Menu

Mode Gelap

Opini Santri · 23 Sep 2025 12:17 WIB ·

Menjadi Santri di Era FOMO: Pelan, Tapi Pasti


 Menjadi Santri di Era FOMO: Pelan, Tapi Pasti Perbesar

Di era media sosial yang begitu cepat menyebarkan informasi, banyak dari kita yang tanpa sadar terjebak dalam satu fenomena psikologis bernama FOMO (Fear of Missing Out) , atau rasa takut tertinggal. FOMO bukan hanya soal iri terhadap kesuksesan orang lain, tetapi juga muncul sebagai kegelisahan saat melihat orang lain tampak lebih aktif, lebih sukses, atau lebih diakui secara sosial.

FOMO di Kalangan Santri

Fenomena ini ternyata juga dialami oleh banyak santri mahasiswa, yaitu mereka yang memilih jalan ganda yaitu menuntut ilmu agama di pesantren sekaligus menempuh pendidikan formal di perguruan tinggi. Dua jalur ini sama-sama mulia, tetapi juga penuh tuntutan. Di tengah perjalanan itu, tidak sedikit santri yang mulai merasa, Apakah aku tertinggal dari yang lain.

Menjadi santri mahasiswa berarti hidup dalam dua dunia yang berbeda. Dunia pesantren penuh dengan disiplin, jadwal pengajian, setoran hafalan, dan tanggung jawab adab. Sementara dunia kampus menuntut keterbukaan, partisipasi aktif dalam organisasi, produktivitas akademik, hingga kecepatan mengikuti berbagai tren pengetahuan dan pergaulan.

Keduanya tidak salah. Bahkan, keduanya saling melengkapi. Namun, di tengah menjalankan dua peran besar ini, sering kali muncul kegelisahan batin. Ketika melihat teman kuliah sudah aktif menjadi pemateri seminar, sementara dirinya masih berkutat dengan hafalan Nadzam. Atau ketika teman lama sudah viral dengan personal brandingnya, sedangkan ia masih harus izin keluar pondok untuk mengerjakan tugas kelompok.

Perasaan itu semakin nyata ketika disandingkan dengan algoritma media sosial yang menyajikan kehidupan orang lain secara cepat dan penuh prestasi. Akhirnya, muncul perasaan bahwa dirinya tidak cukup baik, tidak cukup aktif, tidak cukup “menarik”. Di situlah FOMO mulai bekerja diam-diam, menggerogoti kepercayaan diri seseorang.

Perasaan takut tertinggal sebenarnya wajar. Ia adalah bagian dari naluri manusia yang ingin merasa diterima dan diakui. Namun, ketika perasaan itu tumbuh tanpa disertai kesadaran yang benar, ia akan berubah menjadi racun psikologis. Santri yang sebelumnya semangat menuntut ilmu bisa tiba-tiba menjadi gelisah, tidak puas dengan proses yang sedang dijalaninya, bahkan merasa gagal karena belum seperti orang lain.

Sayangnya, banyak dari rasa FOMO itu muncul karena perbandingan yang tidak seimbang. Kita membandingkan kehidupan kita yang utuh (dengan segala kesulitan dan perjuangannya) dengan cuplikan kesuksesan orang lain di media sosial. Padahal, tidak semua yang tampak hebat di luar, benar-benar tenang dan matang di dalam. Banyak juga yang hanya terlihat berhasil karena cerdas mengatur pencitraan.

Mengelola FOMO dengan Bijak

FOMO tidak harus dihindari seutuhnya, karena ia bisa menjadi alarm yang menyadarkan kita untuk lebih produktif. Namun, FOMO perlu dikelola dengan bijak agar tidak berubah menjadi tekanan batin.

Langkah pertama adalah menyadari bahwa setiap orang memiliki waktunya masing-masing. Tidak semua harus sukses di usia 20-an. Tidak semua orang harus dikenal banyak orang untuk bisa bermanfaat. Ada yang baru bersinar setelah bertahun-tahun berada di balik layar.

Kedua, penting bagi santri untuk menghargai perannya sendiri. Menjadi santri sekaligus mahasiswa bukan perkara mudah. Itu adalah kombinasi tanggung jawab besar yang hanya bisa dijalani oleh mereka yang sabar, istiqamah, dan memiliki niat yang lurus. Ilmu yang dipelajari di pesantren tidak kalah pentingnya dari prestasi akademik kampus.

Ketiga, membatasi konsumsi media sosial secara bijak. Tidak semua yang viral harus diikuti. Tidak semua yang trend itu cocok dengan nilai kehidupan santri. Fokus pada proses, bukan pada sorotan. Mungkin hari ini kita tidak dikenal, tapi esok hari, ilmu yang kita pelajari dengan sungguh-sungguh akan membawa manfaat yang tak terduga.

Menjadi santri di zaman digital memang menantang. Tapi justru di situlah nilai perjuangan kita diuji. Di tengah dunia yang sibuk mencari eksistensi, santri dituntut untuk menjaga keseimbangan antara pengakuan manusia dan keridaan Allah.

FOMO memang membuat banyak orang ingin cepat berhasil, cepat dikenal, cepat sampai tujuan. Tapi santri diajarkan untuk berjalan pelan namun pasti. Menanam nilai, bukan sekadar nama. Menjaga ilmu, bukan hanya mengejar gelar. Karena pada akhirnya, keberhasilan bukanlah soal siapa yang lebih cepat atau lebih terkenal, tetapi siapa yang lebih istiqamah dan bermanfaat.

Penulis: Yulia Selviana, Santri Mansajul Ulum sekaligus Mahasiswa IPMAFA Pati.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 75 kali

Baca Lainnya

Membaca: Obat Penawar Alzheimer

16 September 2025 - 14:15 WIB

Penyakit Hati: Penghalang Tugas Manusia

9 September 2025 - 12:58 WIB

Santri Melek Politik: Perlu atau Tabu?

2 September 2025 - 10:36 WIB

Begadang: Antara Hikmah dan Resiko Medis

26 Agustus 2025 - 13:36 WIB

Alam dan Jiwa: Tempat Sunyi yang Membisikkan Makna Hidup

19 Agustus 2025 - 11:09 WIB

Role Model, Pentingkah bagi Generasi Muda?

12 Agustus 2025 - 09:36 WIB

Trending di Opini Santri