Menu

Mode Gelap

Cerpen · 11 Jul 2025 10:23 WIB ·

Cincin di atas Kepala


 Sumber: Liputan6.com Perbesar

Sumber: Liputan6.com

Pagi itu, Pak Sigit guru matematika SD Samasuka divonis kurungan penjara seumur hidup.  Diduga karena pelaku penculikan anak berantai, setelah diketahui ia mengajak Tina pulang bareng yang merupakan salah satu korban pembunuhan. Pak Sigit tak bisa berbuat apa-apa, hanya  terdiam ketika diringkus polisi. Mengingat dirinya sudah tua dan tidak bisa mengajukan sidang banding karena tidak mempunyai istri dan anak yang mungkin akan membantunya dalam mengajukan pembelaan (pledoi) terhadap tuntutan Jaksa.

***

Hari ini adalah laporan ketiga dari wali murid SD Samasuka. Para wali murid yang kehilangan anaknya mengatakan bahwa anaknya berangkat sekolah di pagi hari dan tidak pernah kembali di sore harinya. Belum juga diketahui motif dan ciri-ciri pelaku.

Tina adalah korban pertama, masih berumur 11 tahun. Hilang pada hari Senin. Terakhir terlihat saat pulang sekolah bersama salah satu temannya dan berpisah di simpangan ketika Pak Sigit mengajak Tina pulang bareng, karena kebetulan Pak Sigit dan Tina bersebelahan rumah.

Korban berikutnya adalah Paijo. Berusia 11 tahun. Terakhir terlihat pada hari Selasa saat berangkat sekolah. Korban terakhir adalah Doni yang baru saja berulang tahun ke-11 pada hari Kamis, dirinya tak kunjung pulang, padahal telah disiapkan untuknya surprise ulang tahun dari keluarga dan teman-teman di rumahnya.

***

Dicky berputar-putar di sisi taman. Dengan hati gelisah menunggu teman-temannya datang. Ingin segera rasanya ia ungkapkan maksud terpendamnya.

Toni, seorang anak polisi tiba menghampiri Dicky. Disusul Fian yang ngos-ngosan setengah berlari.

“Ngapain sih, Dick, lu ngajak kita berdua ke taman sore-sore begini?” tanya Toni anak berkacamata mengawali obrolan

“Kita telah kehilangan banyak teman kita, gue nggak mau itu terus terjadi, dan mungkin saja Pak Sigit bisa dicabut tuduhannya karena gue yakin bukan beliau penculiknya.” ujar Dicky.

“Terus lu ngajak kita buat nangkap penculik anak yang sedang keliaran, lu gila ya.” sahut Fian

Ntar kalau kita yang diculik gimana, sedangkan kita ini anak kecil yang lemah. Kita nggak punya apa-apa buat ngelawan.” sambung Toni.

“Kita tidak akan menangkap penculik tersebut.”

“Terus?”

“Kita akan jebak penculik tersebut buat masuk perankap kita.”

“Emangnya lu punya rencana?”

“Rencananya begini…..” Jelas Dicky panjang lebar “Dan harus ada salah satu dari kita yang menjadi umpan untuk meyakinkan si penculik agar masuk perangkap kita.” Lanjut Dicky sambil melirik ke arah Fian. Tak mau ambil pusing, Toni ikut melirik ke arah Fian.

“Jangan fikir kalau gue yang harus jadi umpan” Seru Fian

“Tenang saja, Yan, setelah penculik nanti datang, aku akan langsung mengirim sinyal ke polisi dan orang terdekat pakai alat Ayah gue. Nah, lu bisa terkenal jika rencana ini berhasil.” ucap Dicky meyakinkan.

Fian mendengus pelan, terpaksa menyetujui.

***

Di suatu sisi taman dalam keheningan malam, Dicky dan dua orang temannya telah bersiap di posisi tugas masing-masing. Di keheningan malam yang dingin, Fian telah bersiap menjalankan tugasnya dengan berjalan di salah satu sisi jalan taman. Sementara Dicky dan Toni bersembunyi di sela-sela tempat bermain anak-anak.

Fian mencoba berjalan lama, dengan hati gelisah menampakkan wajahnya yang panik bercucuran keringat dingin. Sedari tadi jantungnya terpacu. Tidak butuh waktu lama, terlihat seorang laki-laki datang dari balik arah Fian berjalan. Dicky fokus mengamati. Lamat-lamat terlihat Pak Thomas yang masih dengan seragam guru lengkap berjalan santai. Fian terus berjalan, sementara Dicky memutuskan keluar, menyapa Pak Thomas yang ia pikir bukan siapa-siapa.

“Pak Thomas” sapa Dicky. Sontak Pak Thomas menoleh dan mendapati Dicky berdiri di baliknya di bawah remang-remang lampu taman.

Ohh, Dicky” ujar Pak Thomas.

“Bapak baru pulang?” tanya Dicky.

“Iya, habis lembur, ngapain kamu malam-malam di taman sendirian?” Pak Thomas balik tanya.

Nggak ngapa-ngapain, Pak. Kebetulan lewat sini aja.”

“Kamu bisa ikut bapak sebentar, ada yang pengen bapak omongin.” ujar pak Thomas sembari menarik lengan Dicky menuju sisi lain taman. Semakin gelap. Meninggalkan sementara Toni dan Fian. Di balik semak-semak pak Thomas menarik Dicky.

“Dicky, kamu itu anak yang pintar. Bapak bangga sama kamu, tapi sayang sekali, kepintaran menjerumuskanmu kepada kesialan.” Pak Thomas membalikkan badan. Tersenyum simpul Sambil mencoba merogoh sesuatu dari balik celananya.

“Maksud bapak apa?” bingung Dicky.

Sebilah pisau berhasil dikeluarkan. Mengkilap di bawah sinar rembulan. Mata Dicky membulat, menangkap ujung pisau yang tajam. Jantungnya tersentak sesaat, tak Sanggup berkata-kata. Dengan sekejap, Pak Thomas telah mendekap Dicky dari belakang dengan pisau terhunus di tangan kanan yang cepat atau lambat dapat dengan mudah memutus urat pernapasan Dicky.

“Aku tau kamu sedang mencoba menjebak pembunuh berantai yang telah membunuh banyak teman kamu.” Ujar Pak Thomas.

“Sekarang dua teman bodohmu itu pasti sedang menunggu penculik itu datang dan tidak tahu bahwa penculik tersebut telah mengamankan korban berikutnya.”

Muka Dicky semakin pucat.

“Mungkin, dengan aku menggesekkan pisau ini ke leher, tidak akan ada lagi yang menghalangi aksiku.”  Sebuah bibir mendekat ke telinga Dicky, mendengus pelan menerpa pipi Dicky.

Keringat dingin terus menetes. Otot Dicky mengejang.

“Maaf, tapi bapaklah yang telah menggagalkan aksi bapak sendiri” ujar Dicky mencoba memberanikan diri sesaat.

Deru langkah kaki datang bergerombol di antara semak-semak, terdengar dari segala arah. Remang-remang, silau lampu menyoroti mereka berdua. Pak Thomas menganga kebingungan, melihat apa yang telah terjadi ketika segerombolan polisi datang menodongkan pistol dari segala sisi mengarah ke arahnya berdiri.

“Menyerahlah Pak Thomas, Anda sudah terkepung, lepaskan anak itu dan Letakkan tangan anda di atas kepala” tegas salah satu polisi dengan pengeras suara. Di baliknya berdiri Fian dan Toni.

Dicky tersenyum bangga sekaligus lega melihat kedua temannya menjalankan rencana dengan sempurna.

Pak Thomas tak mengindahkan ucapan polisi tersebut, kemudian tertawa lepas memecah suasana tegang.

“Tidak akan seekor singa melepas mangsanya begitu saja, begitu pula aku.” ujar Pak Thomas sambil terus mendekap Dicky dengan menghunus-hunuskan pisau seolah ingin segera menancapkan pisau. Polisi semakin bersiap ketika tangan Pak Thomas bergerak.

Suasana menegang, polisi terus bernegosiasi dengan sesekali memberi penegasan. Pak Thomas masih bersikeras untuk tidak melepaskan Dicky.

Tiba-tiba Pak Thomas berujar “Ketika saya melihat tiga orang anak yang lalu, saya melihat ada cincin melingkar di atas kepala mereka, yang kemudian saya yakin bahwa Tuhan telah memanggil.”

Nada Pak Thomas mulai meninggi, polisi fokus menyimak dengan pistol tetap teracung “Dan dengan membunuh mereka, maka mereka akan segera bertemu dengan Tuhannya.” Nafas Pak Thomas tersenggal,

“Begitu juga anak ini.”

Digesekkannya pisau, tanpa ampun menyayat leher Dicky.

DOR!

Satu tembakan mengarah tepat di dada, menghentikan aksi Pak Thomas. Darah mengalir. Dicky meronta-ronta memegangi lehernya yang terus mengucurkan darah segar. Ambulans segera digerakkan untuk membawa Dicky. Sementara Pak Thomas meninggal seketika di TKP.

Kemudian, sidang kembali digelar. Jaksa memutuskan bahwa Pak Sigit terbukti tak bersalah dan dibebaskan tanpa syarat dengan kompensasi yang setimpal.

Karya: Muhammad Sirojuddin Munir, alumni Mansajul Ulum 2025.

 

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 27 kali

Baca Lainnya

Semesta Teramati

13 Juni 2025 - 09:49 WIB

Semesta Teramati

16 Mei 2025 - 07:36 WIB

AK24

18 April 2025 - 09:54 WIB

Lima Butir Jagung

21 Maret 2025 - 11:38 WIB

24 Hours

21 Februari 2025 - 12:47 WIB

Air Mata Annisa

24 Januari 2025 - 09:25 WIB

cinta
Trending di Cerpen