Menu

Mode Gelap

Opini Santri · 6 Agu 2024 15:31 WIB ·

Menerima Takdir yang Ditetapkan


 Sumber: id.pinterest.com Perbesar

Sumber: id.pinterest.com

Takdir Allah berjalan sungguh rahasia. Tugas kita sebagai makhluk-Nya adalah menerima dengan lapang disertai dengan menanamkan pemahaman bahwa takdir-Nya lah yang terbaik untuk kita. Para ulama’ sufi telah mengajarkan kita mengenai pemahaman tersebut melalui kitab-kitab tasawufnya. Seperti Imam Ghazali dengan Ihya’ ulumuddin sebagai masterpiecenya dalam bidang tasawuf, disusul Minhaj al-A’bidin yang merupakan replika dari Ihya’ itu sendiri.

Sudut Pandang Akan Takdir

Dalam ilmu tauhid, takdir adalah istilah yang merujuk pada qadla’ atau keputusan Allah yang tertulis di lauh al-mahfudz sejak sebelum dunia tercipta. Sebagaimana firman Allah:

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِى كِتَٰبٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ

Artinya: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS Al-Hadid: 22).

Takdir sendiri ada dua macam, yaitu takdir muallaq atau takdir yang dapat diubah melalui ikhtiar, serta takdir mubram yang tidak bisa diubah melalui ikhtiar. Dalam kalam-Nya yang diwahyukan pada khotamul anbiya’ yakni Rosululah, Allah berfirman agar hambanya bersabar atas takdir yang telah digariskan untuknya. Takdir Allah mengandung berbagai peristiwa, baik kebahagiaan, keadilan, keberuntungan, bahkan cobaan.

Cobaan yang diberikan kepada makhluknya ini berdasar pada kemampuan hamba yang Allah uji. Tidaklah diuji seorang hamba melainkan karena dia mampu atas cobaan yang dialami. Sebagaimana firman Allah:

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْۗ

Yang artinya: “Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya.” (QS. Al-Baqarah: 286).

Berdasarkan ayat di atas, ketika manusia sedang diberi cobaan maka ia haruslah bersabar, tetap berusaha, dan tidak lupa berdoa. Semua itu dilakukan disertai dengan kepasrahan (tawakkal) hati kepada Allah. Seperti kita tau bahwa Allah akan menguji sesuai dengan kadar kemampuan kita masing-masing.

Namun, melihat keadaan sesungguhnya di masyarakat umum sering kita menjumpai seseorang menceritakan masalahnya atau istilah sekarang curhat kepada yang lain dengan niat untuk mendapat solusi atau sekedar melegakan hati. Bukannya solusi yang didapat, terkadang malah menjadi adu nasib. Niat ingin meringankan beban, malah membuat emosi dan semakin lelah. Terjadinya adu nasib ini disebabkan kurangnya pemahaman kita atas maksud dari cobaan yang Allah berikan pada kita, apa hikmah dari cobaan yang Allah beri dan bagaimana cara Allah menguji hamba yang Allah sayangi.

Ketika kita selalu positif thinking atas takdir Allah dan memahami cara kerja takdir Allah, kita tidak akan gampang mengeluh, hidup tidak terasa berat, dan kita bisa tetap asik menjalani hidup. Karena kita telah mengetahui dengan baik bahwa Allah memberi hambanya cobaan sesuai kemampuan hamba-Nya. Karena pada hakikatnya, Allah mengetahui yang terbaik bagi semua makhluknya. Sebagaimana firman-Nya yang berbunyi :

إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

Artinya: “Allah mengetahui segala sesuatu atas ciptaan-Nya.” (QS. Al Anfal: 78).

Namun, akan menjadi berbeda bila kita tidak memahami cara kerja takdir dan tidak memahami bahwa yang Allah takdirkan adalah terbaik untuk kita. Kita menjadi manusia yang penuh pikiran negatif dan prasangka buruk. Jadi sering mengeluh karena hidup terasa semakin berat. Masalah terasa tidak selesai-selesai. Kita akan menjadi pribadi yang berpikiran sempit.

Bagaimana Membenahi  Pemahaman Tentang Takdir?

Perubahan membutuhkan waktu dan kontinuitas atau keistiqomahan. Namun, pondasi dasar dalam perubahan adalah keyakinan diri disertai semangat untuk berubah. Untuk memahami hikmah atas takdir Allah bisa dilakukan dengan mengetahui kebesaran Allah. Oleh karena itu kita harus tadabbur atas kuasa Allah.

Telah Allah tunjukan kebesaran kekuasan-Nya di sekeliling kita yang bisa kita jumpai dengan mudah. Bahkan dalam hal yang paling kecil sekalipun. Salah satunya adalah diri sendiri. Bukti kebesaran Allah pun bisa dilihat dengan menilik masa lalu, melihat rekam jejak bagaimana kuasa Allah atas peristiwa-peristiwa yang telah kita lalui, lalu kita ambil hikmahnya. Tadabbur ini harus dibarengi dengan memahami kalamnya, yang salah satunya ditekankan berkali-kali bahwa Allah Maha Mengetahui aps yang terbaik untuk hamba-Nya.

 اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

Artinya: “Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. An-nisa’:11).

Menghadapi cobaan Allah tidak cukup dengan berusaha dan tawakkal, harus ada hati yang sabar dalam menjalaninya. Kesabaran adalah salah satu kunci sekaligus merupakan salah satu elemen penting dalam memahami kehidupan di dunia ini. Di samping itu Allah juga senantiasa bersama orang-orang yang sabar.

Dengan tadabbur, kita akhirnya bisa mengetahui betapa baiknya Allah kepada kita. Kita jadi lebih bisa memahami memahami betapa luar biasanya ketetapan Allah yang dianugerahkan kepada seluruh makhluknya. Dari situ kita pun akan menemukan hikmah atas peristiwa yang telah terjadi di hidup kita. Hal ini, akan membawa kita pada kelapangan hati. Lapangnya hati dan selalu bersabar, ditambah pemahaman yang baik atas takdir Allah perlahan membawa kita untuk mendapatkan hati yang jernih. Terakhir, permasalahan hidup merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjalanan hidup. Dengan memahami takdir Allah dengan baik, hati kita akan terasa lebih ringan, lebih lapang. Kitapun menjadi lebih tenang dalam mengahadapi apapun. Terlebih kita menjadi manusia yang mudah bersyukur atas segala yang telah Allah beri.

الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ ونعمة

“Segala puji bagi Tuhan atas segala keadaan dan keberkahannya.”

Oleh: Nuzulina Nurul Ulya, Santri Mansajul Ulum.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 101 kali

Baca Lainnya

Pentingnya Nilai Moral dalam Pendidikan

17 September 2024 - 19:46 WIB

Cantik dari Dalam atau Cantik dari Luar?

10 September 2024 - 19:03 WIB

Peran Negara Lain dalam Kemerdekaan Indonesia di Kancah Internasional

3 September 2024 - 10:47 WIB

Gotong Royong dalam Perspektif Islam

27 Agustus 2024 - 11:19 WIB

Pondok Pesantren: Konsep, Sejarah dan Urgensinya

20 Agustus 2024 - 16:51 WIB

Jangan Berteman dengan Rokok!

13 Agustus 2024 - 08:49 WIB

Trending di Opini Santri