Menu

Mode Gelap

Opini Santri · 22 Jul 2025 11:44 WIB ·

Fikih, Tekstual atau Kontekstual?


 Fikih, Tekstual atau Kontekstual? Perbesar

Pemikiran yang keluar dari setiap manusia adalah sebuah keistimewaan yang diberikan oleh Allah. Memiliki proses yang rumit dan unik, pemikiran manusia mencakup segala hal, baik rasional maupun irasional hingga emosi dan intuisi. Pemikiran manusia tidak hanya tentang memahami dan berinteraksi dengan sang pencipta, tetapi juga tentang memahami dan berinteraksi dengan dunia dan segala isinya.

Sumber-Sumber Pengetahuan

Selain bersumber dari Allah, pemikiran manusia akan terus mengalami perubahan yang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk pengalaman, sosial, geografis, dan budaya. Pemikiran akan senantiasa berkembang mengikuti perkembangan manusia yang masih akan terus belajar, dan mengembangkan diri untuk mencapai potensi tertinggi, yang nantinya akan menciptakan pembaruan-pembaruan.

Fikih Sebagai Hasil Pemikiran Manusia

Salah satu hasil pemikiran manusia yang autentik adalah hukum Islam fikih. Berasal dari pemikiran ijtihad para ulama, fikih menjadi hukum rujukan umat Islam dalam beribadah, bersosial, dan bernegara dalam koridor syariat Islam. Hukum ini membahas empat aspek pokok kehidupan manusia. Satu di antaranya, yaitu ubudiyah, mengurus tentang hubungan transendental antara manusia dan penciptanya. Tiga yang lain adalah muamalah (hubungan professional dan perdata), munakahah (pernikahan), dan jinayah (pidana), yang mempunyai korelasi dengan kehidupan materil dan sosial yang bersifat duniawi.

Pengertian Fikih

Imam Mahalli dalam syarah jam’ul jawami’ mendefinisikan fikih sebagai cabang ilmu untuk mengetahui hukum-hukum syariat Nabi Muhammad yang bersifat aplikatif, baik berkaitan dengan pekerjaan hati atau fisik, seperti mengetahui hukum wajib atas niat wudhu dan hukum sunah atas shalat witir. Pengetahuan itu harus diusahakan melalui dalil-dalil parsial.

Kesan Fikih Sebagai Sesuatu yang Statis

Berfokus pada hukum-hukum parsial dan berkiblat pada Al-Qur’an dan hadis yang paten, membuat fikih menjadi hukum yang dianggap kaku dan tekstual, terlebih ketika menyangkut hukum amaliyah manusia. Fikih sering kali dianggap hukum yang sama kuat dan sakralnya dengan Al-Quran dan hadis. Pandangan ini membuat fikih menjadi tidak proporsional dan terkesan menjadi hukum yang tekstual dan statis, yang tidak mungkin bisa mengikuti perkembangan zaman. Penerapan hukum-hukum fikih juga sering kali mengabaikan konteks dan situasi yang berkembang, sehingga menghasilkan keputusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan.

Kasus–kasus Modern

Dahulu, Nabi pernah memperbolehkan khitan perempuan. Menurut sebagian ulama pun khitan perempuan disunahkan. Di dalam kitab Ad-durarul bahiyyah, Syekh Nuruddin Marbu Banjar mengatakan bahwa ulama sepakat bahwa khitan perempuan hukumnya sunah.

ختان المرأة مندوب عند أكثر الفقهاء

Artinya: “Khitan perempuan adalah anjuran (mandub) menurut mayoritas fuqaha”

Namun, dari segi kesehatan, khitan perempuan tidak dianjurkan karena berdampak pada kesehatan perempuan, seperti menyebabkan kista, pendarahan, dan gangguan dalam berhubungan seks. Melihat banyaknya mudarat, apakah khitan perempuan tetap layak dilegalkan karena mengacu pada konteks hukum fikih yang mensunahkannya?

Selain itu, hukum fikih yang mengatur sedemikian rupa praktek poligami juga menjadi perdebatan di zaman sekarang. Banyak yang menentang praktek poligami, tetapi juga lebih banyak yang melegalkannya, karena dinilai diperbolehkan oleh syariat dan disunahkan oleh Nabi. Menilik sejarahnya, hukum ini ada karena maraknya poligami yang dilakukan para raja-raja dan pemerintah kerajaan di Madinah pada zaman itu. Agar tetap bisa diatur dan terpantau dalam koridor syariat Islam, fikih mengatur dengan sedemikian rupa. Lalu, zaman sekarang apakah masih relevan untuk tetap mempertahankan praktek poligami tersebut?

Munculnya uang digital dan akad-akad jual beli modern pun tidak bisa kita abaikan perkembangannya. Mengklaim haram tidak menjadi solusi yang maslahah. Hukum fikih harus bisa merangkul akad-akad konvensional tersebut ke dalam koridor syariat Islam, walaupun secara konteks tidak tertera di dalam hukum fikih.

Meski demikian, fikih tetap menjadi rujukan hukum Islam yang eksis sampai sekarang. Mengingat bahwa Al-Quran dan hadis sudah berhenti berkembang, fikih Diharapkan memberikan solusi agar perubahan dan perkembangan masyarakat tetap dalam bimbingan syariat. Hal inilah yang menjadi tugas para ulama zaman sekarang untuk mengubah pandangan masyarakat umum untuk melihat fikih menjadi hukum yang kontekstual dan fleksibel mengikuti permasalahan-permasalahan zaman sekarang. Sehingga fikih tidak terkesan sebagai hukum yang ekstrem karena hanya berpusat pada wajib, sunah, haram, dan makruh saja, tanpa adanya jalan tengah untuk mendamaikan hukum tersebut dengan kondisi di masyarakat sekarang.

Fikih Memperhatikan Kondisi Sosial

Jika kita merenungkan lebih mendalam sejarah fikih pada zaman dahulu, akan terlihat bahwa sebenarnya fikih adalah hukum yang sangat memperhatikan kondisi sosial pada masa tersebut. Menurut Abdul Wahab khallaf, dalam sejarahnya di kitab ilmu ushul al fiqh, fikih terbagi menjadi tiga periode. Periode Rasulullah, periode sahabat, dan periode tabiin, tabiit tabiin dan para mujtahid. Ketiga periode ini mempunyai problematika sosial yang berbeda-beda dalam menentukan hukum dan memberikan fatwa, terutama pada masa imam mujtahid. Namun, ketetapan hukum periode sebelumnya tetap menjadi acuan dalam menetapkan hukum syara’ atas semua yurisprudensi Islam.

Selain itu, pada perkembangannya terdapat fikih Iraq dan fikih Madinah, bahkan muncul qaul qodim dan qaul jadid yang lahir dari Imam Syafi’i, dan muncul perbedaan pendapat di antara empat imam madzhab. Hal ini membuktikan bahwa faktor geografis dan sosial budaya memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap perkembangan fikih.

Dengan ini jelas bahwa perkembangan fikih tidak telepas dari dimensi kesakralan dan dimensi keduniawian. Fiqih tidak menjadi produk pemikiran yang liar, yang terlepas dari bimbingan wahyu. Tetapi, di sisi lain juga tidak menjadi produk pemikiran yang kehilangan watak elastisitasnya. Jika demikian, tidakkah sudah saatnya kita membuka ruang ijtihad baru untuk menjawab tantangan zaman?

Penulis: Putri Nadillah, Redaktur EM-YU.

 

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 73 kali

Baca Lainnya

Manajemen Waktu Santri dalam Perspektif Surah Al-‘Ashr

29 Juli 2025 - 12:26 WIB

Solo Traveling bagi Muslimah: Apakah Mahrom Masih Relevan?

15 Juli 2025 - 09:50 WIB

Sejarah Ilmu Pengetahuan: Dari Mitos Menuju Logos

1 Juli 2025 - 09:29 WIB

Liburan Produktif Ala Santri

24 Juni 2025 - 13:13 WIB

Siapakah Makhluk yang Paling Mulia di Sisi Allah?

17 Juni 2025 - 13:42 WIB

Sejarah dan Makna Mabit di Muzdalifah

10 Juni 2025 - 14:34 WIB

Trending di Opini Santri