Menjelang pertengahan bulan Februari biasanya banyak orang sedang sibuk membahas perayaan Valentine Day’s pada 14 Februari, atau yang biasa disebut hari Kasih Sayang. Di sini yang menjadikan miris yaitu terdapat fenomena para remaja usia SMP dan SMA yang terjaring kasus pelecehan seksual dan seks bebas. Selain itu, banyak momen ini dirayakan anak muda yang tidak jarang di dalamnya ada yang mengkonsumsi miras, berpacaran hingga seks bebas.
Mungkin dari beberapa cuplikan fenomena terebut dapat menyentak benak kita akan sebuah dilema terkait apa yang dimaksud dengan Valentine Day’s? Serta bagaimana sejarah perayaan hari tersebut? Dalam tulisan ini, saya akan menjelaskan terkait dengan hal tersebut, meliputi sejarah dan latar belakang perayaan Hari Valentine. Menurut beberapa redaksi yang saya baca, Valentine Day’s mempunyai beberapa versi, namun yang paling populer, perayaan tersebut hadir sebegai bentuk pengenangan tokoh pendeta yaitu St. Valentines yang hidup di Roma pada abad ke-3.
Dikisahkan bahwa ia hidup di kerajaan yang pada masa itu dipimpin oleh Raja Claudius 2 yang terkenal sebagai diktator. Sebagai raja ia mempunyai ambisi untuk mengumpulkan pasukan militer dalam jumlah yang banyak. Namu,n ambisinya tersebut tidak tersampaikan karena banyak dari para rakyaktnya menolak untuk ikut wajib militer dengan dalih tidak ingin mengalami perpisahan dengan kekasihnya yang dicintai.
Ambisi raja yang tidak kunjung terwujudkan pun membuatnya marah, sehingga terbesit dalam benaknya untuk merekrut anggota militer. Ia harus melarang laki-laki dan perempuan menikah dengan kekasihnya. St.Valentines pun menolak kebijakan raja tersebut, secara diam-diam ia menikah dengan pasangannya yang saat itu sedang jatuh cinta.
Singkat cerita pendeta tersebut tertangkap dan akhirnya ditahan oleh raja lalu dipenjara hingga wafatnya. Akan tetapi, atas tindakannya tersebut ia malah mendapatkan apresiasi dari masyarakat di sana. Akhirnya dirayakanlah Valentine Day’s setiap tanggal 14 Februari sebagai bentuk penghormatan kepadanya.
Di berbagai negara mungkin memiliki versinya masing-masing, meskipun berbeda dalam pemaknaan hari tersebut. Valentine Day’s hingga saat semakin marak dirayakan yang tentunya tidak terlepas dari fenomena globalisasi, ditambah digitalisasi yang semakin membuat dunia informasi bisa kita akses kapanpun dan di manapun.
Valentine Day’s sebenarnya bukanlah budaya asli Indonesia. Hal tersebut merupakan budaya asing yang kemudian masuk karena dampak globalisasi dan diterima oleh masyarakat luas. Dengan adanya digitalisasi, berbagai kemudahan dalam mengakses informasi telah membuat banyak pihak kewalahan dan bingung dalam memfilter informasi tersebut. Sehingga budaya asing seperti Valentine Day’s yang belum tentu sesuai dan layak untuk diterapkan di negara kita bisa masuk, bahkan mencederai ideologi dan moral kita.
Terdapat banyak bentuk perayaan hari Valentine, paling sederhana biasanya berupa bertukar hadiah, pergaulan bebas para pemuda, pesta, pacaran, bahkan puncaknya yaitu praktek perzinaan. Dijelaskan dalam sebuah hadis yang artinya “Tidak seseorang laki-laki yang berkhalwat (menenyendiri) dengan perempuan kecuali ketiganya adalah setan”(HR. At-Tirmizdi). Berdasarkan hadits tersebut, dapat kita pahami bahwa dalam agama Islam, sangat ketat dalam mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Bahkan jika kita lebih kritisi lagi, sebagaimana penjelasan di awal bahwa Valentine Day’s bukan lain adalah sebagai bentuk penghormatan tokoh pendeta St. Valentines, lantas bagaimana dengan muslim yang merayakan acara tersebut?
Melansir artikel NU Online yang tayang 13 Februari 2008, Ketua Komsis Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) K.H. Ma’ruf Amin menegaskan bahwa perayaan Valentine Day termasuk haram karena menimbang berbagai dampak negatif yang ditimbulknan. Bahkan dalam kalender gerejawi sendiri acara tersebut resmi dihapus pada tahun 1969 M melihat dampak negatifnya dan dianggap sebagai acara keagamaan yang tidak begitu jelas orientasinya. Alangkah baiknya kita sebagai umat muslim untuk tidak ikut-ikutan tradisi tersebut melihat banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan. Wallahu a’lam.
Oleh: Izza Ajib Sulthoni, Santri Mansajul Ulum.