam lambungnya naik dan harus dirawat? Ini pasti karena dia sibuk belajar sampai tidak memperhatikan kesehatannya. Anak itu memang selalu merepotkan. Bilangin ke si Aira! Saya tidak pernah bangga punya anak pintar tapi kerjaannya menyusahkan. Dia pikir biaya rumah sakit murah? Kalau terus menerus….”

Kusambar telepon di tangan Nilam dan segera kumatikan sambungannya. Aku sudah tidak mau mendengar ucapannya lagi. Mati-matian aku tahan air mataku agar tidak keluar, tapi pertahananku runtuh kala Nilam memelukku dan terus membisikkan kata maaf.

Jangan pernah benci ayahmu, Aira….

***

Genap tiga hari aku dirawat di rumah sakit. Setelah sore itu Nilam menghubungi keluarga ndalem dan membuat Umi Shofwah langsung menyusul, menengok keadaanku. Beliau bahkan  berkata pada dokter akan membayar biaya pengobatan.

Matursuwun sanget, Mi, ngapunten kulo sagete ngrepotaken panjenengan., Kataku setelah Umi pamit untuk kondur, besok beliau harus ke Jombang Jawa Timur ditemani Nilam, jadi akan ada teman-teman pesantren yang bergiliran menjagaku di rumah sakit.

“Sampean anakku, Nduk, ora usah matur nuwun. Syafakallah syifaan ajilan, syifaan ya yugadhiru ba’dahu saqman.

“Amin.” Kukecup tangan seseorang yang sudah kuanggap ibuku sendiri itu berkali-kali sebelum akhirnya pergi, diikuti Nilam yang masih sempat memberiku sepucuk surat.

Ah Nilam, membuatku penasaran saja. Segera kubaca tulisan dengan tinta coklat tua itu.

Dear Aira,

Ra, orang-orang memandangmu dengan segala kekaguman. Cantik, pandai, selalu membantu dan tak pernah pilih teman. Siapa tak kenal Aira? Yang ketika Akhir Sanah rakus sekali menjuarai setiap cabang lomba, menjadi juara umum tunggal dan pulang dengan membawa banyak piala. Siapa tak kenal Aira? Yang tak pernah mau turun dari posisi peringkat pertama sejak awal masuk Aliyah, membuat teman-teman tak ada harapan untuk menggantikan. Santri di pesantren ini ratusan, Ra, dan kamu selalu bisa menjadi yang utama.

Tapi siapa yang menyangka masalahmu sepelik itu? Belajar mati-matian di tengah kesakitan yang kau dera. Tak mengindahkan alarm dalam tubuh yang mengingatkanmu untuk sejenak bernapas lega. Dan kau lakukan itu demi masa depanmu, seperti yang kau katakan padaku waktu itu, “Aku ini miskin, Lam, hidupku dalam keterbatasan. Satu-satunya yang bisa menyelamatkanku adalah otak. Hanya dengan otak aku mampu menempuh pendidikan tinggi tanpa biaya.

Kau memang selalu mengagumkan, Ra, tidak menjadikan kekuranganmu sebagai kelemahan apalagi berhenti untuk berjuang. Beruntung sekali aku mengenal gadis sehebat dirimu.

Maafkan sahabatmu yang tidak bisa mambantumu ini, Ra, hanya do’a-do’a terbaik yang bisa aku langitkan. Sembuh, Ra, untuk teman-temanmu, Sembuh, Ra, untuk asatidz dan ustadzah yang menyayangimu, untuk ayahmu, untuk masa depan yang telah lama kau perjuangkan.

 

Sahabatmu

Nilam Ayu

Allah, entah kebaikan seperti apa yang pernah aku lakukan sehingga Engkau mengirimkan orang-orang baik di hidupku. Aku akan sembuh, Lam, jangan khawatir. Sahabatmu ini kuat.

Tiga hari ini aku juga selalu mendapat surat-surat lain setelah surat dari Nilam. Surat yang ada di balik kotak makan berisi buah yang sudah dikupas bersih. Entah dari siapa, selalu ada orang baru yang membawakannya dan berkata,

“Cepat sembuh, Mbak Aira, biar bisa cantik lagi.” Kalimat yang spontan membuatku terbahak.

Tok tok tok

“Pasien atas nama, Aira?”

“Iya, Dok, saya. Ada apa ya?”

Ah enggak. Ini tadi ada titipan buat kamu.”

Wah malah ngrepotin. Ngapunten.

Nggak kok. Ya sudah saya permisi ya. Cepet sembuh.”

“Kalau boleh tahu dari siapa ya, Dok?”

Nggak kenal saya, tapi laki-laki, seumuran kamu mungkin. Atau lebih tua sedikit.”

Oh, Njeh mpun. Matur nuwun.

Kutatap lamat-lamat kotak biru yang dokter berikan tadi. Dari laki-laki, siapa? Pelan-pelan kubuka pita yang melilitnya dan seketika hatiku mencelos. Sebuah kacamata. Kacamata yang dulu pernah aku pesan di optik dekat kantor kecamatan.

     Teruntuk Zahwa  Aira

Perempuan Cemerlang yang Mengagumkan

Aku pernah kehilangan semangat belajar, tapi begitu aku mengenal seseorang bernama Aira, semuanya berubah. Dia bahkan mampu membuat ibuku terheran-heran menatapku yang siang malam sibuk belajar.

Aira, perempuan yang selalu ibu ceritakan setiap pulang dari pasar. Sembari tetap mengomel karena aku yang tidak pernah mau membantu jualan. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk melihat perempuan itu tiga hari lalu, tapi yang kutemukan hanyalah sosok ibu yang sedang kerepotan melayani pembeli.

Kita memang tidak pernah bertegur sapa, apalagi bertukar cerita. Aku hanya suka merapal do’a, semoga perempuan itu selalu dalam lindungan-Nya. Semoga Tuhan memberinya kesehatan dan umur panjang, juga senantiasa menjaganya dalam ketaatan.

Akhirnya aku tahu. Tulisan ini, aku bahkan sudah hafal setiap inci gaya penulisannya. Lihatlah, Ra! Banyak sekali orang baik di dunia ini. Ayo, Ra! Sembuh. Masih banyak kebaikan yang perlu ditebar. Perjalanan masih teramat panjang.

***

-Selesai-

Karya: Alayya Ramdhani, alumni Mansajul Ulum 2022.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 25 kali

Baca Lainnya

Bingkai Juang

5 September 2025 - 11:49 WIB

Tanah Kelahiran

8 Agustus 2025 - 10:32 WIB

Cincin di atas Kepala

11 Juli 2025 - 10:23 WIB

Semesta Teramati

13 Juni 2025 - 09:49 WIB

Semesta Teramati

16 Mei 2025 - 07:36 WIB

AK24

18 April 2025 - 09:54 WIB

Trending di Cerpen