“Prinsip yang harus dikedepankan dalam fiqh siyasah adalah prinsip kulliyyah”, demikian tegas Kiai Imam Nakha’i pada Halaqah Fiqh Peradaban, 26 Desember 2022 lalu. Acara yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Mansajul Ulum, Pati ini dihadiri sejumlah Kiai di Kabupaten Pati. Mereka semangat mendiskusikan konsep fiqh siyasah dalam acara tersebut. Acara yang berlangsung seharian itu menghadirkan Kiai Dr. Imam Nakha’I, wakil ketua LBM PBNU dan komisioner Komnas Perempuan, serta Prof. Dr. Imam Yahya, dosen Pascasarjana UIN Walisongo, Semarang. Halaqah ini mengangkat tema “Fiqh Siyasah dan Negara Bangsa”. Tema tersebut sengaja dipilih oleh panitia penyelenggara mengingat pentingnya peran serta NU dan para Kiai untuk ikut memberikan rumusan yang jelas terkait kontekstualisasi fiqh siyasah dalam membangun negara bangsa.
Acara Halaqah dibuka oleh Rais Syuriah PCNU Pati sekaligus anggota Syuriah PBNU, KH. Aniq Muhammadun. Selain membuka acara, beliau juga memberikan sambutan dan pengarahan. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan beberapa nilai penting dalam Islam sebagai acuan membangun konsep negara bangsa. Menurutnya, acuan membangun negara bangsa adalah ajaran Islam yang telah diteladankan Rasulullah. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Rasul telah mencontohkan perilaku-perilaku yang layak dijadikan suri tauladan. Perilaku Rasul itu secara garis besar berpijak kepada nilai saling menghargai dan tidak boleh saling melukai. Hidup di negara yang plural, seperti Indonesia, kita harus mampu saling menghargai. Tetapi saling menghargai ini harus ditegakkan dalam batasan urusan muamalah duniawi, bukan pada urusan yang menyangkut akidah.
“Fiqh siyasah masih jarang dikaji oleh umat Islam Indonesia, khususnya para santri.” Demikian kata Kiai Nakha’i pada acara Halaqah ini. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa kajian fiqh di pesantren masih terfokus pada fiqh ibadah. Kajian fiqh mu’amalah hanya berhenti pada bab jual beli dan pernikahan. Selebihnya masih sangat sedikit sekali dibaca. Karena itu, para santri masih banyak yang kurang memahami tentang fiqh siyasah. Sehingga konsep siyasah dalam fiqh masih belum banyak yang dikontekstualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi di sisi lain, kaum santri yang banyak belajar fiqh ibadah itu dalam berbangsa dan bernegara masih ‘ke-fiqh-fiqh-an’. Artinya, mereka sering menggunakan fiqh yang terlalu berlebihan tanpa menyandingkan nilai tasawuf. Sehingga terasa kaku dan bahkan kurang ‘berakhlak’.
Kiai asal Situbondo ini, menegaskan bahwa pelaksanaan fiqh perlu disandingkan dengan tasawuf. Agar fiqh bisa dipraktekkan secara lebih baik dan berakhlak. “Kontekstualiasasi fiqh siyasah harus mengedepankan pada nilai substansi dan prinsip kulliyyah”, sambungnya. Prinsip kulliyyah dalam siyasah adalah ‘adalah (keadilan), musawah (kesetaraan), dan syura (bermusyawarah). “Kita tidak boleh terjebak pada bunyi teksnya, tetapi harus memahami maqashid. Banyak sekali kaedah ushul yang menjelaskan hal ini”, lanjutnya.
“Praktek bersiyasah sendiri terdapat banyak model”, sambung narasumber kedua, Prof. Dr. Imam Yahya. Lebih lanjut guru besar UIN Walisongo itu menjelaskan bahwa dalam praktek bersiyasah paling tidak ada tiga model; integratif, sekularistik, dan simbiotik. Pandangan ulama nusantara tentang hukum berpolitik sendiri berbeda-beda. Ia pernah menemukan pandangan Mbah Hasyim yang menghukumi haramnya berpolitik. Pernyataan beliau itu dapat ditemukan pada karyanya, Kaffu al-Awwam. Tetapi pandangan tersebut ditolak oleh Syekh Khatib al-Falembani melalui karyanya yang berjudul Tanbih al-Anam fi Raddi Kaff al-Awwam. Menurutnya, hukum berpolitik adalah fardhu kifayah. Karena hakikat politik adalah menegakkan risalah nubuwah yang telah dibawa oleh Rasul. Pandangan al-Falimbani ini sejalan dengan pendapat al-Mawardi yang menyatakan bahwa al-imamah maudhu’atun likhilafati al-nubuwah lihirasati al-din wa siyasati al-dunya (kepemimpinan politik itu diletakkan untuk melanjutkan risalah kenabian dalam rangka menjaga agama dan politik dunia). “Karena itu umat Islam harus ada yang terlibat dalam politik. Jika tidak, maka umat Islam tidak mampu untuk mengambil peran dalam menjalankan politik kenegaraan”, tegasnya.
Acara yang berlangsung seharian itu diikuti oleh peserta dengan sangat antusias, meski diliputi oleh cuaca hujan. Antusiasme itu membuat mereka tetap ramai berdiskusi hingga akhir sesi pada diskusi terbatas FGD.
Reporter: Tim Redaksi Em-Yu.