Dari masa ke masa, kalangan masyarakat pesantren menjadikan kitab kuning sebagai pegangan dan referensi dalam berpikir dan berperilaku. Pada dimensi lain, kitab kuning juga dianggap sebagai sesuatu yang sakral karena ditulis oleh para ulama dengan kecakapan ganda, yaitu kapasitas keilmuan yang tinggi dan hati bersih yang tersinari cahaya Tuhan.
Di sisi lain dalam dinamika kehidupan, terkadang muncul paham-paham radikal dan terorisme yang mengatas namakan agama, hal ini berpotensi mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara, juga tidak menutup kemungkinan dapat merusak kehidupan rumah tangga dan masa depan anak muda. Sehingga untuk mengkounter paham-paham tersebut, masyarakat pesantren dituntut untuk mengaktualisasikan kitab kuningnya. Karena pada dasarnya kitab kuning adalah manifestasi dari ajaran-ajaran Islam yang rahmatan lil alamain.
Istilah “kitab kuning” sendiri pada awalnya muncul di kalangan luar pesantren. Sekitar dua dasawarsa silam, pada saat itu, kitab kuning masih dianggap sebagai sesuatu yang berkadar rendah dan ketinggalan zaman. Sementara pengertian kitab kuning adalah kitab-kitab berbahasa Arab atau berhuruf Arab sebagai produk pemikiran para ulama pada masa lampau yang ditulis dengan format khas pra modern sebelum abad ke-17 masehi.
Kitab kuning mempunyai bentuk fisik yang khas, yaitu dalam satu halaman terdapat dua bagian, yakni matan (teks asal) dan syarh (komentar, teks penjelas atas matan). Biasanya, matan selalu diletakkan di pinggir (baik sebelah kanan, kiri, dan juga atas). Sementara syarh diletakkan di tengah halaman. Hal ini karena teks syarah lebih panjang dan banyak. Selain itu, kitab kuning tidak dijilid secara total, seperti halnya buku pada umumnya. Melainkan hanya dilipat pada setiap kelompok halaman. Model seperti ini populer dengan istilah “kurasan”.
Kitab Kuning juga merupakan faktor penting yang menjadi karakteristik dari subkultur yang begitu mengakar di salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Sampai saat ini, kitab kuning masih memberikan kontribusi penting di bidang sosial keagamaan. Selain itu, dalam mempelajari kitab kuning memiliki metode yang khas dan sudah turun-temurun dan dikenal di lingkungan pesantren dengan istilah sorogan dan bandongan. Sorogan biasanya santri membaca kitab kuning di hadapan Sang Kiai dan Kiai secara langsung menyaksikan keabsahan santri dalam membaca baik dari segi makna maupun bahasa (nahwu dan shorof). Sedangkan Bandongan yaitu santri secara seksama mendengarkan bacaan dan penjelasan sang Kiai sambil masing-masing memberi catatan pada kitabnya. Catatan yang diberikan pada kita bisa berupa syakl, ma’na, mufrodat, atau penjelasan. Di pondok pesantren salaf, memiliki cara membaca tersendiri yang dikenal dengan cara utawi-iki-iku. Sebuah cara dengan pendekatan grammar (nahwu dan sharaf) yang ketat. Yakni pola belajar di mana santri bisa mengetahui makna, kedudukan, dan fungsi masing-masing kalimat.
Selain menjadi pedoman dalam beragama. Kitab kuning juga difungsikan sebagai referensi nilai kehidupan dalam menyikapi segala tantangan kehidupan. Di sini terdapat hal yang menarik untuk diamati, yaitu mengapa harus kitab kuning yang dijadikan sebagai referensi, bukankah semestinya Al-Qur’an dan Al-Hadits yang menjadi referensi?
Perlu kita pahami bahwa, kitab kuning adalah sebuah perantara untuk memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ketika ada yang mengatakan bahwa kitab kuning adalah bid’ah (perbuatan yang belum pernah dilakukan oleh nabi Muhammad- ajaran yang tidak menutup kemungkinan terdapat kesalahan karena dikarang oleh para ulama’). Sebenarnya mereka itu lupa, bahwa kitab kuning telah menjaga keotentikan Al-Qur’an dan Al-Hadits selama berabad-abad lamanya. Tidak mungkin tanpa melalui perantara para ulama tersebut, Al-Qur’an dan Al-Hadits masih tetap terjaga setelah ditinggalkan oleh Rasulullah bertahun-tahun lamanya.
Telah menjadi konsensus bersama bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum pertama dalam agama Islam. Akan tetapi, untuk memahami kandungan hukum yang dibawakan oleh Al-Qur’an, kita tidak dapat membaca secara tekstualis ataupun terjemahan. Melainkan untuk menggali sebuah hukum, kita harus menggunakan pendekatan ushul fiqh. Dengan demikian, ushul fiqh akan menjadi wasilah untuk mendapatkan sebuah produk hukum. Kemudian produk hukum tersebut dikemas oleh para ulama ke dalam beberapa karangan kitab. Kitab inilah yang sampai saat ini sampai pada kalangan pesantren yang berisikan hukum-hukum yang siap digunakan.
Contoh yang dapat kita ketahui bahwa kitab kuning merupakan perantara untuk kita bisa memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits. Seperti dalam Surah Al-Baqarah ayat 43 yang berbunyi:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Pada ayat tersebut, Allah memerintahkan untuk kita melaksanakan sholat dengan kalimat أَقِيمُوا, kalimat ini apabila ditinjau dari aspek shorof merupakan kalimat fi’il amar yang menunjukkan arti perintah. Sedangkan dalam kajian ushul fiqh terdapat sebuah kaidah yang mengatakan al ashlu fil amar lil wujub. Pada dasarnya amr itu menunjukkan wajib, kecuali ada petunjuk yang menunjukkan arti selain wajib. Dari ayat tersebut kita dapat memahami bahwa, perintah kewajiban sholat dijelaskan dalam Al-Qur’an menggunakan shighot fi’il amar, tidak menggunakan kalimat yang langsung menunjukkan arti wajib seperti lafad يجب. Akan tetapi, kaidah tersebut tidak dapat dipukul rata ke semua ayat yang ber-sighot amr. Terdapat ayat shighot amr, namun hal tersebut tidak menunjukkan hukum wajib pada kita. Seperti dalam Surah Al-Baqarah ayat 60
كُلُوْا وَاشْرَبُوْا
Artinya: “Makanlah dan minumlah kalian.” (QS. Al-Baqarah: 60)
Pada ayat tersebut jika kita lihat juga sama memakai shighot amr. Akan tetapi ayat tersebut tidak menunjukkan hukum wajibnya makan dan minum. Melainkan hukum makan dan minum adalah boleh atau mubah. Dengan demikian, sebuah hukum yang belum dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits nantinya akan muncul melalui istinbatul ahkam (penggalian hukum) para ulama’. Kita tidak boleh salah paham kalau hukum tersebut adalah hukum yang dibuat oleh ulama sendiri karena tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Perlu dipahami bahwa ulama merupakan pewaris para nabi, para ulama’ mencoba menggali makna tersurat ataupun tersirat di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk menjawab segala permasalahan yang baru bermunculan yang mana permasalahan tersebut belum ada pada zaman Rasulullah. Dan hukum yang telah ditemukan oleh para ulama’ dari penggalian tersebut akhirnya dituliskan yang dalam kalangan pesantren lebih dikenal dengan sebutan kitab kuning. Wallau ‘alam.
Oleh: Muhammad Izza ‘Ajib Sulthoniy, Santri Mansajul Ulum