Norma sosial bagaikan panduan moral yang mengarahkan perilaku individu dan mengatur interaksi kolektif dalam masyarakat. Ia merupakan aturan tak tertulis yang menjaga keteraturan, memperkuat kebersamaan, dan menjamin kelangsungan peradaban. Namun, di era modern yang dipenuhi dinamika teknologi dan banjir informasi, muncul fenomena yang patut dicermati: norma sosial perlahan kehilangan maknanya. Bukan berarti ia benar-benar hilang, melainkan mengalami pergeseran nilai, diabaikan secara masif, bahkan ditentang secara terang-terangan, sebuah ancaman serius terhadap sendi-sendi kehidupan bersama.
Setidaknya terdapat 3 penyebab utama atas terjadinya hal ini, yaitu: Pertama, perubahan yang terlalu cepat. Masyarakat tidak punya cukup waktu untuk menyesuaikan diri dengan disrupsi teknologi, ekonomi, dan budaya. Norma yang ada belum mampu menyesuaikan diri dengan realitas baru. Kedua, lemahnya penegakan aturan. Ketika pelanggaran norma tidak diberi sanksi yang tegas dan konsisten, baik oleh masyarakat maupun hukum, norma tersebut kehilangan kekuatannya. Ketiga, krisis kepercayaan terhadap institusi-institusi penjaga norma, seperti pemerintah, lembaga agama, dan keluarga.
Contoh Nyata Pergeseran Norma Sosial
Salah satu tanda paling nyata dari tergerusnya norma sosial adalah menguatnya paham individualistik. Sistem kapitalisme global yang menomorsatukan kebebasan pribadi dan persaingan, diperparah oleh media sosial yang membentuk “ruang gema” (echo chamber), telah melemahkan rasa kebersamaan. Masyarakat yang dahulu menjunjung tinggi gotong royong dan kepedulian sosial, kini lebih mementingkan urusan sendiri. Norma seperti tolong-menolong, menghormati orang lain, atau menjaga ketertiban umum, seakan menjadi pilihan, bukan lagi kewajiban.
Diberitakan oleh RRI bahwa pelanggaran lalu lintas di Papua Barat tahun ini meningkat drastis dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tahun 2024 Polda Papua Barat mencatat bahwa terdapat 142 kasus. Jumlah ini meningkat pada tahun 2025, yaitu menjadi 442 kasus pelanggaran.[1]
Selain itu, kasus perusakan fasilitas publik juga marak terjadi di Indonesia. Di antara kasus yang terjadi adalah di Jakarta. Akibatnya pemerintah mengalami kerugian mencapai 50 Miliar.[2]
Selain itu, krisis norma sosial juga terlihat di ruang media sosial. Di satu sisi, ia bisa menjadi sarana menyebarkan kebenaran dan membangun kesadaran bersama. Namun, di sisi lain, ia juga menjadi medium penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan perpecahan. Melansir website resmi Komdigi, terdapat 1.923 temuan konten hoaks yang tersebar di media sosial.[3] Adapun konten ujaran kebencian yang berhasil ditakedown oleh Komdigi dari tahun 2018 hingga 26 April 2021 mencapai 3.640 konten.[4]
Krisis norma juga tampak dalam bidang politik dan hukum. Kasus korupsi yang tak kunjung usai, penegakan hukum yang tegas pada rakyat kecil tetapi lemah pada penguasa, serta politik transaksional, menunjukkan bagaimana norma kejujuran, integritas, dan keadilan seolah tak lagi dihargai oleh para elite. Ketika pemimpin yang seharusnya menjadi panutan justru merusak tatanan sosial, masyarakat pun menjadi sinis dan kehilangan kepercayaan. Akibatnya, norma kepatuhan pada hukum dan penghormatan terhadap lembaga negara perlahan memudar.
Pergeseran norma juga terlihat dalam keluarga dan dunia pendidikan. Dulu, nilai-nilai seperti menghormati orang tua, guru, dan tanggung jawab dalam keluarga sangat dijunjung tinggi. Kini, di bawah pengaruh globalisasi dan budaya asing, norma-norma tersebut sering dipertanyakan atau dianggap ketinggalan zaman. Meskipun kebebasan berekspresi dan emansipasi adalah kemajuan positif, tanpa pemahaman akan batas dan kesopanan, hal itu dapat mengikis rasa hormat dan nilai-nilai kekeluargaan.
Recovery Norma Sosial
Untuk memulihkan makna norma sosial, diperlukan kerja sama dari berbagai pihak. Pendidikan karakter sejak dini baik di keluarga maupun sekolah harus diprioritaskan. Lembaga agama perlu memperkuat perannya dalam menanamkan nilai moral, tetapi dengan pendekatan yang lebih inklusif dan sesuai zaman. Penegakan hukum harus adil dan tanpa tebang pilih. Selain itu, masyarakat harus aktif menegakkan norma di lingkungannya masing-masing.
Diskusi publik tentang etika dan nilai-nilai sosial juga perlu digiatkan, bukan untuk memaksakan pandangan, melainkan untuk membangun kesadaran bersama akan pentingnya norma dalam kehidupan bermasyarakat. Norma sosial memang tidak tetap, ia terus berubah seiring zaman. Namun, ada nilai-nilai dasar yang harus tetap dipertahankan agar masyarakat tidak kehilangan pegangan. Ketika norma sosial mulai kehilangan maknanya, kita berada di ambang krisis identitas dan keretakan sosial. Memulihkan norma bukanlah hal mudah, tetapi ini adalah langkah penting untuk mewujudkan peradaban yang lebih beradab dan harmonis di masa depan.
Penulis: Azhar Miftahuddin, Santri Mansajul Ulum.
[1] Fransiskus Xaverius Putra Aryanto, “Pelanggaran Lalu Lintas Pada Tahun Ini Meningkat,” Rri.Co.Id – Portal Berita Terpercaya, accessed September 30, 2025, https://rri.co.id/daerah/1730722/pelanggaran-lalu-lintas-pada-tahun-ini-meningkat.
[2] Rhama Purna Jati- rhama.purnajati@kompas.com, “Fasilitas Umum di Jakarta Dirusak, Apa Upaya Pemprov DKI Jakarta?,” Kompas.id, August 31, 2025, https://www.kompas.id/artikel/fasilitas-umum-di-jakarta-dirusak-massa-apa-upaya-pemprov-dki-jakarta.
[3] “Kementerian Komunikasi Dan Digital,” accessed September 30, 2025, https://www.komdigi.go.id/berita/siaran-pers/detail/komdigi-identifikasi-1923-konten-hoaks-sepanjang-tahun-2024.
[4] “Kementerian Komunikasi Dan Digital,” accessed September 30, 2025, https://www.komdigi.go.id/berita/pengumuman/detail/siaran-pers-no-143-hm-kominfo-04-2021-tentang-sejak-2018-kominfo-tangani-3-640-ujaran-kebencian-berbasis-sara-di-ruang-digital.