“Mbak!” Lamunanku buyar.
“Eh?”
“Kalau jalan jangan ngelamun! Ntar jatuh susah!”
Aku hanya mencep diomongi kayak gitu, sudah biasa. Umar namanya. Juga salah satu abdi ndalem, sama seperti kang Hasan. Pintar, tinggi, ya lumayan ganteng, sayangnya galak. Santri putri sering jadi korbannya, salah satunya Anis tadi. Waktu itu Anis sedang cuci kaki di luar.
“Angkat sing duwur San sarungmu. Ben ketok sekrupe!”
Seketika Anis langsung menurunkan sarungnya merasa disindir. Aku tertawa saat diceritakan oleh Anis di suatu malam.
“Mbak Ayu, ditimbali adiknya di samping ndalem!”
Deg!
Rasa cemas merambati diriku. Jarang-jarang atau bahkan tidak pernah adikku memanggilku untuk bertemu. Terakhir kali saat aku tahu kalau dia ikut aku mondok di sini. Dia menemuiku hanya untuk menyampaikan berita duka. Ibu dan bapak telah meninggal. Aku marah.
“Kenapa kok mbak nggak kamu kabari!?” tanyaku penuh amarah. Saat itu adikku hanya menggelengkan kepala.
“Mbak jangan pulang sebelum dapat suami.” Ucapnya.
Aku bingung saat itu, tapi adikku bersikeras melarangku pulang. Ada saja alasannya.
“Mbak.” Lamunanku buyar seketika mendengar suara itu.
“Coba jelasin kenapa kamu terancam bakal dikeluarkan dari pondok!?” tanyaku langsung ke intinya.
Adikku menunduk diam. Kutunggu dirinya sampai bicara. Lima menit berlalu, dan adikku ini masih tetap tidak mau bicara.
“Lintang Seta!”
Adikku langsung mendongak. Di keluarga kami, jika nama lengkap sudah disebutkan, maka seseorang itu benar-benar marah. Dan sekarang, aku benar-benar marah. Adikku menghela napas.
“Mbak percaya aku, nggak?”
“Pertanyaan macam apa itu?”
“Mesti mbak percaya sama kamu, kamu adikku satu-satunya.” Jawabku, adikku tersenyum.
“Terimakasih, itu jawaban yang ku tunggu.” Adikku mengambil napas sebentar.
“Sebelum kejadian ini, aku akan menceritakan semua kejadian saat dan sebelum ibu dan bapak meninggal.” Kali ini aku yang menarik napas dalam. Entah apa saja yang akan diceritakan adikku ini.
Semenjak mbak Ayu mondok, perilaku bapak semakin menjadi-jadi. Saat itu, aku baru saja naik kelas 1 SMP dan hendak berangkat ke sekolah di hari pertama masuk. Ibu mengantarku ke depan, ku salami tangannya. Tiba-tiba bapak datang lalu menyeretku keluar.
“Udah, kamu ndak usah sekolah! Sini, bapak ajari sabung ayam!”
“Ndak mau!” tolakku saat itu. Ibu berlari menarik diriku. Pertengkaran terjadi antara bapak dan ibu, ibu menyuruhku untuk segera berangkat.
“Cepat kamu berangkat, le. Biar bapak ibu yang urus.”
Setelah itu aku berlari keluar rumah. Entah mengapa perasaanku tidak enak meninggalkan ibu sendiri. Benar saja, sepulang sekolah kudapati pipi kiri ibu lebam.
“Ini pasti ulah bapak! Mana bapak!? Biar Seta hajar dia! Berani-beraninya nyakitin ibu!” teriakku marah.
Harga diriku serasa dilecehkan. Wanita yang melahirkanku, malaikat yang menyayangi dan menjagaku dilukai seperti ini. Aku benar-benar tidak terima! Namun ibu memelukku, mencoba meredakan amarahku yang kini sedang meluap.
Semenjak itu, aku jarang melihat bapak pulang kerumah. Entah kenapa toko juga semakin sepi. Suatu malam kulihat bapak melangkah gontai masuk ke dalam rumah. Wajah dan tubuhnya lebam-lebam, bahkan ada yang sampai berdarah. Ibu menyambut bapak seperti biasa, tersenyum. Wajahnya terlihat semakin tirus. Saat itu aku tengah lembur mengerjakan tugas. Kelas 3 SMP penuh dengan tugas dan materi yang sungguh membosankan.
“Bapak kenapa?” Tanya ibu khawatir, bapak diam. Aku menajamkan pendengaran. Awas saja kalau dia mencoba memukuli ibu lagi.
“Bapak kalah taruhan.” ucap bapak.
Deg!
“Dan yang bapak jadikan taruhan…” Aku menahan napas. Semoga bukan rumah ini yang bapak jadikan taruhan.
“Rahayu.” Lanjut bapak pelan. Bagai disambar petir, ibu seketika pingsan.
“Kurang ajar kau!” teriakku yang langsung berlari menyambarnya bak kesetanan.
Kupukul wajah bapak berkali-kali, tak ada perlawanan. Saat wajah bapak sudah lebam semua bahkan berdarah, barulah aku berhenti. Ku atur napasku yang sedikit tersengal. Aku terduduk dengan tubuh penuh keringat, duniaku runtuh seketika. Bukan hanya ibu yang bapak sakiti. Sekarang mbak Ayu yang sedang mondok pun dijadikan taruhan.
“Sial!” Umpatku pelan.