Menu

Mode Gelap

Kolom Jum'at · 12 Des 2025 13:11 WIB ·

Film ‘Bid’ah’ dan Realitas Pesantren: Kritik, Fakta, dan Jalan Keluar


 Film ‘Bid’ah’ dan Realitas Pesantren: Kritik, Fakta, dan Jalan Keluar Perbesar

KOLOM JUM’AT CXXXVIII
Jum’at, 12 Desember 2025

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang identik dengan pengajaran ilmu-ilmu agama secara mendalam. Di dalamnya terdapat kiai, seorang figur karismatik yang sangat dihormati oleh santri. Kiai menjadi sosok panutan dalam bidang spiritual, moral, maupun keilmuan, yang setiap perkataannya mengandung mutiara yang menjadi wejangan bagi para santri. Tidak heran, jika semua santri memperhatikan dan menjalankan setiap arahan yang beliau berikan. Namun, bagaimana jika sosok karismatik tersebut menggunakan ilmu agamanya untuk memenuhi kepuasan nafsunya?

Baru-baru ini, dunia perfilman diramaikan oleh sebuah film dari Negeri Jiran berjudul Bid’ah, yang mulai ditayangkan di aplikasi Viu pada 6 Maret 2025. Film ini menuai banyak kontroversi dan kecaman dari sejumlah pemuka agama karena dinilai merusak citra Islam dan menormalisasi penyelewengan ajaran agama. Film ini mengisahkan seorang kiai karismatik bernama Walid, yang digambarkan sebagai sosok ambisius dan melakukan banyak penyimpangan agama dengan mengaku sebagai imam mahdi. 

Ia memimpin sebuah jemaah bernama Jihad Ummah secara otoriter dan manipulatif dengan memanfaatkan kedudukannya sebagai pemuka agama untuk menyalahgunakan kepercayaan para pengikutnya dengan berkedok ketakwaan dan ajaran suci. Ia melakukan praktik poligami dengan menikahi para istrinya secara siri, yang mana pernikahan tersebut tidak sah menurut hukum negara dan merugikan perempuan. 

Akibatnya, para istrinya tidak memiliki perlindungan hukum dan kesulitan menuntut hak nafkah serta hak asuh anak ketika diceraikan. Inilah bukti nyata bahwa budaya patriarki masih sangat kental dalam struktur sosial dan keagamaan kita. Patriarki bukan hanya soal laki-laki yang mengatur perempuan di rumah, tetapi juga sistem yang membiarkan laki-laki, terlebih yang memiliki otoritas tinggi seperti kiai atau tokoh agama. 

Dalam kasus seperti ini, agama justru sering disalahgunakan sebagai alat kontrol, penindasan, bahkan eksploitasi terhadap perempuan. Perempuan menjadi rentan karena mereka kerap di posisi subordinat, yang harus patuh, diam, dan tidak protes atau melawan dominasi. Apalagi ketika negara tidak secara langsung melindungi mereka akibat pernikahan siri yang tidak dicatatkan secara hukum.

Selain itu, dalam film ini juga menggambarkan sejumlah adegan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Walid terhadap jemaah perempuannya. Dengan kedudukan dan otoritas yang dimilikinya sebagai pemuka agama, Walid dengan mudah memanipulasi para pengikutnya. Ia menggunakan istilah nikah batin sebagai dalih untuk menjalin hubungan intim dengan para perempuan, seolah-olah hubungan tersebut sah dan bernilai religius. Padahal, dalam perspektif hukum agama maupun negara, praktik semacam ini sama sekali tidak dibenarkan. Jemaah perempuan tersebut bahkan diiming-imingi keberkahan dan janji surga jika mau menuruti semua perintah Walid. Dengan cara ini, ia berhasil memberi alasan yang logis atas tindakan eksploitatifnya. 

Cerita dalam film ini sebenarnya bukan hanya sekadar skenario semata. Film tersebut mencerminkan sebuah fakta fenomenal tentang maraknya isu kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan pesantren akhir-akhir ini. Yang mengejutkan, pelaku dalam kasus-kasus tersebut tak jarang adalah orang yang sangat dihormati, yaitu seorang guru agama, bahkan kiai yang menjadi pengasuh pesantren itu sendiri.

Beberapa tahun terakhir, kita sering dikejutkan dengan sejumlah kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan lembaga pendidikan Islam, baik itu di madrasah, jemaah pengajian, hingga pesantren. Namun, mencari data secara keseluruhan tentang kasus pelecehan seksual di pesantren bukanlah perkara mudah. Banyak sumber yang tersedia masih berkisar pada tahun 2022 atau sebelumnya, meskipun indikasi kuat menunjukkan bahwa masalah ini belum usai, tetapi malah justru mungkin semakin rumit karena tertutupnya lingkungan pesantren dan stigma yang melekat pada korban.

Dalam sebuah laporan yang penulis temukan, disebutkan bahwa kasus kekerasan seksual di pesantren menduduki peringkat kedua setelah universitas. Baru-baru ini, kasus pelecehan seksual kembali mencuat dari dunia pesantren. Kali ini terjadi di Lombok Barat, di mana seorang pimpinan pondok pesantren diduga melakukan pelecehan terhadap sejumlah santriwatinya. Melansir dari metrotvnews.com, kasus ini berhasil terungkap berkat adanya film Bid’ah tersebut. Dalam kasus tersebut, terungkap bahwa terdapat tindakan di mana pelaku menggunakan dalih spiritual untuk menipu dan melecehkan para korban, mirip dengan cara yang digunakan oleh tokoh Walid dalam film. Melalui film tersebut para korban menyadari bahwa mereka telah dibodohi oleh pelaku dengan modus penipuan yang mirip sekali dengan adegan yang diperankan oleh Walid.

Dengan demikian, sebelum kita langsung menghakimi film ini sebagai sesuatu yang negatif atau sensasional, mungkin kita perlu melihat sisi lain dari kehadirannya. Film ini ternyata mampu membangkitkan kesadaran publik tentang isu yang selama ini cenderung tertutup dan tabu untuk dibicarakan. Dengan berani menyuarakan kisah para korban, film ini membuka ruang bagi mereka yang selama ini merasa tidak punya ruang untuk speak up atas apa yang mereka alami. Alih-alih hanya dinilai sebagai tontonan biasa atau bahkan kontroversial, film ini bisa juga dipandang sebagai sebuah gerakan kesadaran untuk memecah diam dan memberikan dukungan moral kepada para korban agar berani bersuara.

Film Bid’ah mungkin menuai protes dan kecaman dari berbagai pihak karena dianggap menyalahi norma agama. Tapi di balik kontroversinya, film ini justru membuka ruang besar bagi kita untuk bertanya, siapa sebenarnya yang merusak citra agama? Apakah mereka yang berani mengkritik penyalah gunaan ajaran, atau justru mereka yang memperalat agama demi kekuasaan dan nafsu?

Kasus seperti Walid dalam film ini bukanlah fiksi belaka. Ia adalah cermin dari realitas nyata, di mana otoritas moral bisa menjadi senjata ampuh untuk melegitimasi tindakan eksploitatif. Ketika seorang kiai mengaku memiliki kedekatan khusus dengan Tuhan, maka setiap perkataannya dianggap suci, bahkan jika isinya menyimpang. 

Dengan begitu, korban pun sulit melawan karena takut dianggap tidak taat atau membangkang guru. Padahal, seharusnya agama tidak pernah diajarkan sebagai alat kontrol, apalagi penindasan. Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, hadir untuk melindungi yang lemah, menjunjung nilai-nilai keadilan, dan memuliakan manusia. Bukan untuk membenarkan praktik poligami siri tanpa perlindungan hukum, bukan untuk melegitimasi pelecehan seksual dengan dalih nikah batin, dan bukan pula untuk membuat perempuan merasa harus diam meski dizalimi.

Dari sinilah pentingnya kita semua, baik sebagai masyarakat awam, ulama, maupun negara untuk terus kritis terhadap tokoh agama. Kita harus berani bertanya: apakah ajaran mereka benar-benar membawa kemaslahatan? Apakah mereka menjaga kemurnian syariat atau malah menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi? Karena ketaatan buta bukanlah bentuk ketakwaan, melainkan pintu masuk bagi kerusakan yang lebih besar.

Namun, di balik kontroversi dan kasus-kasus menyedihkan seperti ini, kita juga perlu mengembalikan marwah pesantren sebagai pusat ilmu dan akhlak yang mulia. Pesantren bukanlah institusi yang rusak, tapi seperti ruang lain dalam masyarakat, ia rentan disalahgunakan oleh individu-individu yang punya niat buruk. Kita tidak boleh lantas membenci pesantren, apalagi mencela ulama secara keseluruhan. Sebab, masih banyak kiai dan tokoh agama yang tulus menjalankan perannya, mendidik, membimbing, dan membangun karakter para santrinya dengan penuh tanggung jawab.

Yang perlu berubah adalah cara pandang kita terhadap otoritas keagamaan. Tidak semua orang yang tampak alim dan berpengetahuan luas otomatis bebas dari nafsu atau maksiat. Di sinilah pentingnya kita sebagai masyarakat, terutama para santri untuk lebih kritis dan selektif dalam memilih siapa yang kita jadikan guru. Jangan hanya terpukau oleh suara merdu mereka saat berdakwah atau kedekatan mereka dengan dunia spiritual, tapi juga perhatikan perilaku, moral, dan bagaimana mereka memperlakukan orang-orang di sekitarnya. 

Sebagai santri, kita harus belajar tidak hanya dari apa yang diajarkan, tapi juga dari siapa yang mengajarkan. Lihat latar belakang guru kita, amati cara mereka bersikap ketika tidak sedang berceramah, dan rasakan apakah ajaran mereka memberdayakan atau justru memperlemah. 

Di sinilah pentingnya peran negara dalam memberikan regulasi yang jelas bagi pesantren. Bukan untuk ikut campur dalam urusan agama, tapi untuk memastikan bahwa lembaga pendidikan agama tetap berada di rel yang benar. Langkah ini merupakan bentuk regulasi pemerintah terhadap pesantren, salah satunya dengan mewajibkan setiap pesantren memiliki sertifikasi yang dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi manajemen, kurikulum, hingga perlindungan terhadap santri. Selain itu, pemerintah juga menekankan pentingnya keabsahan sanad keilmuan seorang guru atau kiai sebagai bagian dari standar mutu pendidikan keagamaan. Siapa gurunya? Dari mana ia belajar? Apakah ia memiliki ijazah atau pengakuan dari institusi keagamaan yang terpercaya? Ini bukan untuk meragukan ilmu yang diajarkan, tapi agar kita bisa membedakan antara ulama yang benar-benar memiliki dasar keilmuan kuat dan mereka yang hanya memperalat agama demi kekuasaan.

Selain itu, diperlukan juga sistem pengawasan yang mandiri dan melibatkan partisipasi dari berbagai pihak, seperti masyarakat atau lembaga keagamaan. Bukan hanya bergantung pada tokoh utama sebagai pusat penghormatan, tapi juga dibentuk mekanisme internal pesantren yang bisa saling mengingatkan dan melaporkan jika terjadi penyimpangan. Dengan begitu, kekeliruan tidak akan tumbuh menjadi masalah besar yang tanpa disadari. Karena pada akhirnya, pesantren yang bermartabat bukanlah pesantren di mana seorang kiai ditempatkan sebagai “Tuhan kecil”, tapi pesantren yang memiliki transparansi, akuntabilitas, dan sistem perlindungan yang kuat bagi para santrinya. Di situlah wujud nyata pendidikan Islam yang sesungguhnya, yaitu menjunjung tinggi ilmu, moral, dan keadilan.

Oleh: Manggar Eka Rahayu, Redaktur EM-YU.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 36 kali

Baca Lainnya

Imam Ghazali: Menakar Legitimasi Pemimpin di Tengah Krisis Kekuasaan

28 November 2025 - 12:12 WIB

Hakikat Dermawan: Mendahulukan Orang Lain di Atas Diri Sendiri

14 November 2025 - 14:29 WIB

Aktualisasi Fikih dalam Merawat Kebangsaan dan Kebinekaan: Menghubungkan Agama dan Harmoni Sosial 

31 Oktober 2025 - 11:25 WIB

Sumber: https://ypsa.id/

Pesantren Bukan Sarang Feodalisme

17 Oktober 2025 - 15:23 WIB

Aktualisasi Fikih untuk Keadilan Gender di Pesantren

3 Oktober 2025 - 12:57 WIB

Fikih Hak Anak: Solusi atas Problematika Moral Remaja

12 September 2025 - 16:03 WIB

Trending di Kolom Jum'at