Menu

Mode Gelap

Cerpen · 28 Okt 2022 09:10 WIB ·

Menentang Cahaya


 Menentang Cahaya Perbesar

Hari itu entah karena apa, aku berpergian ke kota ini sendirian dengan kebingungan. Awalnya aku tak tahu kenapa aku sampai berpergian sejauh itu demi melihat masjid ini, demi melihat tempat ibadah ibuku dulu. Ya, dulu ibuku adalah seorang muslim, eh maksudku adalah muslimah, dan ibuku juga seorang guru mengaji di masjid ini. Aku mengerti masjid ini, juga dari ibuku sendiri. Ibu bercerita banyak kepadaku tentang awal mula beliau disuruh untuk mengajar sampai ibuku memilih keluar Islam karena sebuah peristiwa. Sebuah peristiwa yang ada pada masa lalu, masa dimana diriku belum ada di dalam rahim ibu.

Dulu, sebelum peristiwa di mana ibuku keluar dari agama Islam,  beliau pernah bercerita tentang susahnya bertahan hidup. Untuk makan satu hari sekali saja sangat susah. Upah dari hasilnya mengajar, tak cukup untuk kebutuhan makan dirinya dan ibunya, yang biasa aku panggil nenek.

Hingga suatu hari ada seorang laki-laki yang menawarkan beliau sebuah tawaran, tawaran yang sangat menguntungkan untuk beliau akan tetapi tidak untuk keyakinannya.

“Mbak, kamu bisa jadi seorang wanita sukses yang dapat membiayai dirimu dan orang tuamu. Sebuah keuntungan yang tak akan bisa mbak dapatkan dengan cepat.”

“ Haha…masa sih mas?” Jawab ibuku menganggap itu hanya sebuah lelucon.

“ Benar mbak, saya tidak bohong! Bahkan jika mbak mau, mbak bisa beli sesuatu sesuka hati. Mobil, motor? Kecil!”

Saat itu, beliau hanya diam. Tersenyum terpaksa menghormati orang yang berbicara, dengan sesekali ia memikirkan nasibnya yang sudah mulai tak bisa ia kendalikan.

“ Akan tetapi mbak, semua itu butuh syarat. Dan syaratnya adalah, kamu harus masuk agama kami, agama Kristen.”

DEG!

Sesuai dugaannya, semua pasti akan dikaitkan dengan keyakinan. Karena pada masa itu, keyakinan sedang dipermainkan untuk diperebutkan, saling berlomba-lomba untuk mendapatkan teman seagama yang lebih banyak dan luas, tanpa memikirkan sebuah kepastian.

Saat itu, beliau hanya tersenyum, mengangguk-angguk canggung, seakan mengerti. Dan setelah itu, beliau membiarkan sang pemuda terus bercerita, bernegosiasi hingga ia bosan dengan sendirinya dan memilih untuk pulang.

“ Jadi, apa yang akan kamu pilih, nduk? Agama atau dunia?” Tanya nenekku saat itu, ketika sudah melihat tamunya keluar rumah.

Ibu menghadap ke arah nenek, tersenyum dan menggeleng.

“ Tidak, Bu. Saya akan tetap memilih agama kita.”

# # #

Hari berlalu dengan cepat, dan dengan berlalunya hari itu, membuat kejadian-kejadian tak terduga semakin marak. Dan itu semua pun, ada kaitannya dengan keyakinan. Begitu pula dengan ibuku, yang asalnya ia terbiasa dengan kekurangan,  semakin hari ia mulai agak lebih susah dari hari biasanya. Apalagi setelah beliau diberhentikan untuk tidak mengajar ngaji lagi, lalu menjadi pengangguran yang berusaha tegar menghidupi nenekku dengan cara apapun, walau harus menjadi buruh. Hingga suatu ketika, ia terpikirkan lagi dengan omongan lelaki yang pernah bertamu ke rumah sempitnya.

“ Ufli, apa kamu nggak kasian sama ibumu yang udah tua dan sering sakit-sakitan itu?” Tanya, teman ibuku.

“ Kasian kok, tapi aku juga harus tetep sabar dong sama apa yang diberikan Allah buat aku dan ibuku.”

“ Heh, Li. Kalo mau bahas sabar apa enggaknya itu dikira-kira. Lagian ibumu itu udah sepuh loh! Dan menurutku sih, lebih baik kamu terima deh tawaran orang asing yang sering keliling ke rumah warga. Nggak harus dengan masuk ke agama lain deh, tapi kamu pura-pura aja udah masuk Kristen, nanti pasti dapet jatah, apalagi kamu keliatan kasian banget nih, dan yang pasti kompensasinya lebih banyak.”

Ibuku hanya diam memikirkan ucapan temannya tersebut. Ia merasa ada sesuatu yang menarik dirinya untuk menyetujui pernyataan temannya itu, karena ia juga sudah merasa jenuh dengan kehidupannya yang miskin, menjadi kepala keluarga dengan penyakit nenekku yang saat itu mulai tak bisa untuk di obati.

Dan benar dengan dugaan kalian, ibuku pun masuk ke dalam agama Kristen. Awal mula ia hanya berpura-pura sudah masuk agama itu, akan tetapi kenikmatan-kenikmatan dunia yang ibuku dapatkan membuat ia semakin lupa akan agama aslinya sejak lahir. Hingga ia menikah dengan ayahku dan keluarlah diriku yang dididik oleh ajaran agamaku dulu –Kristen.

Dan apakah kalian tahu lanjutan dari kisah ibuku? Apakah dia mati pun dengan agama barunya atau tidak? Asalkan kalian tahu, bahwa beliau meninggal dalam keadaan masuk Islam.

# # #

“Kembali ke alasan kenapa aku mendatangi masjid ini dan ikut merayakan Maulid Nabi. Asal kalian tahu, semua itu berasal dari sebuh mimpi yang juga menjadi alasan kenapa aku pingsan saat Mahallul Qiyam, mimpi tentang diriku bertemu dengan cahaya yang menentang,” Warmad diam mengakhiri ceritanya. Dan warga yang menyimak cerita tersebut pun ikut terdiam, hingga sebuah suara memecahkan keheningan tersebut.

“Rasulullah kah itu?” tanya Keenan yang langsung di sambut tatapan kaget para warga.

Karya: Puspita Kamal, Santri Mansajul Ulum

 

 

 

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 423 kali

Baca Lainnya

Tanah Kelahiran

8 Agustus 2025 - 10:32 WIB

Cincin di atas Kepala

11 Juli 2025 - 10:23 WIB

Semesta Teramati

13 Juni 2025 - 09:49 WIB

Semesta Teramati

16 Mei 2025 - 07:36 WIB

AK24

18 April 2025 - 09:54 WIB

Lima Butir Jagung

21 Maret 2025 - 11:38 WIB

Trending di Cerpen