(Bagian Dua)
Tahun 2104
Sepanjang hari tak henti-hentinya pesawat terbang yang hilir mudik memenuhi langit, membuat langit biru menjadi hitam, pesawat dari berbagai negara datang menuju titik berkumpul yang ada di Rusia sebelum pergi menjelajahi galaksi. Setelah diperhitungkan, Rusia masuk kategori aman dari gelombang kejut yang dihasilkan supernovanya matahari. Fraxinus, nama pesawat yang digunakan dalam misi ini, terdapat satu mode khusus yang tidak dipunyai pesawat lainnya selain melaju melebihi kecepatan cahaya. -Ya- mesin dalam pesawat ini mempunyai sebuah trik untuk memberhentikan umur atau lebih tepatnya keabadian semu.
Pengamatan terhadap matahari di Observatorium Hubble di California memberitahu bahwa sebentar lagi matahari akan meledak. Semua orang telah memasuki pesawat masing-masing. Matahari China telah diluncurkan. Seluruh manusia pasrah terhadap takdir masing-masing. Anak-anak memeluk ibu mereka dengan erat, kekasih saling bergenggaman, suami memeluk istri. Suhu terasa semakin panas meskipun telah berada di dalam pesawat yang terdapat ac-nya. Bumi bergetar, semua benda terlihat menjadi ringan, mungkin karena medan gravitasi yang hilang. Pesawat-pesawat yang terparkir telah siap untuk lepas landas, ada beberapa yang sudah meninggalkan permukaan. Akhirnya seluruh penduduk telah pergi mengudara. Beberapa detik setelah pesawat terakhir meninggalkan bumi, bumi mengalami guncangan hebat, diakibatkan beberapa lapisan terluar matahari yang terlempar akhirnya telah sampai bumi hingga menjadi sebuah meteorid ketika memasuki atmosfer.
Paul berbeda pesawat dengan John, karena Paul ikut menjadi kepala staf yang berpartisipasi dalam penerbangan di divisi 17, sedangkan John, Marry (Ibu John) dan Amel berada di tempat yang sama, yaitu divisi 1.
“Pemberitahuan untuk semua orang, kita sudah mulai meninggalkan bumi, ucapkan selamat tinggal kepada bumi yang terakhir kali ini kita saksikan.” ucap kondektur pesawat lewat speaker yang terpasang di seluruh pesawat.
***
Makanan telah tersedia, dari mengambil apa yang tersisa di bumi, air sudah ada, kamar telah disediakan per keluarga. Mungkin orang-orang dari kalangan tidak mampu akan bersyukur jika kondisi saat ini lebih baik.
Kapten divisi 1, Letnan John, sedang berkutat dengan panel kemudi di depannya. Matanya fokus ke layar untuk menghindari hujan meteorid yang memenuhi angkasa. Sudah satu jam sejak semua orang meninggalkan bumi, cahaya menghilang bergantikan kegelapan.
Pemandangan yang begitu indah membuat semua orang terpukau. Terdapat banyak cahaya bintang yang memenuhi segala penjuru. Nebula dari hasil supernova matahari memenuhi semua sisi, baik atas, bawah, kiri, dan kanan. Nebula planeter, yaitu nebula yang terbentuk ketika bintang seperti matahari kehabisan bahan bakar fusi. Hal itu mengakibatkan bintang terus membesar sampai akhirnya ia menghempaskan angin bintangnya dalam skala besar sehingga menyebabkan bintang tersebut kehilangan massanya. Angin bintang tersebut kemudian membentuk nebula planeter dan bintangnya menjadi katai putih.
Walaupun terlihat samar, di kejauhan mulai kelihatan planet besar yang dikelilingi cincin batu-batu angkasa. Kecepatan pesawat bertambah, pesawat mulai meninggalkan Saturnus di belakang, semakin maju, semakin terlihat pula planet kembar Uranus dan Neptunus, dan di belakangnya terlihat sebuah planet yang sangat kecil, sangat kecil untuk dikatakan sebuah planet.
Semakin maju, meninggalkan yang di belakang, melupakan semua, membuat lembar hidup yang baru. Mungkin itulah yang dipikirkan sebagian orang ketika mencapai sabuk kuiper, batas terakhir tata surya.
***
Seseorang mengamati layar optik dengan begitu seksama, mencari nama sebuah tempat tinggal baru yang layak huni sudah menjadi bagian dari tugasnya. Memasukkan nama Proxima Centauri B pada kolom pencarian. Sistem memproses, tak berselang lama, layar menunjukkan titik koordinat yang dimaksud.
“Komandan divisi kepada seluruh anggota, berikut ini kami kirimkan koordinat yang akan kita tuju…” ujar Paul sambil mengetik sesuatu, kemudian sebuah tulisan “terkirim” terpampang besar di layar.
John mendongak, dia melihat koordinat yang dikirimkan ayahnya lewat peta digital. Kemudian mengamati sesuatu yang berbentuk planet itu.
“Dimengerti” ucap John.
“Baik”
“Siap”
“Oke”
“Roger”
Suara dari berbagai divisi saling bersahutan memenuhi interkom pesawat.
“Tujuan telah ditentukan, mengubah haluan sebesar 64 derajat.”
“Kecepatan ditambahkan menuju ke 273.000 km/s.”
“Stabilizer diaktifkan.”
“Pesawat akan mengalami guncangan dalam 3…2…1…”
Pesawat mengalami guncangan sebentar, sebelum akhirnya bergerak dengan cepat, seluruh pesawat membentuk formasi V, dengan kecepatan yang tinggi kemungkinan mereka akan mudah bertabrakan, jadi membuat formasi akan jauh lebih efisien untuk bepergian dengan kecepatan tinggi.
Planet mulai terlihat, semakin dekat, semakin besar. Ternyata planet ini mengorbit 2 bintang sekaligus. Semua orang mulai berharap dapat tempat bernaung untuk kehidupan mereka, meskipun harapan itu akan terwujud atau tidak.
Semua pesawat mulai melambat, memeriksa menggunakan sensor pesawat, hasil sedang diproses, loading, tiba-tiba…
Satu pesawat tanpa apa-apa ke arah planet baru yang sedang dituju Proxima Centauri B dengan kecepatan tinggi, semua orang kaget, termasuk Paul, sebagai komandan divisi dengan cepat mengejarnya.
“Bodo amat dengan analisis planet, yang penting sampai dulu baru memeriksa” Letnan Herman berkata dengan keras, diikuti melesatnya pesawat dengan cepat.
“Unit Skuadron 79, Letnan Herman, apa yang kau lakukan? Belum ada perintah untuk bergerak, aku ulangi belum ada perintah untuk bergerak!” teriak Paul dengan keras lewat para raid. Divisi 79 tidak merespon ucapan Paul.
“Letnan Herman, Jangan ke sana! Kita belum tahu apa yang akan terjadi!!” John ikut mengingatkan dengan panik.
“Eh?”
Peringatan John datang terlambat. Titik yang melambangkan posisi skuadron divisi 79 di dalam layar radar bergerak dengan tidak wajar.
***
“Ugh… kenapa ini? Listriknya padam?”
Setelah mempercepat kecepatan dan menyalip beberapa pesawat, ketika mendekati planet tiba-tiba listrik pesawat divisi 79 padam tanpa sebab, seluruh tim maintenance mulai panik, mereka mulai menghidupkan kembali mesin pesawat, tapi tidak ada gunanya, mesin generator cadangan mulai diaktifkan, berhasil menyala, tetapi tidak berselang lama disusul kemudi yang macet dan listrik yang padam lagi, mungkin disebabkan gravitasi yang kuat, mesin pesawat mengalami kendala sehingga membuatnya gagal menyala.
“Herman, cepat menyingkir dari sana!”
Herman menerima peringatan dari Dennis yang berada di devisi 9. Pesawat divisi 79 mulai bergerak, bukan bergerak karena berjalan, tapi seperti disedot oleh sesuatu yang besar.
“Ah…”
‘Bahaya datang.’
‘Sistem rusak.’
‘Bahaya tidak dapat dihindari.’
‘Memulai prosedur evakusasi.’
‘Seluruh penumpang, pergi ke kapsul darurat!’
‘Seluruh penumpang, pergi ke kapsul darurat!’
Semua orang panik berlari ke sana kemari tak karuan. Ada beberapa orang yang sudah masuk ke kapsul. Orang-orang mulai mengetahui situasinya. Arah pesawat kapsul yang telah tersedia. Tinggal beberapa orang lagi
‘Pengevakuasian sudah 96,7%.’
‘Meluncurkan semua kapsul dalam 3..2..1..’
“Aku tidak mau mati”
Bersamaan dengan perkataan yang diucapkan Letnan Herman lewat para raid, pesawat itu bergerak tanpa kendali ke arah bintang yang diorbit si planet. Sesuatu berbentuk segitiga itu menabrak bintang, menciptakan ledakan, meskipun tidak dapat didengar, karena tidak terdapat oksigen, tetapi efek ledakan membuat semua orang merasa seolah-olah mendengar ledakan itu. Semua orang diam terpaku. Sebagian mengeluarkan keringat dingin. Sistem evakuasi pesawat memang tidak tersedia bagi para pilot dan tim maintenance, sebab karena apapun kecelakaan itu merupakan keteledoran bagi para pengendali pesawat, sehingga mereka tidak mungkin mendapat kospensasi dari pihak pusat.
***
Perjalanan harus dilanjutkan, semua orang melihat kejadian tadi tanpa bisa melakukan apa-apa. Kekosongan hampa di luar angkasa seolah-olah ikut untuk menghilangkannya.
“Seluruh unit menuju ke rasi cygnus. Kita harus tetap melanjutkan perjalanan meski dengan absennya divisi 79” ucap Paul lewat para raid.
“Roger”
“Kapten divisi 1 kepada komandan divisi. Kami tidak bisa pergi terlalu cepat, penumpang evakuasi yang dibebaskan dibebankan ke kami membuat mesin pesawat kami mengalami overhead.”
“Baik. Laporan saya terima, skuadron divisi 1 nanti menyusul menggunakan jejak yang kami tinggalkan.”
‘Masukkan koordinat tempat yang dituju.’
‘Planet kepler 1229b, rasi cygnus.’
‘Koordinat diterima.’
‘Kecepatan ditambahkan menuju ke 330.000 km/s.’
Semua pesawat melesat cepat. Rasi Cygnus bukanlah tempat yang dekat, meski dengan kecepatan tinggi sekalipun. Unit Skuadron divisi 1 masih tertinggal jauh di belakang, dari kecepatan melajunya, kecepatannya mungkin sepertiga kecepatan unit lainnya.
***
John berada dalam ruangan yang penuh dengan tombol-tombol kemudi, semua pilot fokus mengamati jejak yang ditinggalkan oleh pesawat pusat di layar, para CEO pilot hilir mudik mengatur sistem berjalannya pesawat.
“Letnan John, sekarang posisi komandan divisi sudah berhenti, jaraknya mungkin sekitar 40 km dari kita. Tetapi ada yang aneh dengan posisi mereka, mereka berhenti total, seolah-olah sudah sampai tujuan, tapi mereka belum memberitahu kita.” Lilia asisten yang menjabat sebagai CEO pilot memberitahu sambil memegangi beberapa lembar kertas di tangannya.
“Baik. Beritahu seluruh tim untuk pergi dengan kecepatan penuh.”
“Tapi kecepatan penuh hanya bisa dipakai satu kali, itu pun setelah memakainya beberapa mesin harus diganti dengan suku cadang.”
“Ini darurat. Pergi dan beritahu semuanya.”
“Siap.” Lilia hormat yang dijawab dengan anggukan kepala oleh John kemudian dia pergi.
‘Sebenarnya apa yang terjadi. Ayah, kenapa dia belum memberitahuku’ batin John.
***
Seluruh pesawat mendadak berhenti.
‘Mendeteksi bahaya’
‘Bahaya datang!’
‘Bahaya datang!’
Alarm pesawat berbunyi, sensor mendeteksi kemungkinan bahaya. Semua orang bingung. Bahaya datang dari mana?
“Komandan, apa yang terjadi? Seluruh alarm mendadak berbunyi sendiri” ucap seseorang dari para raid.
“Kami juga tidak tahu. Kami menunggu sistem memproses.”
“Komandan, ada apa ini?” timpal seseorang lainnya.
“Komandan?”
‘Ayolah…. cepat…’ batin Paul sambil menatap layar yang ada di depannya.
‘Loading 97%’ tulisan yang menandakan sistem sedang memproses sesuatu, seolah-olah malu menunjukkan hasilnya kepada orang di depannya.
‘Loading 99%’
‘Sucsess’
Paul menatap layar dengan tidak percaya.
“Semua unit segera pergi da..”
Terlambat.
Seluruh komet besar melaju ke arah mereka dengan kecepatan tinggi, mengenai beberapa pesawat sekaligus. Tujuh pesawat oleng kemudian meledak menciptakan gelombang kejut yang besar, beberapa pecah logam tersebar memenuhi angkasa. Paul menggertakkan gigi, geram, sudah 8 pesawat yang hancur sebab dirinya telat memberikan informasi. –Ya- tetapi bukan kesalahan dia sepenuhnya, sistem radar anti bahaya juga terlambat memeriksa sekitar.
“Seluruh anggota, mengenai apa yang baru saja terjadi, kita harap mulai saat ini tidak ada yang tidak mematuhi perintah, demi kebaikan kita dan semua orang.” ucap Paul yang mengandung kesedihan dalam ucapannya
***
Radar yang menunjukkan posisi pesawat Seluruh unit divisi tiba-tiba kami pergeseran, ada sekitar 7 pesawat yang mendadak bergerak ke arah sana kemari yang kemudian hilang dari radar. Seluruh tim maintenance terbelalak kaget.
“Ada apa ini? Kenapa ada yang hilang” ucap Alex sambil menekan tombol-tombol pesawat.
“Kapten, 7 unit pesawat dalam radar mendadak hilang.” Cecilia pilot yang berada di samping John menoleh ke arahnya dan ikut mempertanyakannya.
“Ada yang tidak beres.”
“Hubungi unit pusat, segera!”
“Baik” Cecilia menanggapi permintaan John. Intercom pesawat mulai bersinkronasi dengan unit Pusat.
“Ayah..”
“Aku akan menjelaskannya, ini sudah terhubung ke speaker pesawat?” ucap Paul.
John memandang salah satu CEO pilot yang dibalas dengan anggukan.
“Sudah” jawab John. Paul, Ayah John mulai menjelaskan insiden tadi.
“…..”
“Sekarang posisi kalian berada di mana?” tanya Paul
“Rasi Orion, lebih tepatnya di 27 km di belakang kalian.” jawab John.
“Cepat menyusul, kami akan memperlambat laju sehingga bisa kalian susul.”
“Baik, kami akan menggunakan kecepatan penuh, estimasi sampai mungkin sekitar 36 jam”.
‘Komunikasi ditutup.’
‘Kecepatan ditambahkan menuju ke — 730.000 km per second.’
Pesawat melesat cepat, menuju ke posisi unit divisi lain yang membuat mereka seolah-olah pengembara Galaxy.
***
Pesawat lain mulai tampak lewat layar optik yang ditunjukkan Fraxinus. Mereka memang bergerak lumayan lambat, mungkin mereka memang menunggu kita, batin John.
“Kapten divisi 1 kepada seluruh unit, kami sudah tiba di lokasi kalian, izin membagi penumpang.”
“Izin diterima.”
“Roger”
Dua pesawat mulai mendekat. Lorong panjang mulai terbentuk di antara dua pesawat yang saling berdekatan. Para penumpang mulai memasuki pesawat divisi 32 dan 21.
‘Pembagian penumpang 82%’
Sesaat setelahnya, lorong mulai memendek dan kembali seperti sedia kala. Mereka mulai pergi dan bergerak menuju destinasi mereka selanjutnya. Mereka pergi mengarungi galaksi melewati sebuah lubang hitam yang menghilangkan 10 unit divisi dari mereka.
***
Kegelapan kosong menyelimuti angkasa. Logam besi berbentuk segitiga pada saat menembus cahaya. Suara ledakan terdengar memenuhi seluruh penjuru. Beberapa pesawat pergi meninggalkan yang lainnya. Ada beberapa yang bertahan mempertahankan ke kendaraan transportasinya. Ledakan, benturan, dan pecahan logam, berterbangan memenuhi penjuru angkasa, dari seluruh armada pesawat yang ada, kini tinggal seperlima yang selamat, itupun setelah berhasil melarikan diri dari pertempuran antar pesawat yang sudah tidak bisa dikendalikan. Mereka yang selamat segera pergi dari tempat kejadian pertempuran dan berubah arah dengan pesawat ke rasi Sagitarius.
Peperangan tanpa sebab yang bahkan tidak tahu kenapa dan mengapa bisa terjadi pertempuran memenuhi pikiran mereka semua.
***
Beberapa saat yang lalu…
Mereka. Manusia yang tidak tahu diri, merusak tempat tinggal mereka dan pergi begitu saja tanpa melakukan apa-apa. Meninggalkan planet yang selama ini menampung kehidupan mereka, tidak membalas kehidupan yang diberikan kepada mereka dengan melakukan reboisasi dan sejenisnya. Mungkin saat ini mereka terkena getahnya. Saat persediaan logistik habis, mereka semua mulai merasakan kehidupan tanpa sebuah planet yang menampung mereka. Meskipun mereka menanam pohon di pesawat dan menghemat air, tapi yang namanya manusia pasti ada yang serakah. Memonopoli semuanya sendiri tanpa mempedulikan orang lain yang belum kebagian jatah mereka. Benih-benih memberontak dan ingin menguasai segalanya mulai tumbuh di hati mereka.
Semua meriam laser melesat menembus logam yang ada di depannya. Mereka kaget, siapa yang menembak? Mereka mulai bersinkronisasi lewat para raid, apa yang kalian lakukan? Begitu katanya, bukannya menjawab, yang ditanya malah tertawa terbahak-bahak seakan-akan ini adalah sebuah lelucon.
Tanpa ba bi bu…
Mereka mulai menebak lagi, bukan satu kali, tapi ratusan kali yang membuat tempat itu seperti hujan leser. Satu pesawat tumbang diiringi ledakan setelahnya.
“Komandan apa yang kau lakukan!” teriak seseorang lewat para Raid.
“Ayah! Kenapa kau me…”
“Semua manusia hanyalah alat, memakai sesuatu, rusak, lalu dibuang, tanpa perlu memperbaikinya.”
Setelah kata terakhir yang diucapkan Paul, kemudian divisi, seluruh angkasa dihujani meriam laser dan beberapa rudal. Meskipun ada beberapa orang yang tidak paham dengan situasinya, tapi nyawa mereka terancam, yang bisa mereka lakukan hanyalah ikut bertempur melawan komandan divisi yang mempunyai pesawat 6 kali lipat dari mereka.
“Mari kita akhiri semua ini” ucap komandan divisi, Paul Ehrenfest.
Ruangan kemudi itu terasa panas, bukan panas sebab gerah, tapi karena emosi. Sekarang seluruh skuadron divisi yang ikut melarikan diri berjumlah 18 pesawat. Belum ada seseorang dari unit divisi di luar sana yang mencoba menghubungi.
Bingung….
Tidak tahu harus melakukan apa….
Benci….
Mungkin itulah yang sekarang John pikirkan. Setelah lolos dari pertempuran, semua tim maintenance menoleh ke arahnya, seolah-olah mempertanyakan kejadian tadi. John hanya diam. Mencoba menjawab tapi tidak bisa, tenggorokannya terasa berat barang mengucapkan satu, dua kata.
“Semuanya, pahamilah kondisi kapten sekarang.” Cecilia yang dari tadi diam, ikut membantu John, semua mata berganti menatapnya. Dia juga syok dengan apa yang telah dilakukan komandan, terlebih dia adalah ayahnya sendiri.
“Aku…”
Krinngg….
Panggilan komunikasi masuk, bukan dari interkom pesawat apalagi para raid, tapi dari telepon biasa yang menghubungkan dengan para penduduk. Lilia mengambil gagang telepon itu, lalu diberikan kepada John.
“Kakak…. Ayah, Kak…. Ayah…” Terdengar suara Amel sambil sesunggukan.
“…..”
“Ibu, pingsan setelah melihat kejadian tadi.”
John tersentak kaget.
“Ibu….”
Dia bangkit berdiri, bicara sebentar kepada wakil kapten Cecillia yang ada di sampingnya, lalu berjalan menjenguk ibunya.
***
Ibu John terbaring lemah di atas ranjang berwarna putih, di sebelahnya terdapat televisi yang menunjukkan detak jantung pasien. John duduk di samping ibunya sambil menggenggam tangannya.
Berharap semua ini hanyalah mimpi dan terbangun masih berada di kamarnya yang di bumi, dan disambut dengan senyuman hangat dari orang tuanya. Tapi hidup tidaklah semudah itu.
John memandang wajah teduh ibunya yang tertidur. Amel yang kini berada di sampingnya masih diam membisu.
“Amel….” ucap John lembut.
Dia masih belum menjawab. John mengambil nafas panjang dan berdiri.
“Kakak akan kembali ke ruang kemudi, kalau ada apa-apa kabari ya”
Amel melirik John sebentar, kemudian mengangguk lemah. John melangkah pergi keluar, dan kembali mengenakan seragam pilotnya.
***
“Kapten divisi satu kepada seluruh kapten divisi yang tersisa, mulai saat ini saya yang akan pegang komando.”
“Baik.” Kata kapten di divisi 32.
“Aku harap pemimpin komando saat ini tidak seperti sebelumnya.” ucap kapten divisi 52.
Sebagai keluarga yang bersangkutan, saya minta maaf atas kesalahan komandan divisi, yaitu Ayahku. Aku juga tidak tahu apa yang dipikirkannya, sampai dia bisa melakukan hal semacam itu.”
“Baiklah, apa boleh buat.” Lanjut kapten divisi 52.
Mereka berbincang-bincang sebentar, sebelum akhirnya kembali ke tujuan utama mereka yaitu mencari planet yang layak huni. Seharusnya mereka sudah sampai di Planet Kepler 1229 b di rasi Cygnus, tapi karena ada kendala, mereka memutar dan malah melaju ke rasi Sagitarius. Menemukan planet tidaklah semudah itu, ibaratnya seperti mencari jarum di atas tumpukan jerami, sesulit itulah mencarinya.
Mereka pergi menjelajahi ruang hitam yang dipenuhi bintang dan kilauannya. Melupakan semua kejadian yang mereka alami, tetap melangkah walaupun susah, seolah-olah berkata kepada dunia ‘Aku tidak akan lari dari kenyataan, tapi kenyataan itulah yang aku hadapi’. Meskipun sesekali kita ditusuk dari belakang, seperti penghianatan seseorang yang kita percayai.
Dari total seluruh skuadron unit divisi 1-108, kini yang tersisa tinggal 18, yang terdiri dari divisi 1, 2, 6, 8, 13, 14, 17, 32, 39, 45, 52, 66, 78, 81, 82, 93, 96, dan 97. Semua unit itu sekarang sedang menuju ke planet kepler 452 B yang hampir mirip dengan Kepler 1229 b di rasi Cygnus. Semua orang bersuka cita karena planet ini mempunyai matahari dan sistem tata surya sendiri. Mereka sudah dekat dengan si planet baru yang akan dihuni. Semua orang senang. John mengawali dengan pidato singkat mengenai ‘Jangan merusak alam dan ekosistem planet baru ini’.
Pesawat mendekat dan melambat, sebelum akhirnya mulai menginjakkan roda-rodanya di atas tanah baru yang subur itu.
***
Tahun 2151
John berjalan ke rumah yang ada di depannya sambil melihat pemandangan yang ada di sekitarnya. Mungkin pemandangan ini tidak pernah akan ada di bumi, batin John.
John mengetuk pintu rumah yang ada di hadapannya. Terdengar langkah kaki kecil yang menuju ke arah pintu. Seorang gadis kecil membawa pengikut dan….
“Selamat datang, Papa,” gadis kecil itu berlari dan berhambur ke pelukan John. Disusul seorang wanita berdiri di depannya sambil tersenyum ceria.
“Selamat datang kembali, Kapten.” ucap wanita itu.
“Husss… kita sudah membicarakan soal ini kan”. Jawab John sambil menggendong Maha, anaknya, yang berusia 4 tahun.
“Iya… iya… Mas, nggak asik, ah,” lanjut wanita itu.
“Sudah. Ayo masuk ke dalam.” John menggandeng tangan Cecilia dan menggendong Maha, lalu masuk ke dalam rumah.
***
-Selesai-
Karya: Abdullah Umar, Santri Mansajul Ulum.