Menu

Mode Gelap

Literasi Santri · 9 Jun 2023 09:22 WIB ·

The Wishes


 Sumber gambar: id.pinterest.com Perbesar

Sumber gambar: id.pinterest.com

(Bagian Dua)

Sampai di sini adalah adegan yang paling kusukai. Aku tersenyum, menoleh ke arah samping, tempat di mana sang penulis naskah film ini duduk. Walau berada di tengah gelap  gulita, aku bisa memastikan gadis ini tengah menangis, sebuah tangisan yang membuatku kian merasa bahagia. Karena kami sama.

22 Oktober 45
Resolusi jihad panggilan jiwa
Santri dan ulama’ tetap setia
Berkorban pertahankan Indonesia

Saat ini kita telah merdeka
Mari teruskan perjuangan ulama’
Berperan aktif dengan dasar pancasila
Nusantara tanggung jawab kita

Sebuah gerakan menarik perhatianku, pintu ruanganku terbuka, menampilkan sesosok pemuda yang memang kutunggu wujudnya hadir di ruanganku –untuk mengeksekusinya. Jemariku mengetuk smarthphone yang masih menyetel lagu, membuatnya diam membisu. Melihat pemuda ini entah kenapa emosiku kembali tersulut mengingat apa yang telah ia lakukan.

“Apa ini?” tanyaku dengan nada menginterogasi. Menunjukkan lembaran-lembaran kertas di genggaman.

“Saya kira itu naskah yang saya usulkan, Bu.” Jawab pemuda itu, suaranya hampir tercekat.

“Kamu sudah membacanya? Naskah macam apa ini, Gio?” teriakku, emosiku mulai tersetel pada puncaknya.

“Kamu jelas sudah tahu kriteria naskah yang saya cari kali ini! Tapi kamu memberikan naskah ini pada saya? Kamu sudah membacanya? Alur yang gampang ketebak! Anak SD saja sudah tahu endingnya sekali baca judulnya, pesan moral yang disisipkan tidak ada greknya sama sekali, tidak ada plot twist sama sekali! Saya butuh alur yang tidak biasa saja kali ini! Bukan sekedar cinta monyet! Perselingkuhan! Poligami, KDRT, bukan! Kamu paham tidak sih?” lanjutku dengan kobaran api yang terus menyala, tanpa kusadari pemuda di depanku tertunduk sambil menggigit bibir bawahnya. Seketika aku meloloskan lafadz istighfar, ingat baru saja yang aku kelepasan.

“Ah maaf, seharusnya saya tidak marah sama kamu, kamu sudah berusaha. Naskah ini juga tidak jelek-jelek amat, tapi maaf saya tidak bisa menerimanya. Kali ini saya ingin membuat film yang benar-benar menggugah kesadaran moral, bukan hanya itu, tapi juga kesadaran tanggung jawab. Karena itu saya butuh naskah yang benar-benar menarik perhatian, alur yang tidak biasa. Yang sanggup membuat orang-orang panas membicarakannya berhari-hari. Seperti kasus Sambo.” Tuturku yang tadinya marah-marah kini malah tersulut ambisi.

“Ya sudah, kamu boleh pergi, Gio.” Aku tersenyum getir melihat punggung pemuda itu yang semakin mengecil kemudian hilang di balik pintu ruanganku. Aku tahu pemuda di depanku sudah berjuang keras. Tapi masalahnya, di zaman sekarang ini sudah susah mencari naskah yang bagus dengan kriteria kantong –Hei, apa karena itu dia kesulitan mencari naskah yang sesuai dengan kriteriaku? Kriteria kantong? Seharusnya dia tahu, kalaupun aku disuruh menyewa satu kota? Bakal gue jabanin!

Jemariku kembali mengetuk smartphone, memutar ulang sang lagu kebanggaan.

22 Oktober 45
Resolusi jihad panggilan jiwa
Santri dan ulama’ tetap setia
Berkorban pertahankan Indonesia

 Saat ini kita telah merdeka
Mari teruskan perjuangan ulama’
Berperan aktif dengan dasar pancasila
Nusantara tanggung jawab kita
Aku menghembuskan napas kasar, kembali tersulut emosi yang sebenarnya untuk diri sendiri.
Nusantara tanggung jawab kita.

Bertahun-tahun aku habiskan waktu untuk menekuni prodi cinematografi agar bisa mencapai cita-cita mulia Nahdlotul Ulama, yaitu menyebar santri-santrinya keseluruh penjuru negeri dengan berbagai bidang yang berbeda kemudian menciptakan islam yang sesuai dengan Ahlussunnah Waljama’ah. Bukan sekedar menjadi Kyai, melainkan juga turut menyeleksi produksi makanan halal, menjadi bagian dari pegawai pemerintah yang jauh dari kata ‘korup’, menjadi Ilmuan, Sejarawan, Desaigner, bahkan Presiden. Dan aku memilih ini, jalur perfilm-an. Dan selama bertahun-tahun menjadi Sutradara, belum ada bahkan satupun film-ku yang berhasil membuatku merasa tuntas mewujudkan cita-cita Masyayikh.

Tapi di mana aku harus mencari?. Kalau begini aku jadi rindu pondok, tempatku belajar banyak hal bersama teman-teman. Dulu di pondok ketika kami sedang berkumpul kami bisa membicarakan banyak hal positif –selain ghibah tentunya, walau itu bukan pengecualian –apalagi kalau membahas novel, kami bisa mendiskusikan kelebihan dan kekurangannya, mendebat alurnya, mengaitkannya dengan sejarah, kemudian bisa loncat topik yang lebih mainstream seperti realita politik bahkan filsafat.

Tunggu! Kenapa tidak begitu saja, dulu ketika umurku 17 tahun, remaja yang lebih muda dariku sudah berhasil merilis sebuah novel, yang seusiaku sudah berhasir menerbitkan tiga buku filsafat. Lah aku?.

Aku tersenyum. Baiklah, aku sudah memutuskannya.

***

Aku rindu suasana ini, suasana damai dengan samar-samar terdengar santri tadarusan Al-Qu’an dan kitab kuning.

Pagi tadi, 2 hari setelah rilisnya film kami, gio memberikan kabar yang membuatku tercengan tidak percaya. Film kami mendapat dua nobel penghargaan sekaligus. Itu berita yang membahagiakan sekali. Langsung saja aku ditemani Shinta, salah seorang dari tim pemasaran, meluncur ke pondok pesantren tempat si penulis belajar.

Langsung saja aku sowan ke ndalem Kyai, mengutarakan maksud kedatanganku. Dan setelahnya Bu Nyai bergegas memanggil santri putri itu dan menurunkan titah untuknya menemuiku.

Kemudian santri putri itu memasuki ruangan dengan cara jalan khas santri, yaitu menjadikan lututnya sebagai telapak kaki. Tanpa basa-basi kuucapkan terimakasih padanya dan kuinformasikan padanya bahwa berkatnya film kami mendapat dua nobel penghargaan sekaligus.

“Jadi, kamu mau menemani saya mengambil dua nobel itu?”

Gadis itu terdiam dengan kepala tertunduk, kemudian mengangkat kepalanya menatapku dengan penuh kemantapan. “Maaf, saya tidak ikut Bu.” Tandasnya membuatku tercengang, tapi kemudian aku tesenyum. Aku mengerti, lihatlah, gadis ini baru saja kembali membulatkan tekad ke-khumulan-nya sama seperti saat ia tidak mau identitasnya sebagai penulis diungkap.

“Baiklah, saya tidak akan memaksa. Terus kembangkan bakatmu ya, buat saya mendatangimu lagi.” Ujarku membesarkan hatinya, padahal aku sendiri sedikit kecewa karena merasa gagal memberikan sesuatu yang dapat mengapresiasinya selain honor. Tapi kemudian, di otakku mendadak muncul sebuah ide yang tidak mungkin ditolak.

“Bagaimana kalau sebagai gantinya, saya mengajak kamu dan seluruh santri putri menonton film-mu di bioskop?”

Seketika pipi gadis itu merona, kedua matanya membulat, kepalanya reflek terangkat dari sikap ketawadlu’an. “Saya malu, Bu,” jawabnya kembali tertunduk.

“Tapi mau?” balasku menggodanya, yang kemudian dibalas dengan senyum pepsodent.

***

Di lantai dua. Farid dan Ilyas bersembunyi di balik tiang-tiang besar, menghitung waktu yang tepat. Mereka harus berhati-hati, karena sekali saja mereka ketahuan, tanpa pikir panjang tank itu akan memuntahkan isinya.

Sudah masuk jarak tembak. Dua pemuda itu menyiapkan senjatanya, sekali lagi mengecek situasi, ketika dirasa tepat, BOOM!-BOOM! Dua tank itu hancur. Masih ada satu tank lagi, segera tentara di bawah yang memegang RPG-9 meluncurkan misinya. Tapi terlambat, tank itu telak menembakkan meriamnya, bukan ke istana merdeka, mereka tahu betul kemana harus menyerang. Tidak sedikit tentara yang tewas, lebih banyak lagi yang terluka. Istana merdeka terdesak. Belum lagi musuh tidak tertarik diam sejenak, memberi kelonggaran.

Mendadak listrik seluruh ibu kota padam. Gulita ada dimana-mana, AI pun tak kuasa mempertahankan kehidupannya, tapi AC bisa, juga beberapa penerangan yang memang didesain memiliki baterai cadangan. Mengantisispasi penghuninya tidak kehabisan oksigen. Pak Presiden tetap tenang saja, AI bukan senjata andalannya. Sebenarnya ini lebih baik, para tentara sejati bisa sedikit bernafas, membantu kawannya yang terluka.

Tapi sungguh itu bukan mukjizat. Terdengar bunyi duk-duk-duk yang semakin kencang dari arah langit. Belasan helikopter mendekat, menjulurkan tangga menggantung kebawah, kemudian menurunkan penumpangnya dengan selamat. Santai puluhan orang dengan setelah jas hitam itu melangkah, seakan berjalan di atas catwalk, tidak peduli dengan suasana tegang yang berlangsung, menuju tempat dimana Sang Presiden bersembunyi, melempar granat di pintu bajanya, kemudian menyapa.

“Selamat malam Presiden.”

“Ada kata terakhir?” lanjutnya tanpa basa-basi.

Sang Presiden tersenyum, tetap tenang, “Ya, aku memang ingin bertanya.”

“Silahkan,”

“Kapan kebenaran akan menang?” Presiden menunggu sejenak, kemudian ia jawab sendiri pertanyannya “Adalah ketika kebenaran itu diamalkan.” Santai presiden mengucapnya, seakan kalimat itu penuh makna. Dan tepat kalimat itu selesai diucapkan, belasan pemuda di belakangnya merangsek maju, menembakkan pelurunya.

Jual beli tembakan dimulai kembali. Para pemuda itu sudah lebih dari mahir memegang pistol, menembak dengan akurat tapi tidak membunuh, cukup membuat musuh lumpuh. satu dua ada yang lolos, tapi tidak masalah, pemuda-pemuda itu sudah dilengkapi ilmu bela diri, salah seorang dengan tangkas menyingkirkan  pistol milik musuh, kemudian menikamnya dengan satu dua gerakan pencak silat, atau juga dengan dua totokan di leher.

Hitungan menit, semua musuh telah lumpuh, mengerang kesakitan, darah bercecer dimana-mana. Pak Presiden mengayunkan kakinya dua langkah ke depan, “jadi, siapa dalang dibalik semua ini?” tanyanya.

Di lain sisi, masih di dalam ruangan serba putih itu, seseorang mengepalkan tangannya yang dingin. Menghitung kesempatan terbaik. Satu, dua, satu, dua, tangannya diam-diam meraih pisau di balik ikat pinggangnya, kemudian bersiap untuk menikam.

Sepersekian detik, bak seekor kelelawar, instingnya bekerja cepat, pak presiden segera berbalik badan, kemudian menikam balik.

“Ah, ternyata anda.” Ujar pak presiden, kepada laki-laki itu, yang jabatannya berada tepat di bawahnya. Wakil presiden.

Aku tersenyum, film ini sudah tiba pada puncaknya. 24 jam setelah peperangan itu, segera Pak presiden membubarkan kabinet, dan menyusunnya ulang, dan tentu saja dengan menyelipkan pemuda-pemuda itu di posisi yang paling tepat.

Senyumku tak kunjung luntur, melihat adegan ini membuatku ingat ucapan salah seorang motivator, “Kenapa jabatan Gus Dur berlangsung sangat singkat?” tanyanya yang kemudian dijawab sendiri.

“Karena tidak ada yang satu server dengan beliau.”

Karya: Ikrima Elok Zahrotul Jannah, Santri Mansajul Ulum.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 154 kali

Baca Lainnya

Khifdzul Lisan

10 Oktober 2023 - 08:05 WIB

Muhammad

6 Oktober 2023 - 08:32 WIB

Muhammad

Bentuk Memuliakan Ilmu Dalam Kitab Ta’limul Muta’allim

3 Oktober 2023 - 16:09 WIB

Bapak Tidak Datang

22 September 2023 - 12:46 WIB

Purnama : Rindu Pulang

8 September 2023 - 07:12 WIB

Dinamika

25 Agustus 2023 - 13:52 WIB

santri
Trending di Literasi Santri