Menu

Mode Gelap

Kolom Jum'at · 1 Agu 2025 12:36 WIB ·

Menimbang Ulang Pernikahan Dini: Antara Tren, Risiko, dan Tujuan Syariat


 Sumber: id.pinterest.com. Perbesar

Sumber: id.pinterest.com.

KOLOM JUM’AT CXXIX
Jum’at, 01 Agustus 2025

Beberapa minggu terakhir, isu pernikahan dini kembali menjadi trending. Hal ini Berawal dari disemarakkannya program penurunan persentase angka stunting (balita kurang gizi) di Indonesia. Para pakar meyakini ‘nikah dini’ memiliki andil yang cukup tinggi dalam menaikkan persentase stunting di Nusantara. Dinukil dari lifestyle.kompas.com, sebesar 43,5 % kasus stunting di Indonesia terjadi pada anak balita dengan usia ibu 14-15 tahun. Sementara 22.4% dengan ibu berusia 16-17 tahun.

Dari sini, kemudian pemerintah menyoroti maraknya kasus pernikahan dini. Dalam beberapa pertemuan, Presiden sering menghimbau masyarakat untuk menghindari pernikahan dini. Namun pertanyaannya, sudah seberapa parahkah kasus pernikahan dini ini di Indonesia, lalu bagaimana Islam merespon kasus ini.

Kasus Pernikahan Dini

Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilangsungkan oleh mempelai yang belum cukup umur. Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2019 batas usia minimal seseorang dapat menikah adalah 19 bagi laki-laki dan perempuan. Para calon mempelai yang belum mencapai batas umur ini harus mengajukan dispensasi nikah dengan memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama.

Namun demikian, kasus pernikahan dini di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Tercatat selama tahun 2022, terdapat 51 ribu kasus pernikahan dini yang mendapat dispensasi kawin dari Pengadilan Agama (PA). Dari jumlah tersebut, sebanyak 15.095 pernikahan terjadi di Jawa Timur. Bahkan, di Asia Tenggara, Indonesia menempati posisi kedua negara dengan kasus pernikahan dini terbanyak, dan peringkat ke-8 di dunia [Okezone.com]. Lonjakan tertinggi pernikahan dini terjadi pada masa pandemi covid-19. Merujuk Katadata.co.id, pada tahun 2019 terdapat 23.700 pernikahan dini terjadi, sedangkan pada 2020 meningkat hingga menembus angka 34.000 pernikahan.

Faktor yang Melatar belakangi dan Resiko

Terdapat banyak faktor yang melatar belakangi terjadinya kasus di atas. Mulai dari beban ekonomi keluarga, kekhawatiran orang tua, rendahnya pendidikan, bebasnya pergaulan, adat perjodohan di beberapa suku, hingga yang terbanyak yaitu hamil di luar nikah.

Di samping itu, pernikahan dini memiliki banyak risiko yang akan ditanggung. Setidak-tidaknya ada lima risiko yang akan dihasilkan. Pertama, dari sisi kesehatan. Kehamilan atau melahirkan anak di bawah umur 20 tahun lebih rentan bagi kematian bayi dan ibunya. Melahirkan bayi yang sehat menurut kedokteran adalah usia 20-35 tahun. Kedua, dari segi fisik. Pasangan usia belia masih belum mampu untuk dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan keterampilan fisik untuk memenuhi ekonomi keluarga. Ketiga, dari segi mental. Pasangan yang masih belia belum siap bertanggung jawab secara moral mengenai apa saja yang menjadi tanggung jawabnya. Keempat, dari segi pendidikan. Pasangan yang tidak mendapatkan pendidikan yang tinggi akan kesusahan dalam menyiapkan generasi masa depan yang lebih baik. Kelima segi keberlangsungan umur rumah tangga. Pada usia belia, manusia cenderung memiliki mental yang kurang stabil, hingga pernikahan pun menjadi rentan dan rawan perceraian.

Seputar Pernikahah

Pernikahan merupakan salah satu sunah Nabi Muhammad saw. Sebagaimana yang telah tertera di dalam hadis riwayat Ibnu Majah “Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku.” Selain itu, pernikahan juga merupakan perintah Allah Swt sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 32 yang artinya “Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu, baik laki-laki maupun perempuan.

Untuk membahas pernikahan dini lebih lanjut, kita harus mengenal dulu apa yang dimaksud dengas istilah “nikah”. Ditinjau dari segi bahasa, nikah dalam bahasa arab berarti condong (adh-dhamm), berkumpul (al-jamu), dan hubungan kelamin (al-wathu). Sedangkan menurut istilah fikih, sebagaimana yang diterangkan Syekh al-Malibari yakni akad yang memperbolehkan adanya hubungan kelamin dengan syarat-tertentu yang berakhir ketika salah satu pasangan suami istri wafat. [Khulasoh al Fiqh al-Islami hlm. 302]

Adapun definisi menikah menurut undang-undang adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia [UU Tahun 1974 Nomor 1]. Sedangkan KHI (Kompilasi Hukum Islam) menyebutkan pernikahan sebagai akad yang sangat kuat (mitssaqan ghalidzan) untuk menaati perintah Allah Swt. Dan melaksanakannya merupakan ibadah serta untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. 

Dari beberapa paparan di atas, terdapat empat kata kunci yang menjadi tujuan menikah yakni, mentaati perintah Allah swt; mengikuti sunnah Nabi; membolehkan hubungan kelamin; serta membentuk rumah tangga yang bahagia, sakinnah, mawaddah, dan rahmah. Maka, menjadi sebuah keniscayaan untuk memastikan dan menegaskan ketiga hal itu pada para calon suami istri, serta mewujudkannya bagi para suami-istri yang telah membina rumah tangga.

Setelah mengetahui beberapa tujuan pernikahan, Ulama Syafi’iyah merinci hukum nikah sesuai dengan mempertimbangkan kemungkinan terwujud atau tidaknya tujuan-tujuan tersebut. Hukum asal pernikahan adalah mubah dan dapat berubah menjadi sunah bagi mereka yang memiliki kemampuan ekonomi dan keinginan untuk menikah. Selain itu, nikah dapat menjadi makruh jika tidak mampu secara ekonomi, atau tidak memiliki keinginan menikah. Bahkan, nikah menjadi haram jika dikhawatirkan tidak bisa memenuhi hak dan kewajibannya sebagai suami-istri [I’anah at-Tholibin 399/III].

Usia dalam Pernikahan

Mengenai standar usia ideal menikah, pemerintah telah menetapkan usia minimal menikah melalui UU No. 16 Tahun 2019 yang telah disebutkan di atas, yakni 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Di sisi lain, BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) melalui pengembangan program PUP (Pengembangan Usia Pernikahan) juga menganjurkan usia ideal menikah, yaitu 21 bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. Batasan ini dianggap sebagai umur yang matang dari aspek ekonomi maupun psikologis sehingga diharapkan dapat mencapai rumah tangga yang bahagia.

Dalam hal ini, Al-Qur’an dan hadis tidak memberikan batasan usia dengan rinci. Secara eksplisit, Al-Qur’an hanya menjelaskan usia layak nikah dengan frasa bulugh al-nikah dan inas al-rusyd. Sebagian ulama menafsirkan kedua frasa itu dengan kecakapan fisik dan mental (quwwah al-badan) serta pengetahuan (quwwah al-marifah). Dari sini, beberapa fuqoha’ mensyaratkan usia baligh bagi calon mempelai, meski dalam penentuan usia baligh sendiri, mereka berselisih pendapat. [Tafsir al-Munir 569/II]

Menurut fuqoha’ Syafi’iyyah dan mazhab Imam Ahmad batasan umur baligh seseorang adalah 15 tahun. Sedangkan fuqoha’ Malikiyah menetapkan umur 17 tahun. Di sisi lain, Hanafiyah merincinya, 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Perbedaan ini didasari oleh perbedaan mereka dalam menentukan tanda-tanda baligh seseorang [al-Fiqhu ‘ala al-Madzahibi al-Khomsah hal.300].

Usia Minimum Nikah dari Aspek Maqoshid Syari’ah

Namun demikian, merupakan hal yang menarik jika kita mengkaji usia minimum menikah dengan sudut pandang Maqoshid Syari’ah. Menurut Imam Syatibi, tujuan primer disyariatkannya pernikahan adalah guna menjaga keberlangsungan keturunan (hifdzu an-nasl) [Al-Muwafaqot 8/II]. Maka, untuk mewujudkan maqoshid ini, perlu kiranya untuk memperhatikan apa saja yang dapat mendukung dan mencegahnya. Seperti persentase keberhasilan kehamilan, kesiapan reproduksi, serta komitmen untuk mendidik dan merawat anak.

Melihat hal di atas, dapat dikatakan bahwa pernikahan dini jelas tidak memenuhi ketentuan ini. Bahkan kehamilan dan persalinan bagi para remaja menjadi salah satu penyebab kematian remaja di dunia. Berdasarkan data UNICEF tahun 2008, diketahui bahwa terdapat sekitar 70.000 remaja meninggal setiap tahun dengan kehamilan dan persalinan. Di sisi lain, menurut beberapa penelitian, pada kehamilan remaja lebih sering ditemukan persalinan prematur dibandingkan dengan ibu berusia 20 tahun. Maka, alih-alih dapat melahirkan keturunan, pernikahan dini justru bisa menjadi penyebab hilangnya jiwa. [MHM and Child Marriage Prevention hal.26-27]

Di samping itu, Syekh Ahmad Ar-Roisuni, ulama kontemporer berkebangsaan Maroko menuliskan salah satu kaidah maqashid yang berbunyi:

المصالح المعتبرة شرعاً هي ما يُقيم الحياة الدنيا للحياة الآخرة, لا اتباع أهواء النفوس

Artinya: “Maslahat yang dianggap oleh syariat adalah maslahat yang dapat mendukung kehidupan dunia demi kehidupan akhirat, bukan maslahat yang hanya mengikuti hawa nafsu manusia

Melalui kaidah ini, dapat dipahami bahwa menikah bukan hanya demi memuaskan hasrat biologis manusia semata. Mengajukan dispensasi nikah dengan alasan takut berzina meski yang bersangkutan tidak memiliki kesiapan mental dan finansial, merupakan tindakan yang tidak dibenarkan.

Dalam Pasal 2 Paspor Hak Anak, UNICEF menegaskan bahwa anak harus dilindungi dari segala diskriminasi yang diakibatkan oleh keyakinan atau tindakan orang tuanya. Pasal selanjutnya juga menjelaskan bahwa semua tindakan dan keputusan menyangkut seorang anak harus dilakukan atas dasar kepentingan sang anak. Memaksa, mendoktrin, ataupun mengancam anak untuk menikah dini jelas-jelas merupakan kejahatan pada anak, dan melanggar hak-hak anak. Lalu bagaimana dengan pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Siti Aisyah RA, bukankah dalam suatu riwayat pernikahannya terjadi saat siti aisyah berusia 9 tahun.

Memang dalam hadis riwayat muslim dan bukhori dikatakan bahwa Siti Aisyah dinikahi Nabi ketika berumur 6 tahun dan diserahkan kepada beliau di umur 9 tahun. Terlepas dari pro kontra terkait validitas riwayat ini. Hadis ini harus dipahami sesuai dengan konteksnya, bahwa di zaman nabi Siti Aisyah yang berumur 6 tahun berbeda dengan bocil perempuan zaman sekarang.

Dulu, angka harapan hidup manusia tidak setinggi sekarang. Di tengah berbagai kecamuk perang, para orang tua khawatir meninggalkan anaknya dalam keadaan tidak bersuami, khawatir tidak ada yang mengurusnya jika sewaktu-waktu ia meninggal dalam peperangan. Alhasil demi menenangkan hati mereka dan menjamin kehidupan sang anak, pernikahan dini menjadi sebuah problem solving di zaman itu.

Dengas demikian, seiring berkembangnya zaman, tidak dapat dipungkiri idealitas hukum berubah menyesuaikan realitas masyarakat. Kini, orang tua tidak perlu khawatir lagi pada anak-anaknya. Masa damai memberikan angka harapan hidup yang lebih tinggi pada mereka, anak-anak memiliki hak untuk menyelesaikan jenjang pendidikannya dan meniti karir masa depannya sendiri.

Di dalam kitab yang sama, Syekh Ahmad Ar-Roisuni menuturkan kaidah

 المصلحة مقدمة على القياس

Artinya: “Maslahat didahulukan daripada qiyas

Mengqiyaskan kebolehan pernikahan dini dengan pernikahan Nabi tidak bisa dilakukan semena-mena. Ada maslahat bagi calon mempelai yang harus diperhatikan. Maka, selama maslahatnya mengatakan pernikahan dini tidak boleh dilakukan, qiyas tidak bisa digunakan dan pernikahan dini tidak bisa dilangsungkan.

Sampai di sini, menjadi sebuah keharusan untuk mengikuti arahan BKKBN yang menganjurkan menikah di umur 21 bagi perempuan dan 25 bagi laki-laki. Batasan umur yang telah melewati berbagai penelitian dari beberapa aspek. Lembaga kesehatan dunia (WHO) juga sepakat mengatakan usia ini sebagai masa reproduksi terbaik.  Wallahu ‘alam.

Oleh: Achmad Ma’aly Hikam Mastury, salah satu peserta nominator terbaik ke-16 Festival Literasi Santri 2023 yang diadakan oleh Pesantren Mansajul Ulum.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 110 kali

Baca Lainnya

Benarkah Indonesia telah Merdeka?

15 Agustus 2025 - 15:19 WIB

Rekonstruksi Fikih dalam Membangun  Kehidupan Berparadigma Kesetaraan Gender Pesantren

18 Juli 2025 - 12:45 WIB

Aktualisasi Fikih dalam Menghadapi  Era Society 5.0

4 Juli 2025 - 11:33 WIB

Sumber: id.pinterest.com.

Kurban di Hari Raya Idul Adha: Ungkapan Cinta Seorang Hamba

20 Juni 2025 - 14:30 WIB

Idul Adha: Refleksi Pengorbanan dan Ketaatan dalam Islam

6 Juni 2025 - 11:48 WIB

Kitab Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad: Kebangkitan Setelah Kematian

23 Mei 2025 - 13:35 WIB

Trending di Kolom Jum'at