Setetes air mata meluncur, diikuti dengan tetesan lainnya. Namaku Lintang Seta, bintang putih. Ibu sendiri yang menamaiku, ada doa yang beliau sisipkan di dalam namaku –anak yang tangguh. Aku menangis. Dari dulu aku selalu rewel, nakal, menyusahkan ibu dan mbak Ayu. Bahkan aku menolak saat disuruh ibu menyusul mbak Ayu ke pondok waktu kelas 6 SD. Kubopong tubuh ibu masuk ke dalam kamar. Malaikat kami yang tangguh, seharusnya aku saja yang bapak jadikan taruhan bukan mbak Ayu. Aku keluar mengecek keadaan bapak di luar. Sudah tidak ada. Syukurlah karena aku masih muak melihat wajahnya itu.
Keesokannya ibu tidak mau keluar dari kamarnya. Kutaruh sarapan di meja samping kasur, setelah itu barulah aku berangkat sekolah. Pikiranku masih memikirkan kejadian kemarin malam. Hingga di sekolahpun aku tidak bisa fokus dengan pelajaran yang sedang diterangkan guru. Pulang sekolah langit agak mendung, perasaanku tidak enak. Kupercepat langkah kakiku menuju rumah. Sesampainya di rumah aku dikejutkan dengan tetangga-tetangga yang ramai mendatangi rumahku. Ada apa ini? Tanyaku dalam hati, menyibak gerombolan warga yang datang. Seorang ibu-ibu memelukku sambil berlinang air mata itu tetangga rumah kami yang baik hati.
“Seta yang sabar, ya.” Ucapnya sambil terisak.
Aku melihat ke depan, ke arah sosok yang berada di atas kasur. Seketika hatiku mencelos. Itu ibu, yang tengah terbaring kaku itu ibu. Sontak aku berlari memeluknya, ada apa dengan ibu? Kenapa tubuh ibu kaku dan dingin? Aku berteriak ke arah semua orang yang berada di sana. Air mataku kembali tumpah. Semuanya ikut menangis, ibu-ibu tadi mendekatiku dan memelukku. Katanya beliau mendengar suara jeritan dari rumahku, saat dihampiri ternyata ibu jatuh terpeleset di kamar mandi. Warga yang memeriksa mengatakan bahwa ibu sudah tiada saat ditemukan. Duniaku kembali hancur saat itu juga.
Malam harinya sudah kuputuskan, aku akan menghampiri tempat perjudian bapak. Kan kurebut mbak Ayu apapun yang terjadi. Aku keluar tengah malam, kuyakin tempat itu masih ramai. Dan benar saja, tempat itu masih ramai melebihi ramainya ibu-ibu nego di pasar. Kuhampiri pemilik tempat judi itu yang terlihat mencolok diantara semuanya. Kutepuk bahunya yang tentu saja membuat semua orang yang berada di lingkaran itu menoleh ke arahku.
“Bocah, siape lu! Berani-beraninya nepok bos gua!” bentak seseorang di sampingnya yang tak kugubris sama sekali.
“Saya mau ambil mbak saya yang bernama Rahayu.” Ucapku langsung ke intinya.
Orang-orang di sana terdiam, baru sedetik kemudian amarah mulai memenuhi langit-langit ruangan. Baiklah, aku tahu resiko kematian yang akan menghampiriku ini adalah 99,9%.
“Kurang ajar lu! “
Aku menutup mata, berdoa semoga diriku senantiasa dilindungi yang Maha Kuasa. Malam ini akan kutunjukkan arti dari namaku yang sesungguhnya.
Bersambung…
Karya: Nebula, Santri Mansajul Ulum