Menu

Mode Gelap

Opini Santri · 8 Okt 2024 17:05 WIB ·

Dampak Dualisme Hukum Terhadap Perempuan


 Sumber: id.pinterest.com. Perbesar

Sumber: id.pinterest.com.

Hukum di Indonesia seringkali dianggap bersimpangan dengan hukum syari’at. Banyak kaum muslim yang tetap melanggar hukum negara karena hukum tersebut diperbolehkan di dalam Islam. Atau beralasan bahwa itu adalah Sunnah Nabi dan sesuatu yang telah diajarkan oleh Nabi. Hal ini mengakibatkan dualisme hukum yang sampai sekarang belum terselesaikan.

Nahasnya, dualisme hukum ini banyak terjadi pada hukum-hukum yang berhubungan dengan perempuan. Seperti hukum pernikahan dini. Berdasarkan pasal 7 ayat (1) UU 16/2019, batas usia seseorang boleh menikah adalah di usia 19 tahun. Sudah jelas, negara menolak adanya pernikahan dini.

Tetapi, pada nyatanya banyak dari kaum muslim yang mengabaikan hukum tersebut. Dilansir dari Indonesiabaik.id bahwa, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa, 35,21% pemuda laki-laki memiliki usia menikah pertama saat 22-25 tahun. Sebanyak 30,25% pemuda laki-laki mencatatkan usia menikah pertama saat 25-30 tahun. Sedangkan, 37,27% pemuda perempuan memiliki usia menikah pertamanya pada 19-20 tahun. Lalu, 26,48% pemuda perempuan menikah pertama kali ketika berusia 16-18 tahun. Hal ini menunjukan tingginya tingkat pernikahan dini di Indonesia, terutama pada perempuan.

Di dalam hukum Islam memang tidak ada batasan tentang umur minimal seseorang boleh menikah. Mayoritas ulama mengatakan bahwa wali boleh menikahkan anak perempuannya dalam usia berapapun. Hukum tersebut berdasarkan pada pernikahan nabi Muhammad Saw dengan Sayidah Aisyah. Beberapa riwayat menyebutkan, Aisyah menikah dengan Nabi pada usia 6 tahun dan tinggal bersama nabi pada usia 9 tahun.

Hal ini memperkuat argumen orang Islam untuk mengabaikan hukum negara yang tidak memperbolehkan menikah di usia dini. Mereka lebih memilih melegalkan pernikahan dini dengan dalil Islam yang memperbolehkan. Ditambah, nabi juga mempraktekannya. Adanya wali mujbir juga menambah kelegalan pernikahan dini. Wali boleh menikahkan anak perempuan tanpa sepengetahuan dan persetujuan sang anak, berapapun usianya.

Selain pernikahan dini, dualisme hukum juga terjadi pada permasalahan pernikahan sirri. Di dalam hukum negara, UU pernikahan pasal 2 ayat (2) menerangkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Negara melarang adanya pernikahan tanpa dicatatkan di dalam negara (nikah secara diam-diam).

Sedangkan, hukum Islam tidak mensyaratkan demikian. Rukun nikah dalam Islam adalah adanya wali, mahar, dua saksi, dan akad. Menikah dengan memenuhi syarat tersebut tanpa mencatatkan pernikahan pada negara, sudah dianggap sah menurut Islam. Undang-undang negara ini tidak bisa diartikan bertentangan dengan hukum Islam. Hukum ini ditetapkan karena keadaan dan situasi zaman yang selalu berubah. Ditambah melihat realita perempuan yang menjadi pemeran utama dalam pelaksanaan hukum tersebut.

Melegalkan pernikahan dini dan pernikahan sirri, sama saja melegalkan adanya kekerasan terhadap perempuan. Nikah di usia belia, memberikan dampak negatif bagi perempuan. Tercerabutnya hak melanjutkan pendidikan, minimnya persiapan lahir maupun batin, dan meningkatnya hamil di usia dini yang mengakibatkan kematian.

Pernikahan sirri juga sangat merugikan. Tidak terdaftarnya pernikahan tersebut di pencatatan negara, memudahkan perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan tercerabutnya hak-hak sebagai seorang istri. Sang suami juga bebas untuk tidak memenuhi kewajibannya karena tidak ada hukum negara yang mendasari pernikahan tersebut.

Masalah ini, tidak mendapatkan penyelesaian yang serius. Baik dari masyarakat awam maupun dari oknum negara. Terbukti, pernikahan dini, pernikahan sirri, dan mungkin yang lainnya masih dilegalkan di masyarakat luas. Masyarakat awam tidak mau tahu menahu tentang hukum negara yang telah ditetapkan. Oknum negara pun abai dalam menegakkan hukum negara, sehingga terkadang juga ikut melegalkan pernikahan dini dan pernikahan sirri yang jelas-jelas dilarang oleh negara.

Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asqor di dalam kitab al-wadhih fi Ushul al-fiqhi mengatakan bahwa wajib mentaati pendapat orang yang mempunyai kekuasaan. Seperti hakim, pemimpin, pimpinan perang, dan sejenisnya. Selama pendapat tersebut tidak bertentangan dengan syariat agama. Sebagaimana firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ulul amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 59)

Selain mentaati Allah dan Rasul, kita juga diperintah untuk mentaati Ulul amri (pemegang kekuasaan). Maka dari itu, penguasa negara dan undang-undang dasar negara juga wajib kita taati. Meskipun, terkadang peraturan tersebut menurut pendapat kita salah. Hal ini dilakukan untuk menjaga aturan kelompok agar tidak terjadi kekacauan antar kelompok. Wallahu ‘alam.

Oleh: Putri Nadillah, Santri Mansajul Ulum.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 69 kali

Baca Lainnya

Apakah Utang Negara Menjadi Tanggung Jawab Warga Indonesia?

18 Februari 2025 - 16:49 WIB

Hari Valentine: Sejarah, Latar Belakang dan Hukum Merayakan

11 Februari 2025 - 17:15 WIB

Tantangan Santri dalam Menghadapi Gelombang Informasi di Dunia Maya

4 Februari 2025 - 20:06 WIB

Membangun Karakter Sehat dan Tanggung Jawab di Kalangan Santri

28 Januari 2025 - 18:49 WIB

Strategi Mitigasi Kriminalitas Keuangan

21 Januari 2025 - 17:57 WIB

Manfaat Pupuk Organik terhadap Tanah

14 Januari 2025 - 16:30 WIB

Trending di Opini Santri