Menu

Mode Gelap

Kolom Jum'at · 17 Okt 2025 15:23 WIB ·

Pesantren Bukan Sarang Feodalisme


 Sumber: tebuireng.online Perbesar

Sumber: tebuireng.online

KOLOM JUM’AT CXXXIV
Jum’at, 17 Oktober 2025

Pesantren merupakan sistem pendidikan tertua yang ada di Indonesia. Pesantren memiliki peran penting dalam pembentukan karakter, spiritualitas, dan moral generasi muslim. Selain itu, kiai dan santri mempunyai hubungan yang sangat kuat. Hal ini dikarenakan Kiai adalah tokoh utama dalam membangun karakter dan kualitas moral bagi seorang santri. Namun, pada 13 Oktober 2025 ikatan ini dituding oleh Trans 7 melalui tayangan video yang diproduksi oleh program Expose Uncensored sebagai praktik feodalisme.[1] Penulis yakin, bahwa mereka yang memiliki tuduhan seperti ini tidak pernah merasakan bagaimana hidup di dalam pondok pesantren. Mereka hanya memberikan kritik tanpa adanya observasi terlebih dahulu.

Feodalisme dalam Klasik Eropa

Tuduhan feodalisme yang dilambungkan dalam dunia pesantren itu bukanlah bentuk feodalisme dalam pengertian klasik Eropa,  yang menurut Karl Marx dalam bukunya “Das Capital” adalah sistem di mana kaum bangsawan sebagai pemilik tanah dan rakyat jelata sebagai tenaga kerja dan basis hubungan antara keduanya adalah eksploitasi dan dominasi satu kelas atas kelas lain.[2] Mereka berpendapat feodalisme lebih bersifat simbolik dan kultural. Anggapan mereka feodalisme yang ada di pesantren dibalut atas nama adab, dibumbui oleh agama, sehingga terlihat suci dan mulia. Feodalisme semacam ini dikemas melalui simbol-simbol penghormatan, pengagungan, serta pengabaian kritik.

Di pesantren, santri bukanlah seorang buruh yang terikat dengan sistem kerja paksa kepada kiai. Hubungan antara santri dan kiai lebih tepat dikatakan sebagai “Patron-Client”, yaitu hubungan saling menguntungkan dan saling bekerja sama.[3] Namun di masyarakat tradisional, hubungan ini sering disalahartikan sebagai feodalisme. Padahal santri melakukan pekerjaan tersebut dengan senang hati tanpa adanya perintah dari kiai.

Kiai dalam dunia pesantren bukanlah seorang penguasa, namun ia merupakan sosok yang memiliki tanggung jawab besar untuk mendidik dan memperbaiki karakter santri. Bahkan tidak sedikit kiai yang memberi bantuan pada santri-santrinya yang kesulitan ekonomi dalam menempuh pembelajaran di pesantren. Apakah relevan tuduhan feodalisme ini terus dilambungkan untuk menjatuhkan sistem pendidikan pesantren?

Waktu santri ingin menghormati kiai saat bertemu mencium tangan dengan menundukkan diri dianggap feodalisme. Tapi jika di luar pesantren ada seorang anak yang ingin berbakti kepada orang tuanya mencium tangan dengan berlutut dianggap sebuah tradisi. Contoh yang sering terjadi dan ditonton oleh banyak orang adalah ketika pelaksanaan acara pernikahan berlangsung, terdapat acara sungkeman di mana kedua mempelai mencium orang tua dan mertua dengan berlutut.[4]

Perlakuan seperti itu bukanlah feodalisme, melainkan sebuah wujud rasa cinta yang mendalam terhadap seorang yang telah berjasa sangat besar atas dirinya. Jika kepada orang yang tidak memberikan jasa apa-apa, mereka juga tidak akan melakukan hal tersebut. Bahkan Imam Nawawi menjelaskan terdapat sebuah anjuran untuk mencium tangan terhadap orang yang saleh.[5]

يُسْتَحَبُّ تَقْبِيلُ يَدِ الرَّجُلِ الصَّالِحِ وَالزَّاهِدِ وَالْعَالِمِ وَنَحْوِهِمْ مِنْ أَهْلِ الْآخِرَةِ

Artinya: Disunnahkan untuk mencium tangan orang yang saleh, zuhud, berilmu dan lainnya (Al-Majmu’, 4/636)

Tradisi lain yang dianggap buruk adalah memberikan sesuatu kepada kiai saat bertamu. Bahkan hal demikian sudah diajarkan sejak zaman Rasulullah SAW. Sebagaimana penjelasan dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori.[6]

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ دُعِيتُ إِلَى ذِرَاعٍ أَوْ كُرَاعٍ لَأَجَبْتُ وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi ‘Abdiy dari Syu’bah dari Sulaiman dari Abu Hazim dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seandainya aku diundang untuk jamuan makan sebesar satu paha depan (kambing) atau satu paha belakangnya, pasti aku penuhi dan seandainya aku diberi hadiah makanan satu paha depan (kambing) atau satu paha belakang pasti aku terima.” (HR al-Bukhari)

Tetapi yang perlu diketahui bahwa bertamu seperti ini tidaklah wajib. Hal ini hanya sebagai bentuk penghormatan santri kepada kiai. Seorang kiai juga tidak pernah meminta kepada santri-santrinya waktu bertamu harus membawa sesuatu. Hal ini terjadi murni keinginan dari santri sendiri untuk memberikan balasan terhadap seorang yang sudah berjasa besar dalam hidupnya.

Tradisi Tabaruk Bukan Sesuatu yang Baru

Lalu yang paling anehnya lagi, tradisi tabarruk yang sudah ada turun-temurun di dalam dunia pesantren banyak yang beranggapan sebagai bid’ah. Bagi orang yang tidak pernah tinggal di dalam dunia pesantren, pasti mereka tidak pernah percaya dengan berbagai kisah keberhasilan santri yang berasal dari barokahnya ia berkhidmah.

Tradisi tabarruk bukanlah tradisi yang baru muncul di dalam dunia pesantren kemarin sore. Pada masa Rasulullah tradisi tabarruk sudah sangat popular dilakukan.[7] Dalam sebuah hadis dijelaskan,

 عَنْ أَبِي بُرْدَةَ قَالَ: «قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ، فَلَقِيَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ سَلَامٍ، فَقَالَ لِي: انْطَلِقْ إِلَى الْمَنْزِلِ، فَأَسْقِيَكَ فِي قَدَحٍ شَرِبَ فِيهِ رَسُولُ اللهِ ﷺ، وَتُصَلِّي فِي مَسْجِدٍ صَلَّى فِيهِ النَّبِيُّ ﷺ. فَانْطَلَقْتُ مَعَهُ، فَسَقَانِي سَوِيقًا، وَأَطْعَمَنِي تَمْرًا، وَصَلَّيْتُ فِي مَسْجِدِهِ

Artinya: “Dari Abu Burdah, ia berkata bahwa ia mendatangi Kota Madinah. Abdullah bin Salam menemuinya. ‘Ikutlah mampir ke rumahku. Aku akan memberimu minum di gelas yang pernah dipakai oleh Rasulullah SAW. Kau pun bisa shalat di tempat sujud yang pernah dipakai Rasulullah SAW,’ kata Abdullah. ‘Aku berjalan bersama Abdullah. Ia memberiku minum beberapa teguk air dan memberiku butir kurma. Aku pun shalat di tempat shalatnya,’ kata Abu Burdah,” (HR al-Bukhari)

Selain dianggap sebagai bid’ah, tradisi tabarruk lebih sering diartikan sebagai sistem perbudakan. Di mana santri bekerja tidak digaji sama sekali. Santri rela melakukan hal apapun untuk bisa memenuhi kehendak kiai. Tabarruk dianggap sebagai alat kontrol sosial dan simbol hierarki yang kaku. Anggapan seperti ini muncul atas kesalahpahaman yang mereka lakukan karena tidak melakukan research terlebih dahulu sebelum memproduksi sebuah konten.

Di dalam dunia pesantren memang sangat banyak santri yang berkhidmah kepada kiai. Kebanyakan santri yang terjun di dalam ini memiliki sebutan santri “abdi ndalem”.  Apakah mereka tidak dibayar? Jelas mereka dibayar. Bayaran di sini tidak harus berupa uang, melainkan sesuatu yang sangat mereka butuhkan. Contoh bayaran yang paling sering terjadi bahwa santri abdi ndalem tidak mendapatkan tanggungan administrasi di dalam pesantren. Ia juga dapat makan dalam setiap harinya. Kebutuhannya di pesantren juga tercukupi. Lalu yang paling penting, ia juga dapat belajar seperti teman-teman lainnya.

Pesantren Bukan Anti Kritik

Mereka juga beranggapan dalam pembelajaran di pesantren hanya melanggengkan sistem feodalisme ketundukan berpikir tanpa kritik. Mereka tidak mengerti di dalam pesantren terdapat tradisi pembelajaran yang sudah turun-temurun dilakukan yang diberi nama Bahtsul Masa’il. Dalam Bahtshul Masa’il santri dapat bebas berdiskusi dengan sesama santri, bahkan juga kiai. Tidak sedikit di antara mereka yang berbeda pendapat dalam menentukan sebuah hukum. Anggapan ketundukan berpikir tanpa kritik ini tidaklah benar. Karena tidak semua pembelajaran di pesantren itu hanya fokus dengan guru mengajar dan santri mendengar tanpa bisa memberikan kritikan.

Hal yang perlu diketahui kenapa santri melakukan penghormatan terhadap kiainya, selain karena sudah sewajarnya menghormati orang yang lebih tua, bahwasanya seorang kiai itu sama seperti orang tua sendiri. Seorang kiai telah menjadi perantara naiknya derajat seorang santri menuju keluhuran jiwa lewat ilmu yang diajarkannya. Orang tua kandung hanyalah sebagai perantara seorang anak lahir di dunia. Namun, kiai menjadi perantara seorang anak lebih mengenal Tuhannya. Dengan hal ini derajat seorang kiai justru lebih tinggi dari pada orang tua yang melahirkan untuk dihormati. Dalam kitab al-Manhaj al-Sawîy halaman 218 dijelaskan,

آبَآؤُكَ ثَلاَثَةٌ: أَبُوْكَ الَّذِيْ وَلَدَكَ، وَالَّذِيْ زَوَّجَكَ ابْنَتَهُ، وَالَّذِيْ عَلَّمَكَ وَهُوَ أَفْضَلُهُمْ

Artinya: “Orang tuamu ada tiga: orang tua yang menjadi sebab terlahirnya kamu, mertuamu , dan gurumu—dialah yang paling utama (di antara para orang tua tersebut).”

Jika seorang kiai sama seperti orang tua santri itu sendiri, bahkan derajatnya yang lebih mulia untuk dihormati. Lalu kenapa jika kita sebagai santri membalas perjuangannya dalam mendidik kita disebut sebagai perbudakan? Apakah salah memberikan balasan terhadap orang tua yang telah mengantarkan kesuksesan? Kenapa kalau membalas perjuangan orang tua yang melahirkan dianggap wajar, kalau terhadap kiai menjadi perbudakan? Bukankah mereka sama-sama orang tua yang sudah sewajarnya untuk dihormati?

Penghormatan terhadap seorang kiai bukanlah sebuah feodalisme. Para santri memberi penghormatan terhadap kiainya bukan dari perintah kiai, melainkan atas kesadaran santri itu sendiri untuk membalas besarnya jasa yang diberikan kiai untuk bekal hidup di dunia ini. Sebagai seorang anak sudah sewajarnya untuk memberikan balasan terhadap orang tua yang melahirkan, membesarkan, dan mendidik untuk menuju kesuksesan. Wallahu’alam.

Oleh: Muhammad Sholihul Huda, Redaktur EM-YU.

[1] “Rembang Terkini | Media Asli Rembang on Instagram: ‘Viral Di Sosmed, Media TV Nasional Dianggap Gagal Paham, Publik Kecam Framing Negatif Tayangan Trans 7 Tentang Kehidupan Santri. Menurut Kalian Gimana? #boikottrans7,’” Instagram, October 13, 2025, https://www.instagram.com/rembang.terkini/reel/DPw6gQbk1S3/.

[2] Frederick Engels, Tentang Das Kapital Marx, hal 5

[3] https://www.neraca.co.id/article/34731/mengenal-hubungan-patron-klien-1-oleh-linayati-lestari-sip-ma-dosen-fisipol-universitas-riau-kepulauan-batam

[4] https://www.weddingku.com/blog/panggih-ritual-unik-pernikahan-jawa

[5] المجموع شرح المهذب – ط المنيرية ٤/‏٦٣٦ — النووي (ت ٦٧٦)

[6]  صحيح البخاري – ت البغا ٢/‏٩٠٨ — البخاري (ت ٢٥٦)

[7] صحيح البخاري – ط السلطانية ٩/‏١٠٦ — البخاري (ت ٢٥٦)

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 116 kali

Baca Lainnya

Aktualisasi Fikih untuk Keadilan Gender di Pesantren

3 Oktober 2025 - 12:57 WIB

Fikih Hak Anak: Solusi atas Problematika Moral Remaja

12 September 2025 - 16:03 WIB

Peringatan Maulid Nabi dan Teladan Akhlak Kenabian

29 Agustus 2025 - 16:09 WIB

Benarkah Indonesia telah Merdeka?

15 Agustus 2025 - 15:19 WIB

Menimbang Ulang Pernikahan Dini: Antara Tren, Risiko, dan Tujuan Syariat

1 Agustus 2025 - 12:36 WIB

Rekonstruksi Fikih dalam Membangun  Kehidupan Berparadigma Kesetaraan Gender Pesantren

18 Juli 2025 - 12:45 WIB

Trending di Kolom Jum'at