KOLOM JUM’AT CXXX
Jum’at, 15 Agustus 2025
Dalam 2 hari kedepan, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 2025 kita akan merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke 80. Akan tetapi, apakah perayaan ini hanya sekedar perayaan dalam memperingati momentum sejarah ataukah komitmen bangsa untuk menatap masa depan yang lebih cerah. Dalam tulisan ini, saya akan merefleksikan makna kemerdekaan bangsa Indonesia dengan pendekatan Eksistensialisme Jean-Paul Sartre, seorang filsuf berkebangsaan Perancis. Apakah sebenarnya kita sudah benar-benar merdeka atau sebaliknya.
Kemerdekaan: Tidak Hanya Sekedar Sejarah
Secara historis, memang benar bahwa kemerdekaan Indonesia jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini menjadi statement resmi bangsa Indonesia atas kemerdekaan dan menjadi akhir dari hubungan penjajahan yang dilakukan di Indonesia. Kemerdekaan ini merupakan kemerdekaan yang murni didapatkan oleh bangsa Indonesia dengan memerangi penjajah sebagaimana dikatakan dalam artikel yang berjudul “Proklamasi 17 Agustus 1945: Revolusi Politik Bangsa Indonesia” bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia diperoleh melalui perjuangan panjang rakyat dalam mengusir penjajah, bukan merupakan pemberian dari bangsa lain.[1]
Kemerdekaan: Arah dan Harapan
Kemerdekaan bangsa Indonesia yang telah didapatkan di masa lalu merupakan main goal dari perjuangan yang dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia pada saat itu atas penjajahan yang dilakukan oleh Asing selama lebih dari 350 tahun. Sebagai generasi penerus, kita tidak boleh hanya berorientasi pada masa lalu, melainkan kita mempunyai tanggung jawab besar dalam melanjutkan perjuangan para pejuang untuk mewujudkan cita-cita bangsa, sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Kemerdekaan Absolut
Masa lalu, Indonesia dapat dikatakan merdeka karena telah bebas dari tekanan dan pengaruh penjajah. Akan tetapi, saat ini makna kemerdekaan tidak hanya sebatas kebebasan atas intervensi dari luar, melainkan kesiapan negara dalam bertanggung jawa atas dirinya sendiri dalam mengatur kehidupan, arah, dan tujuan, tanpa ada campur tangan pihak asing.
Selain itu, negara yang merdeka bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pemerintahan yang adil dan beradab terhadap semua warganya. Hal di ini, sesuai dengan konsep eksistensialisme Jean-Paul Sartre.
Pemikiran Sartre tentang kemerdekaan berasal dari dictum eksistensialis yang populer, yaitu “existence precedes essence”yang artinya eksistensi mendahului esensi. Dictum tersebut dapat dipahami bahwa manusia pada mulanya berada di dunia, kemudian mendefinisikan siapa dirinya memalui pilihan dan tindakan yang ia lakukan.[2]
Dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa Sartre merupakan tokoh yang sangat anti terhadap kolonialisme dan imperialisme. Karena ia menganggap kolonialisme atau penjajahan adalah sebuah bentuk penindasan yang tidak hanya merampas kedaulatan politik sebuah negara, tetapi juga merampas freedom atau kebebasan individu-individu yang hidup di dalam negara tersebut, dan memaksanya untuk hidup dalam i’tikad buruk, dalam artian ia mengingkari kebebasan atau kemerdekaan mereke sendiri dan menerima esensi yang dipaksakan oleh penjajah.
The key point yang ingin ditekankan oleh Sartre adalah kemerdekaan individu atas dirinya sendiri merupakan asas dasar setiap manusia. Baginya, kemerdekaan tidak hanya sebuah proses politik, melainkan perwujudan kolektif atas kebebasan individu.
Sehingga dapat dipahami bahwa proses dalam memperjuangkan kemerdekaan sebuah bangsa adalah sebuah exsistential project atau upaya dalam mewujudkan eksistensi. Proses ini adalah upaya bersama dalam mengambil kembali kebebasan untuk mendefinisikan diri. Kemerdekaan tidak hanya berkaitan dengan pengibaran bendera baru atau membentuk pemerintahan sendiri, tetapi juga sebuah proses bagi bangsa untuk menjadi “sesuatu” dengan usahanya sendiri, bukan “sesuatu” yang didefinisikan oleh pihak lain.
Kemerdekaan Diiringi Tanggung Jawab Besar
Walaupun demikian, kebebasan atau kemerdekaan yang telah diraih oleh sebuah bangsa tidak merupakan akhir dari segalanya. Sesuai dengan filsafat eksistensialismenya, Sartre menegaskan bahwa kemerdekaan selalu diiringi dengan tanggung jawab besar. Seperti halnya individu yang memiliki kebebasan bertanggung jawab atas semua keadaan yang ia alami.
Negara yang merdeka bertanggung jawab penuh atas apapun yang terjadi di dalam negaranya. Dalam situasi apapun, ia tidak bisa menyalahkan pihak lain atas kegagalan atau kesulitan yang sedang terjadi. Kemerdekaan menuntut sebuah negara untuk sadar dalam membangun jati diri, nilai, dan orientasinya.
Realita Bangsa Indonesia Saat Ini
Dalam perayaan kemerdekaan yang ke 80, bangsa Indonesia masih mempunyai banyak hal perlu diselesaikan, baik dari aspek politik, pemerintahan, sosial, penegakkan hukum, kriminalitas, dan bencana alam. Dinamika politik dan pemerintahan pasca pesta demokrasi tahun 2024 terus bergulir. Terpilihnya Prabowo – Gibran menjadi puncak dari demokrasi Indonesia. Berbagai program-program nasional baru mulai dikerjakan, seperti Makan Bergizi Gratis yang mulai beroperasi pada 6 Januari 2025.[3]
Akan tetapi yang menjadi sorotan publik, bahkan internasional adalah keberlanjutan pembangunan Ibu kota Nusantara (IKN) yang sebelumnya diresmikan di akhir Pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin.[4] Melansir presidenri.go.id, proyek ini digadang-gadang sebagai kota masa depan. Sebuah proyek yang tidak hanya fokus hanya pada pembangunan fisik untuk Gedung pemerintahan, tetapi berorientasi pada budaya kerja, pola pikir, dan semangat menghadapi masa depan.
Jika kita lihat secara mendalam, pembangunan IKN memakan waktu yang cukup lama dan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Melansir Website Menteri Keuangan, bahwa pembangunan IKN dilakukan dengan 5 tahap pengerjaan dari tahun 2022-2045. Diperkirakan anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunan IKN adalah Rp466 triliun.
Selain isu politik pemerintahan, isu sosial yang turut menjadi problem yang perlu segera diselesaikan oleh negara, yaitu isu perundungan atau bullying yang terus terjadi secara berulang. Ditegaskan oleh Kementerian PPA, bullying adalah penindasan atau risak (merunduk) yang dilakukan secara sengaja oleh satu orang atau sekelompok yang lebih dominan.
Dalam KBBI, perundungan merupakan kegiatan yang mengganggu, mengusik atau menyusahkan yang dilakukan secara terus menerus.[5] Diberitakan oleh BBC News Indonesia bahwa Indonesia sudah darurat kasus perundungan dan pada tahun 2024 persentase kasus bullying di lingkungan pendidikan di Indonesia meningkat lebih dari 100%.[6] Salah satu kasus perundungan yang tragis adalah mata siswi SD yang ditusuk oleh temannya hingga mengalami kebutaan. Bahkan dalam kasus lain bullying sampai merenggut korban jiwa.[7]
Selain problem di atas, isu nasional yang menjadi sering trending topic bahkan berpotensi mencederai identitas negara yang sering menjadi sorotan adalah terkait dengan kasus hukum, terutama tindak pidana korupsi. Dalam artikel yang pernah saya tulis sebelumnya bahwa korupsi merupakan Extraordinary Crime yang Setara dengan terorisme. Melansir website resmi KPK, bahwa dalam periode 2020-2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangani 2.730 perkara korupsi. Walaupun angka ini masih jauh dari jumlah pengaduan masyarakat terkait dugaan korupsi yang terjadi, yaitu sebanyak 21.189 laporan.
Kasus korupsi terbesar yang satu tahun terakhir ini diungkap adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh Direktur Utama PT. Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan (RS) dan koleganya tentang tata kelola minyak mentah PT Pertamina tahun 2018-2023 yang diperkirakan kerugian dalam satu tahun (2023) dapat digunakan untuk membackup kebutuhan pembangunan IKN sebanyak 41,57%, yaitu Rp 193,7 triliun.[8] Sedangkan target penyidikan yang akan dilakukan adalah selama 5 tahun.
Fenomena yang lebih menyedihkan dalam kasus korupsi adalah negara terkesan “lebih berpihak kepada orang yang mempunyai akses ekonomi dan politik” dibandingkan dengan orang biasa. Sebagaimana kasus yang diberitakan oleh suara.com bahwa hukuman seseorang yang mencuri yang mempunyai ukuran berkisar 65 cm hingga 68 cm lebih besar dibandingkan dengan para koruptor yang notabenenya mempunyai impact negatif yang lebih besar.
Toni Tamsil, terdakwa kasus obstruction of justice korupsi timah dengan kerugian mencapai Rp 300 triliun, divonis 3 tahun penjara dan membayar biaya perkara Rp5.000. Sedangkan M pencuri kayu berpotensi dihukum 5 tahun. Walaupun pada akhirnya kasus pencuarian kayu ini berakhir dengan restorative justice (RJ).[9]
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebuah negara dikatakan merdeka apabila ia bertanggung jawab sepenuhnya atas dirinya. Sebagai refleksi akhir, kita dapat merenungkan apakah saat ini bangsa Indonesia telah benar-benar merdeka karena bertanggung jawab atas isu-isu pahit, seperti keberlanjutan IKN, menjamurnya mentalitas-mentalitas pejabat yang korup dan serakah, perundungan, penegakkan objektivitas hukum dan kesejahteraan masyarakat. Wallahu ‘alam.
Oleh: Muhammad Ulil Albab, Pimpinan Redaksi EM-YU.
[1] Haryono Rinardi, “Proklamasi 17 Agustus 1945: Revolusi Politik Bangsa Indonesia,” Jurnal Sejarah Citra Lekha 2, no. 2 (November 2017): 143–50, https://doi.org/10.14710/jscl.v2i2.16170.
[2] Jack Reynolds and Pierre-Jean Renaudie, “Jean-Paul Sartre,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, Fall 2024, ed. Edward N. Zalta and Uri Nodelman (Metaphysics Research Lab, Stanford University, 2024), https://plato.stanford.edu/archives/fall2024/entries/sartre/.
[3] “Detail News,” accessed August 14, 2025, https://www.bgn.go.id/news/artikel/bgn-akan-memulai-program-mbg-secara-bertahap.
[4] Thea Fathanah Arbar, “Media Asing Tiba-Tiba Sorot Kelanjutan IKN di Era Prabowo, Kenapa?,” CNBC Indonesia, accessed August 14, 2025, https://www.cnbcindonesia.com/news/20241029153432-4-583945/media-asing-tiba-tiba-sorot-kelanjutan-ikn-di-era-prabowo-kenapa.
[5] “Arti Kata Rundung – Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online,” accessed August 14, 2025, https://kbbi.web.id/rundung.
[6] Hoirunnisa, “JPPI: 2024, Kekerasan Di Lingkungan Pendidikan Melonjak Lebih Dari 100 Persen,” December 30, 2024, https://kbr.id/articles/indeks/jppi-2024-kekerasan-di-lingkungan-pendidikan-melonjak-lebih-dari-100-persen.
[7] Abdullah Fikri Ashri- fikri.ashri@kompas.com, “Kasus ”Bullying” Siswa Berujung Maut, dari Subang hingga Jakarta,” Kompas.id, November 26, 2024, https://www.kompas.id/artikel/kasus-bullying-siswa-berujung-maut-dari-subang-hingga-jakarta.
[8] Norbertus Arya Dwiangga Martiar- arya.dwiangga@kompas.com, “Betulkah Kerugian Negara dalam Kasus Pertamina Capai Rp 1 Kuadriliun?,” Kompas.id, March 4, 2025, https://www.kompas.id/artikel/betulkah-kerugian-negara-dalam-kasus-pertamina-capai-rp-1-kuadriliun.
[9] Tim detikJogja, “Akhir Kasus Pencurian 5 Potong Kayu di Hutan Negara Gunungkidul,” detikjogja, accessed August 14, 2025, https://www.detik.com/jogja/berita/d-7738924/akhir-kasus-pencurian-5-potong-kayu-di-hutan-negara-gunungkidul.