Pukul 03.00 petang, Jakarta, 7 Mei 1965, markas A2 depan jalan Teuku Cak Ditiro.
Dor! Dor! Dor..!!
Gemuruh tembakan peluru yang bertubi-tubi membangunkan kami para tentara. Kami bangun dengan hati sangat terkejut dengan baju kerja yang masih melekat pada tubuh. Kami semua bergegas mencari tempat untuk berlindung.
“Apa yang telah terjadi?” tanya temanku Kohar. Posisinya sedang tiarap di belakang kursi panjang bersamaku.
“Entahlah, aku tidak tahu.” balasku. Semua diam di tempat.
“Satu orang siapa saja coba intip apa yang terjadi.” Komandanku Arka mengeluarkan suaranya. Posisinya berada di belakang jauh dengan arah tembakan tadi. Satu orang yang posisinya dekat mencoba mengintip di sela-sela pintu. Di sana terlihat satu rombongan mobil truk.
Dengan bendera yang dipasang berlambang palu arit, orang-orang yang berpakaian hitam-hitam segera keluar menenteng sebuah senapan.
“PKI yang datang.” seru orang itu.
“Mendengar itu hatiku tercekat.”
PKI adalah organisasi yang ramai dibicarakan orang-orang. Organisasinya sangat kejam membunuh banyak orang yang tidak sepaham dengan mereka. Komunisme tahun kemarin telah memberontak di Madiun, dan sekarang mereka malah mengincar kami.
“Kau tidak salah?” tanya Arka.
“Tidak komandan, mereka membawa bendera berlambang palu arit.” Arka terdiam.
“Hmm, baiklah, semua mendekat, kita punya waktu 15 menit sebelum mereka mendobrak pintu ini.” Teriak Arka menginstruksi semua bawahannya untuk berkumpul. Enam orang di situ semua adalah tentara yang berjaga pada hari ini. Lainnya keluar untuk menjalankan tugas masing-masing.
“Kita tidak bisa berlama-lama di sini. Harus ada yang melapor ke markas pusat.”
“Tapi bagaimana komandan? Kita tidak bisa keluar. Mereka telah mengepung markas.” tanya tentara yang tadi mengintip.
“Ada, masih ada jalan. Kita diuntungkan dengan sungai di belakang markas. Kita bisa pergi dengan meloncat tembok belakang.” jelas Arka. Kami semua terdiam mendengar penuturannya. Memang benar di belakang markas ada sungai yang menempel dengan tembok belakang. Posisi itu sangat menguntungkan bagi kami. Tapi kami harus melewati dulu tembok besar belakang markas untuk masuk ke sungai.
“Terus siapa dari kita yang akan pergi?” tanya tentara lain. Kami terdiam.
“Cahyo Raditya yang pergi.” Arka menjawab. Aku terkejut, tidak menyangka dari semua tentara yang dipilih adalah namaku. Semua temanku menganggukkan kepala menandakan setuju dengan ucapan Arka.
“Tapi komandan, Aku..”
“Sudah, Cahyo, kamu yang pergi. Kamu adalah tentara yang masih muda. Generasi seperti kamu lebih dibutuhkan negara. Tolong kamu cepat menuju markas pusat untuk melapor biar di sini kami yang menahan PKI terlebih dahulu.” ucapanku dipotong Arka dengan terpaksa aku mengangguk.
“Woi abdi negara, buka pintunya.” Tiba-tiba terdengar teriakan para PKI di luar markas. Kami diam tidak menyahuti.
“Tiga orang tahan pintunya, dua orang ambil senjata seadanya, dan kamu Cahyo cepat bergerak pergi!” perintah tegas Arka. Dengan bergegas aku berlari mengambil barang yang bisa dinaiki. Lalu menyusunnya agar bisa kugunakan untuk memanjat tembok. Perlahan-lahan aku naik detik demi detik terus berjalan dengan susah payah. Aku menaiki tembok dengan barang yang kususun. Kulirik temanku juga sedang bergerak cepat dan mempersiapkan diri.
“Woi abdi negara, cepat buka atau kami dobrak pintu ini.” terdengar teriakan PKI lagi. Aku telah berada di tembok atas dengan cepat. Aku menyingkirkan genteng lalu memukul kayunya dengan palu yang kubawa agar aku bisa keluar dari sana.
“Oh, oke, kalau kalau kalian tidak mau membukanya kami akan membukanya dengan paksa. Bersiaplah 10 detik dari sekarang, peluru yang akan bertindak.” Suara PKI bernada tegas. Tanganku berhenti memukulkan palu karena terkejut mendengar ancaman tadi. Suasana tegang juga dirasakan teman-temanku. Mereka telah siap dengan membawa senjata masing-masing.
“Satu!” PKI mulai menghitung ramai-ramai.
“Dua!”
“Jangan berhenti Cahyo, cepat selesaikan.” teriakan Arka mengingatkanku dengan cepat. Aku memukulkan palu lagi.
“Tiga!”
“Ayolah sedikit lagi.” Batinku.
“Empat!”
Akhirnya kayu terlepas dengan cepat. Aku ulurkan tangan lalu menaikinya dengan susah payah.
“Lima!”
Aku telah berada di atas markas. Di bawahku ada sungai yang panjang dengan air sangat deras. Sungguh menguntungkan kami posisi ini.
“Enam!”
“Tutup gentengnya seperti semula, Cahyo, biar tidak ada kecurigaan bahwa dari kita ada yang kabur.” teriak Arka dari bawah. Barang yang tadi kunaiki juga telah disingkirkan dia untuk menutup kecurigaan. Aku membalas dengan anggukan kepala.
“Tujuh!”
Sebelum kututup, aku menatap semua wajah teman-temanku. Mereka juga menatap balik. Sungguh terasa sakit harus berpisah dengan suasana semacam ini. Mereka harus berkorban demi aku bisa keluar, sedangkan mereka tidak tahu akan hidup atau mati.
“Delapan!”
“Tidak usah bersedih, Yo. Kita semua tidak apa-apa. Sebuah kehormatan bagi kami bisa berkorban untuk negara. Kamu cepat ke markas saja.” Kohar tersenyum padaku. Semua tentara juga menganggukkan kepala yang diiringi senyum manisnya.
“Saat kau sudah sampai di markas pusat, bilang pada mereka bahwa kita cinta pada negara.” timpal Arka menambahi. Aku mengangguk.
“Sembilan!”
Dengan cepat aku menutupkan genteng dan menyusunnya seperti semula dan bergegas pergi.
“Sepuluh!!”
Hitungan terakhir. Suasana hening sesaat dan tiba-tiba terdengar nyalakan senapan bertubi-tubi. Aku mengintip di celah-celah genteng. Suasana terdengar begitu ramai. Di sana pintu telah didobrak, kaca-kaca juga berhamburan, PKI menembakkan peluru terus-menerus. Teman-teman dan komandanku juga melawan sekuat tenaga, tapi apalah daya PKI beranggotakan banyak orang. Sebanyak apapun anggota PKI yang telah ditumbangkan anggotanya tetap tak ada habisnya. Perlahan-lahan kulihat mereka tumbang satu persatu.
Hatiku sakit melihat itu semua. Mereka adalah kawan yang baik. Hari ini mereka telah berkorban demi negara. Aku tak akan lupa dengan hal yang tadi mereka lakukan padaku.
“Ingat teman, aku akan membalas jasamu, menghancurkan yang namanya PKI, menyingkirkan mereka dari bumi pertiwi.”
“Apakah ada yang kabur.” aku mendengar suara mereka dari bawah sana. Pembunuhan telah mereka selesaikan. Karena tak ada yang bisa kulakukan, aku melompat ke bawah menuju sungai untuk kabur.
“Byuur…” Air sungai yang dingin mengenai kulitku. Beruntung di belakang tidak ada yang menjaga, secepat mungkin aku langsung berenang mengikuti arus menuju markas pusat untuk melaporkan kelakuan PKI terhadap teman-temanku.
Aku akhirnya keluar dari sungai jam 06.00 pagi. Setelah 2 jam berenang keadaanku tampak buruk, tubuhku lelah. Dengan hanya memakai singlet tentara dan celana, aku berjalan sempoyongan, tubuhku biru-biru terkena goresan duri yang ada di sungai. Aku berjalan menuju markas pusat. Aku berjalan dengan sembunyi-sembunyi khawatir ada mata-mata PKI yang melihatku. Markas besar pusat yang berada di jalan Pangeran Diponegoro tidak terlalu jauh dengan markasku. Di jalan Teuku Cak Ditiro, perlu satu jam jika membawa kendaraan. Hanya saja aku membutuhkan 3 jam untuk menujunya karena berjalan kaki. Aku sampai jam 08.30 pagi. Tubuhku benar-benar tidak kuat.
“Kemarin aku bertugas dan malamnya ingin tidur, PKI telah datang menyerang.” Saat tubuhku mau roboh, dua tentara yang berjaga di depan markas berlari menghampiriku. Telingaku sudah tak sanggup mendengar omongan mereka. Perlahan mataku menutup lalu pingsan.
Mataku mengerjap-ngerjap, kulihat di sekelilingku ruangan serba putih, bajuku telah diganti dengan pakaian baru. Tubuhku masih terasa sakit. Aku mencoba duduk tapi tidak kuat. Mendengar suara pintu dibuka, aku menoleh kearahnya. Dua orang berjalan menghampiriku, yang satu berpakaian dokter, yang satunya berpakaian tentara. Mereka tersenyum padaku.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya orang berbaju tentara.
“Aku baik-baik saja, Tuan. Hanya saja tubuhku masih terasa sakit.”
Dia menganggukkan kepala tersenyum.
“Syukurlah kalau kamu baik-baik saja, aku harus pergi dulu karena masih ada urusan. Tolong dokter temani dia dulu selama aku pergi.” ucap orang itu pada dokter di sampingnya. Dokter itu mengangguk, lalu dia pergi setelah melambaikan tangan padaku.
Dari dokter yang menemaniku, aku tahu kalau orang berbaju tentara tadi bernama Drajati Dewa, salah seorang komandan dari markas pusat bawahan dari bapak Letkol Soeharto. Dia membawaku ke sini karena melihatku yang pingsan dipapah anak buahnya. Dua hari setelah keadaanku mulai pulih, aku sudah dibolehkan pulang. Hari ini aku melangkah ke ruangan komandan Drajati Dewa untuk melaporkan kejadian tentang markasku yang diserang anggota PKI.
“Ah, kau sudah pulih, Cahyo. Sini,” Aku cepat berjalan ke arahnya.
“Apa yang akan engkau laporkan sampai kau kemarin datang dalam keadaan kacau?” tanyanya.
Dengan gamblang dan jelas aku ceritakan kejadian di mana malam itu kalau markasku habis diserang PKI. Teman-teman dan komandanku mereka rela mati demi aku bisa pergi melapor. Lalu keadaanku kacau balau setelah melarikan diri lewat sungai untuk menuju markas pusat. Dia terdiam mendengar ceritaku. Berkali-kali dia menghela nafas lalu menelpon seseorang agar menyiapkan pasukan untuk mendatangi markasku.
“Oke, Cahyo. Ayo kita datangi markasmu, barangkali PKI masih di sana agar kita bisa membalasnya.” ucapnya lalu berdiri. Aku mengikutinya. Kami berangkat menuju markasku dengan menggunakan 5 mobil taktis (rantis) yang digunakan ketika darurat. Iring-iringan konvoi melaju cepat menuju jalan Teuku Cak Ditiro.
Satu jam perjalanan akhirnya aku sampai. Hatiku begitu terkejut melihat kondisi markas dengan suasana begitu sepi tanpa ada satupun anggota PKI. Markas telah hangus bekas dibakar. Keadaan kaca dan pintunya juga hancur tak tersisa. Aku cepat membuka pintu mobil lalu berlari menuju markas. Komandan Drajati Dewa dan anak buahnya bergegas menyusulku. Aku sungguh sedih melihat bagian dalam markas bekas peluru masih berserakan, barang-barang rusak parah. Aku melangkah menuju ruang di mana temanku kemarin tiada.
Aku terduduk ketika melihat jasad temanku hitam menggosong. Tubuhku gemetar. Aku pandangi semua wajah mereka. Komandan Drajati Dewa bergegas mendekat ketika melihatku terduduk. Dia terkejut melihat jasad teman dan komandanku. Dia menyuruh anak buahnya memeriksa keadaan. Aku ingin marah. Aku sangat dendam dengan yang namanya PKI. Mereka harus dieksekusi, harus dibunuh, tidak ada PKI yang boleh hidup di negara Indonesia ini. Mereka harus musnah. Para pemberontak itu harus disingkirkan. Seseorang datang menyentuh bahuku. Aku menoleh, komandan Drajati Dewa tersenyum padaku meskipun wajahnya juga berduka.
“Aku ikut sedih dengan kondisi markas dan teman-temanmu, Cahyo. PKI memang biadab. Mereka harus dicari, nanti jasad teman-temanmu biar kita kuburkan di makam pahlawan. Mereka pantas mendapatkan kehormatan sebagai pahlawan.” ucap komandan Drajati Dewa.
“Karena sekarang kamu tidak punya satuan, kamu aku masukkan ke markas pusat. Ayo kita perangi bersama-sama para PKI. Hal yang menimpamu ini kita jadikan bukti untuk menghancurkan mereka.” tambahnya. Aku mengangguk.
Hari ini aku akan bergabung dengan satuan pasukan markas pusat. Aku akan mempersiapkan diri untuk memburu para PKI, membalaskan kematian para teman-temanku. Aku akan terus mencari mereka sampai ke pelosok-pelosok negeri meskipun nanti mati menjadi taruhannya.
Sehabis memakamkan jasad para teman dan komandanku, pasukan satuan markas pusat mulai bertindak tegas. Mereka mulai melihat aktivitas PKI dan memburunya secara diam-diam. Minggu demi Minggu berlalu, aku dalam pasukan markas pusat mulai memburu dan menghabisi para PKI.
Kita berangkat mencarinya, menyusuri tempat-tempat yang mereka kunjungi berkali-kali. Beberapa kali kami sempat bentrok dengannya, hingga berhasil menggagalkan rencana mereka membuat pemberontakan.
Hati kami sangat panas ketika melakukan pengejaran di pabrik kosong. Mereka telah kabur, tapi mereka menyisakan jasad para korban yang darahnya menggenang sampai mata kaki. Sungguh pembantaian yang mengerikan, dan akhirnya kami membersihkan para korban masa itu
Puncak kemarahan kami tiba ketika tanggal 30 September. Mereka telah menculik 7 perwira tinggi angkatan darat. Pembunuhan yang dilakukan satu malam enam jam itu didalangi oleh DN Aidit. Suasana menjadi kacau balau, resimen cakrabirawa pasukan pengawal presiden diduga juga ikut melakukan penculikan hingga akhirnya panglima Kostrad Bapak Soeharto berhasil mengendalikan situasi. Aku dan sebagian pasukan markas pusat bergabung dengan resimen para komando angkatan darat RPKAD yang dipimpin Brigjen Sharwo Edhi. Nama RPKAD sendiri nanti yang akan dikenal sebagai satuan Kopassus.
Kami menelusuri jejak hilangnya para perwira yang hilang berkali-kali. Jalan kami buntu tidak menemukan mereka. Kami hampir putus asa hingga akhirnya kami bertemu dengan AKBPN (Pur) Sukitman, seorang perwira polisi. Dia mengaku melihat tempat 7 perwira diletakkan di Jakarta bagian timur.
Kami pun bergegas ke sana. Setelah diberitahu bahwa sumur itu tempatnya, kami mengalinya saling bahu membahu dengan para tentara lainnya. Brigjen Sharwo Edhi sendiri memantau langsung prosesnya. Sumur masih lama mencapai kedalamanya, tapi kami masih harus semangat, sampai hari menjelang malam akhirnya kami menemukan jasad mereka dan mengangkatnya ke atas.
Kami menangis tak menyangka, tujuh perwira yang notabenenya sebagai pahlawan negara, pahlawan kemerdekaan, bahkan ikut meredam agresi Belanda harus mati dibunuh rakyatnya sendiri. Sungguh nahas nasib mereka.
Sumur bekas pembuangan mereka dibongkar dan dibangunkan tembok yang dikenal sebagai monumen lubang buaya untuk mengenang peristiwa berdarah itu. Tidak lama setelah penguburan tujuh perwira, datang sebuah dekrit dari presiden untuk menangkap PKI dan orang yang berhubungan dengan PKI. Pemburuan PKI dimulai. Semua tentara dari resimen apapun yang masih setia dengan negara bersatu, Laskar Hizbullah Sabilillah dan pasukan Siliwangi yang sudah lama benci dengan partai komunis juga ikut membantu.
Aku dan resimen RPKAD yang dipimpin Brigjen Sharwo Edhi melakukan pengejaran di Jawa Tengah. Pengejaran kami terus melibatkan pertempuran karena PKI terus melawan, keterampilan kami sebagai pasukan khusus membuat mereka tak berdaya. Mereka ditangkap dan dieksekusi.
Aku dan resimen RPKAD berjalan dipandu Brigjen Sharwo Edhi di Jawa Tengah. Pengejaran di Jawa Timur dipimpin oleh jenderal Nasution. Jenderal Nasution merupakan jenderal yang selamat dari penculikan pengejaran dan penangkapan yang dilakukan dari berbagai daerah di Indonesia.
Tidak meninggalkan apapun, semua golongan PKI akhirnya berhasil dieksekusi. Semua pemimpin PKI telah dibunuh mati dan anggotanya sendiri sudah habis tidak tersisa. Akhirnya semua resimen tentara bisa tenang pulang ke markas masing-masing. Aku dan sebagian pasukan markas pusat dan RPKAD pulang setelah diizinkan Brigjen Sharwo Edhi. Akhirnya lambang Garuda tidak berganti dengan palu arit.
Aku menatap markasku hari ini. Markas kembali dibangun lagi menetapkan aku sebagai komandan baru yang telah dilantik oleh bapak Kostrad -Soeharto-. Aku tersenyum setelah satu bulan menerima dekrit untuk menangkap PKI.
Akhirnya misi selesai. PKI telah ditangkap dan dieksekusi. Kematian para teman-temanku terbalaskan sudah. Mereka jadi bisa lebih tenang di alam sana. Mereka memang orang hebat yang mementingkan urusan negara sampai mati rela menjadi taruhannya. Selamat jalan teman. Namamu telah dikenal sebagai pahlawan.
Karya: Alpratama, santri Mansajul Ulum.










