Menu

Mode Gelap

Cerpen · 28 Okt 2022 09:10 WIB ·

Menentang Cahaya


 Menentang Cahaya Perbesar

Aku tahu, dirinya itu bukanlah warga desa sini. Sudah terlihat jelas dari kendaraannya yang terpakir di depan masjid dan pakaiannya yang terlihat seperti orang sedang berpergian jauh. Jujur saja, walaupun dia sempat di pandang jelek oleh warga yang tak mengenal sosoknya, tapi dia juga pernah atau bahkan sering dianggap baik bagi warga.

Aku tidak berani mengajaknya bicara karena dia masih seperti sosok yang asing bagiku. Itu menjadi pertemuan pertamaku dengannya. Tapi aku sangat yakin bahwa dia adalah orang yang baik. Aku hanya meliriknya sekilas dan melihat sesuatu yang janggal, kemudian sudah.

Lalu, ada sosok jamaah masjid yang lewat di depanku, dan dia berkata:

Orang yang benar-benar ingin ikut merayakan hari kelahiran kanjeng Nabi itu, jangan dinilai dari pandangan negatif kita terhdapanya. Tapi lihatlah dari keistiqamahan dalam merayakan dan semangatnya dalam mengucapkan sholawat. Warmad harus jadi contoh nih, buat warga yang niat datang ke masjid bukan untuk merayakan kelahiran Nabi dan bersholawat kepadanya, melainkan untuk mendapatkan bungkusan snack semata. Itu sih namanya bukan istiqamah dan semangat merayakan kelahiran Nabi tapi, istiqamah mengambil bungkusan dengan semangat.”

Aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala ketika mendengarkan pernyataan jamaah tersebut yang setelah mengatakan itu, ia langsung berjalan mengambil bungkusan dengan kresek plastik di tangannya. Dan saat itu juga, aku melihatnya berlari tergesa-gesa memasuki mobil mewah miliknya.

Suatu ketika, aku bertemu kembali dengannya. Entah itu sebuah kesengajaan atau memang takdir. Saat aku sedang berkunjung ke kota sebelah, aku melihatnya dengan seorang gadis kecil, berjalan bersamanya, mengantarkannya ke sebuah tempat yang tidak pantas ia masuki.

“Kau kenal dengannya?” Tanya saudaraku yang sudah melihat orang tersebut lamat-lamat.

“Ya, dia adalah orang asing yang sudah 11 hari ini ikut merayakan maulid Nabi.” Jawabku, yang membuat saudaraku kaget.

“ Maulid Nabi?” Tanyanya lagi. Aku hanya menjawabnya dengan dengan anggukan.

“Pantas saja, minggu yang lalu dia diseret oleh beberapa pendeta dengan paksa.” Gumam saudaraku.

“ Maksudnya?” Tanyaku bingung tak tahu kemana arah pembicaraannya.

“ Dia kaum Nasrani, Keenan.” Jawabnya pendek.

Aku tak kaget ketika mendengar kabar bahwa dia adalah kaum Nasrani. Karena sebelum saudaraku mengatakannya, ku sudah pernah melihatnya memasuki memasuki masjid dengan kalung salib. Hanya aku waktu itu yang mengetahuinya.

# # #

 Suasana menjadi hening, setelah Keenan menyelesaikan ceritanya dengan kalimat terakhir yang membuat semua tercengang dan bingung.

“Jadi, kronologinya seperti itu,” ucap Keenan, mengakhiri ceritanya.

Masih setia dengan suasana itu, semua orang hanya diam dengan sesekali melirik kearah orang Nasrani itu, Warmad, yang sudah terbangun dari pingsannya tadi.

“Aku tahu, bahwa kamu sudah melihat gerak-gerikku dari awal,” ucap Warmad mengawali pembicaraan.

“Dan setelah ini, aku akan menceritakan kepada kalian, tujuan aku masuk masjid ini. Tapi, sebelum itu, tolong dengarkanlah aku ini, yang akan masuk dalam agama kalian.”

“Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.”

# # #

            -WARMAD POV-

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 423 kali

Baca Lainnya

Tanah Kelahiran

8 Agustus 2025 - 10:32 WIB

Cincin di atas Kepala

11 Juli 2025 - 10:23 WIB

Semesta Teramati

13 Juni 2025 - 09:49 WIB

Semesta Teramati

16 Mei 2025 - 07:36 WIB

AK24

18 April 2025 - 09:54 WIB

Lima Butir Jagung

21 Maret 2025 - 11:38 WIB

Trending di Cerpen