KOLOM JUM’AT CXXVI
Jum’at, 20 Juni 2025
Ibadah kurban merupakan salah satu syiar penting dalam ajaran Islam yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Zulhijjah dan hari-hari tasyrik. Secara bahasa, kurban mengandung makna persembahan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT baik berupa hewan sembelihan ataupun amal salih lainnya. Dalam konteks hari raya Idul Adha, kurban adalah penyembelihan hewan tertentu sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT, dengan niat ikhlas dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana perintah Allah dalam QS. Al Kautsar ayat 2.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ۗ (الكوثر : ۲)
Artinya: “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.” (QS. Al Kautsar: 2)
Sejarah Syariat Kurban
Syariat kurban tentunya tidak terlepas dari kisah monumental antara Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS. Ketika Allah SWT hendak menguji kekuatan cinta hamba-Nya, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya melalui mimpi. Tanpa sedikitpun ragu, Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS menjalankannya dengan penuh ketundukan. Namun, Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba sebagai bentuk penghargaan atas ketundukan dan cinta sejati mereka kepada-Nya. Kisah ini menjadi simbol abadi pengorbanan, keimanan, dan cinta kepada Allah.
Makna Cinta yang Sebenarnya
Dari kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, kita dapat menyadari bahwa cinta kepada Allah bukanlah sesuatu yang abstrak. Ia menuntut pembuktian yang konkret. Cinta kepada Allah bukanlah sekadar perasaan di hati, melainkan dorongan kuat yang membimbing setiap langkah seorang hamba. Imam Al Ghazali dalam Ihya Ulum Ad-Din menyatakan bahwa cinta kepada Allah merupakan akar keimanan yang akan membuahkan ketaatan tanpa paksaan. Dalam cinta itu, seorang mukmin menemukan makna hidupnya, bahwa segala yang dimiliki dan apa yang ia lakukan adalah semata-mata untuk mendapatkan ridha Sang Pencipta.
Seorang hamba harus senantiasa menempatkan cinta kepada Allah di atas segalanya, karena Dialah sumber kehidupan, pemberi nikmat, dan tujuan akhir dari segala amal. Cinta kepada Allah adalah poros yang menggerakkan seluruh aspek kehidupan seorang mukmin. Allah tidak melarang manusia untuk mencintai sesamanya, namun cinta kepada-Nya harus menjadi titik tolak cinta kepada selain-Nya. Ketika cinta kepada Allah tertanam kokoh di hati, maka segala hal yang dicintai di dunia akan ditempatkan secara proporsional, tidak berlebihan dan tidak melalaikan. Sebab Allah telah memperingatkan hamba-Nya agar jangan sampai cinta kepada harta, kedudukan, bahkan orang tua, anak dan keluarga melebihi cinta kepada-Nya.
قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ (التوبة:24)
Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. At Taubah: 24)
Nabi Ibrahim di dalam kisahnya memberikan teladan kepada umat Islam bahwa cinta kepada putra yang telah dinantikannya selama bertahun-tahun tidak seharusnya mengalahkan cinta kepada dzat yang telah mengaruniakan putra tersebut. Inilah bentuk cinta yang memerdekakan, karena hati tidak lagi tergantung pada makhluk, tetapi hanya tertambat kepada Sang Pencipta. Dalam cinta seperti inilah, pengorbanan menjadi ringan, ketaatan terasa nikmat, dan ujian hidup menjadi jalan menuju kedekatan dengan-Nya.
Cinta Membutuhkan Pembuktian
Hal ini juga menunjukkan bahwa cinta kepada Allah memerlukan pembuktian. Cinta tidak cukup diucapkan di lisan saja melainkan perlu diterjemahkan dalam tindakan nyata. Seperti Nabi Ibrahim AS yang siap mengorbankan putranya tercinta, mengalahkan ego dan melepas keterikatan dunia. Begitu juga seorang hamba yang mengaku cinta kepada Tuhannya, harus rela melepaskan apa saja yang menjadikan keterikatan hatinya terhadap dunia.
Mempersembahkan hewan kurban di hari raya Idul Adha hanyalah sebagian kecil bentuk pembuktian dengan mengeluarkan sebagian harta untuk dibagikan manfaatnya kepada sesama. Lebih jauh lagi seorang hamba seyogyanya rela untuk menahan ego dan nafsunya, segala kepentingan dirinya serta hal-hal yang menjadi kesenangannya atas nama pembuktian cinta kepada Yang Maha Kuasa.
Pun demikian Allah memandang ibadah kurban bukan dari apa yang dipersembahkan melainkan dari kadar keikhlasan dan ketaatan seorang hamba dalam melaksanakannya. Oleh karena itu Allah mengganti Nabi Ismail dengan seekor domba setelah Nabi Ibrahim mampu membuktikan kecintaannya melalui kesanggupan untuk mengorbankan putranya. Allah berfirman
لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ (الحج:37)
Artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Hajj: 37)
Demikian makna cinta yang tersimpan di dalam ibadah kurban. Di tengah dunia modern yang kian materialistis dan individualistis, ibadah kurban hadir bukan sekadar sebagai ritual tahunan, melainkan sebagai ajakan untuk merefleksikan kembali makna eksistensi manusia sebagai hamba. Ia menanamkan nilai pengorbanan, kepedulian sosial, dan spiritualitas transenden, nilai-nilai yang kerap terpinggirkan dalam pusaran kehidupan yang serba cepat dan penuh distraksi. Kurban menjadi pengingat bahwa cinta kepada Allah SWT tidak cukup berhenti di lisan atau perasaan, melainkan harus mewujud secara nyata dengan tulus dan ikhlas dalam tindakan.
Oleh: Irfatin Maisaroh, S. Pd., M. Pd, Guru Madin Mansajul Ulum.