Menu

Mode Gelap

Cerpen · 8 Agu 2025 10:32 WIB ·

Tanah Kelahiran


 Sumber: id.pinterest.com. Perbesar

Sumber: id.pinterest.com.

Di keheningan malam yang sunyi, angin berhembus dengan kencang. Membuat pohon menjatuhkan daun-daun keringnya. Terdengar suara jangkrik yang sedang berpesta pora, dan katak yang bersahut-sahutan dengan kekasihnya.

“Apakah kita akan menang, Ali?” ucap seorang yang duduk di teras rumah dengan bebat perban di bahu kanannya.

Entahlah kakang Hasan, semoga bisa.” jawab Ali.

Ali menghela napas panjang. Sudah dua minggu mereka berada di kancah peperangan. Berperang melawan suku dalam benar-benar melelahkan. Mereka telah berjuang mati-matian mempertahankan desanya sampai membuat pasukannya hampir habis.

“Kuharap kita memenangkan peperangan, Ali, dan membuat desa kita tercinta aman lagi.” Ali mengangguk mendengarnya.

“Tentu, Kang, keinginan kita semua sama. Sudahlah kakang istirahat saja biar aku yang jaga.”

“Baik, Al, aku permisi dulu.” ucap Hasan lalu melangkah masuk ke rumah.

Ali menghela napas panjang, saatnya memikirkan strategi untuk menghancurkan suku dalam.

***

Ali dan Hasan awalnya adalah pasukan penjaga kota. Karena alasan desanya mereka mengundurkan diri untuk menjaga desannya dari peperangan.

Siang menjelang sore, di pintu utara desa terjadilah peperang antara pasukan suku dalam dan pasukan utara.

Pasukan keduanya bertemu, mereka saling serang. Pedang-pedang berbenturan, panah-panah berterbangan, dan teriakan kencang para prajurit yang mengerang kesakitan mulai terdengar.

“Tahan serangan, jangan membuka celah.” teriak komandan pasukan utara ke prajuritnya untuk lebih merapatkan serangan.

Peperangan berjalan dengan sengit, tidak ada tanda pasukan mana yang mau mengalah. Mereka berperang mati-matian merebutkan hak kemenangan mereka.

“Busur…!!” Tiba-tiba terdengar teriakan kencang dari belakang pasukan suku dalam.

Mendengar itu pasukan suku dalam berperang dengan saling mendekatkan diri. Mereka membentuk formasi seperti busur melengkung dengan para prajurit yang membawa perisai berada di depan.

Mereka membentuk formasi itu sampai akhir tanpa disadari pasukan utara. Pasukan dalam sedikit demi sedikit mundur dari medan hingga tidak ada prajurit pun yang tersisa.

Banda sebagai komandan pasukan utara mengusap wajah kasar melihatnya. Bagaimana tidak, peperangan tadi membuat pasukan utara banyak yang berkurang. Sedangkan pasukan suku dalam malah mundur dari medan.

“Sialan.” umpat Banda kencang karena jengkel dengan pasukan suku dalam.

Terdengar derap langkah kuda dari dalam desa, derap langkah itu semakin mendekat. Terlihat ada dua orang penunggang kuda yang datang.

Kakang Banda, bagaimana keadaan pasukan utara.” tanya Ali lalu turun dari kuda.

“Kacau, Ali, pasukan utara hampir habis. Apalagi dengan benturan tadi.” jawab banda.

“Lalu pasukan suku dalam kemana, Banda?” tanya Hasan yang melihat beberapa mayat pasukan suku dalam.

“Saat akhir peperangan, kami berperang habis-habisan. Lalu tiba-tiba mereka menggunakan gelar perang busur. Gelar itu mereka gunakan untuk mundur dari medan pertempuran, San.” jelas Banda. Hasan hanya terdiam mendengarkan.

“Sekarang pasukan utara  tinggal berapa, Kang?” tanya Ali.

“Mungkin yang belum terjun 150, Al. Terdiri dari 50 pasukan kuda, 60 pasukan pedang dan tombak, lalu 40 pasukan pemanah.” Ali mangut-mangut mendengarkan penjalasan Banda.

Kang, nanti malam kumpulkan semua komandan pasukan. Kita adakan pertemuan di rumah utama untuk membahas pelumpuan suku dalam.” ucap Ali kepada Banda.

“Apakah kamu punya rencana, Ali?” tanya Hasan kaget. Ali mengganguk.

“Baik, Al, nanti malam akan aku kumpulkan semua komandan pasukan ke rumah utama.” Tanggap Banda.

***

“Pada malam hari ini kita rapat untuk pelumpuan pasukan suku dalam.” Ali memulai pembicaraan.

“Maka dari itu aku mau tanya, mana bagian pintu desa yang sekarang melemah dan memiliki celah?” tanya Ali ke semua anggota komandan pasukan.

Semua pasukan komandan kaget mendengar pertanyaan Ali, mereka semua saling berpikir mencari pintu bagian mana yang mulai melemah.

“Pintu bagian utara, Ali. Apalagi dengan penyerangan siang tadi membuat celah pintunya semakin melebar.” ucap Banda sebagai komandan pasukan utara.

Kakang Banda, apakah pasukan utara masih kuat menahan gempuran serangan pasukan suku dalam?”

“Kalau hanya sekedar menahan, pasukan utara masih kuat, Al.” jawab Banda yakin. Ali mengganguk mendengarnya.

“Baik, pada pelumpuhan pasukan suku dalam kita menghancurkan mereka dari penjuru mata angin, dari timur, selatan, barat, dan utara.” ucap Ali memulai rencana.

“Bagaimana caranya, Ali?” tanya Mahesa sebagai komandan pasukan barat.

“Begini, Kang, kita tidak tau nanti mereka mau menyerang pintu yang mana. Maka dari itu, kita berangkatkan dulu mata-mata kita. Nah, saat penyerangan pintu utara benar, pasukan utara harus menahan gempuran pasukan dalam. Ketika terlihat pasukan utara hampir kewalahan dan membuat suku dalam merasa menang, kita luncurkan pasukan barat dan timur. Tentu sebagai wadah kekagetan mereka, serta penghancur. Pasukan selatan datang dengan membawa pasukan pemanah, maka otomatis pasukan suku dalam akan hancur berkeping-keping. Jika mereka tidak ke utara, kita gempur mereka sama. Namun, sebagai penahan gempuran dari pasukan pintu itu yang diserang, yang lain mengepung dari posisi yang kosong, tetapi tetap pemanah sebagai penghancur.” jelas Ali panjang.

Semua komandan pasukan menggangukkan kepala mendengar penjelasan Ali. Tidak menyangka Ali memiliki rencana luar biasa untuk menghancurkan pasukan dalam.

“Pemimpin pasukan barat aku percayakan kepadamu kakang Mahesa, timur kupercayakan kepadamu kakang Arya, selatan kupercayakan kepadamu kakang Dota, sedangkan aku dan kakang Hasan akan membantu pasukan utara.”

“Sebagai tanda, saat tiga panah berpita merah meluncur ke atas, kalian semua harus bergerak dengan cepat.” Jelas Ali memperingatkan semuanya.

“SIAP PANGLIMA.” jawab Mahesa, Arya, dan Dota serempak. Ali tersenyum mendengar panggilan itu.

“Mungkin ini akan menjadi misi yang terakhir. Kita harus sama-sama saling melindungi tanah air kita. Meskipun kita semua sudah menjadi orang yang hebat, tangguh, dan perkasa, kita jangan pernah lupa bahwa kita lahir di sini, tumbuh sampai besar di sini.”

“Sepelik apa masalah desa kita tercinta. Maka selagi kita masih bisa membantu, kita bantu desa kita. Buat kita berguna untuk desa kita. Kita harus bisa menjadi sebagai pelindung dan pengayom desa. Pada penyerangan ini, buatlah hati kita benar-benar bersih dan ikhlas hanya untuk membantu desa kita  tanpa pernah mengharapkan imbalan apapun. Tentu sebagai pembelaan terhadap tanah kelahiran kita semata.” tutur Ali mengakhiri rapat.

Semua tersenyum mendengarkan pidato singkat Ali. Dada mereka mengebu-ngebu, api semangat mereka menggelora, tidak sabar menantikan esok hari untuk menghancurkan suku perusuh itu, dan membuat tanah kelahiran mereka aman kembali.

Karya: Alpratama, Santri Mansajul Ulum.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 28 kali

Baca Lainnya

Cincin di atas Kepala

11 Juli 2025 - 10:23 WIB

Semesta Teramati

13 Juni 2025 - 09:49 WIB

Semesta Teramati

16 Mei 2025 - 07:36 WIB

AK24

18 April 2025 - 09:54 WIB

Lima Butir Jagung

21 Maret 2025 - 11:38 WIB

24 Hours

21 Februari 2025 - 12:47 WIB

Trending di Cerpen