Menu

Mode Gelap

Opini Santri · 9 Des 2025 13:10 WIB ·

People Pleaser dan Krisis Identitas


 People Pleaser dan Krisis Identitas Perbesar

Pernahkah kamu merasa lelah karena selalu berusaha membuat semua orang senang? Banyak dari kita tanpa sadar terjebak dalam kebiasaan menjadi people pleaser—seseorang yang rela mengorbankan waktu, tenaga, bahkan kebahagiaan pribadi demi memenuhi harapan orang lain. Di balik citra ramah dan penuh perhatian, tersimpan pergulatan batin yang sering diabaikan; hilangnya batasan diri. Fenomena ini semakin marak di tengah budaya yang kerap mengukur nilai seseorang dari seberapa bergunanya ia bagi orang lain.

Menjadi orang yang peduli dan membantu tentu sifat yang baik. Namun, ketika keinginan untuk menyenangkan orang lain mengalahkan kebutuhan pribadi, kita justru kehilangan kendali atas diri sendiri. People pleaser sering kali tidak tahu cara berkata “tidak”, sehingga waktu dan energi mereka terkuras untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Akibatnya, mereka kerap merasa kelelahan, cemas, dan tidak dihargai, meski di mata orang lain tampak selalu siap membantu.

Masalah ini berakar pada krisis batasan diri. Banyak orang takut ditolak, tidak ingin dicap egois, atau terbiasa mencari validasi dari luar. Mereka membiarkan diri “terbuka” untuk semua orang tanpa menyadari bahwa tidak semua permintaan perlu dipenuhi. Padahal, batasan diri bukanlah tanda ketidakpedulian, melainkan bentuk penghargaan terhadap diri sendiri. Dengan batasan yang sehat, kita bisa menolong orang lain tanpa mengorbankan kesehatan mental dan keseimbangan hidup.

Menurut saya, menjadi baik hati tidak harus berarti selalu berkata “ya”. Justru keberanian untuk menolak dengan cara yang sopan menunjukkan kedewasaan emosional dan penghormatan terhadap diri sendiri. Membantu orang lain akan terasa tulus ketika kita juga menjaga kesejahteraan diri. Tidak ada yang salah dengan peduli pada orang lain, tetapi perhatian pada diri sendiri adalah fondasi agar kita tetap mampu memberi dengan ikhlas.

Sikap ini, meskipun tampak positif, sering menjerumuskan pada krisis batasan diri. Mereka yang terjebak dalam perilaku ini sulit menolak permintaan orang lain karena takut ditolak, tak ingin dicap egois, atau terbiasa mencari validasi dari luar. Akibatnya, waktu, energi, bahkan kesehatan mental ikut terkuras. Batasan diri bukan berarti tidak peduli. Sebaliknya, dengan memiliki batasan yang sehat, kita bisa tetap menolong orang lain tanpa mengorbankan diri. Mengatakan “tidak” dengan cara yang baik adalah tanda kedewasaan emosional dan penghormatan terhadap diri sendiri.

Menjadi sosok yang peduli dan siap membantu memang terdengar mulia. Namun, Ketika sikap ini berubah menjadi kewajiban untuk selalu memuaskan semua orang, hal tersebut justru menjadi beban. Seorang people pleaser sering kali merasa sulit berkata “tidak”, meskipun permintaan yang datang sudah jelas melewati batas kemampuannya. Mereka memaksakan diri karena takut mengecewakan, tidak ingin dicap egois, atau merasa harga diri mereka hanya diukur dari seberapa banyak orang lain menyukai mereka.

Perilaku ini tidak muncul begitu saja. Banyak orang tumbuh dalam lingkungan yang menanamkan keyakinan bahwa cinta dan penerimaan harus “diperoleh” dengan cara berkorban atau memprioritaskan orang lain. Pola pikir ini akhirnya melekat hingga dewasa, membuat seseorang merasa bersalah jika menolak atau menegaskan batasannya. Di sisi lain, budaya sosial yang menilai kebaikan seseorang dari pengorbanannya ikut memperkuat sikap ini, seolah “menjadi baik” berarti selalu mengalah.

Masalahnya, kebiasaan ini perlahan mengikis identitas diri. People pleaser kehilangan kendali atas waktu, energi, bahkan emosinya. Mereka hidup berdasarkan ekspektasi orang lain, bukan kebutuhan dan nilai yang mereka yakini sendiri. Akibatnya, rasa lelah, stres, hingga kecemasan menjadi hal yang lumrah dialami. Ironisnya, meski terus berusaha menyenangkan semua orang, mereka justru sering merasa tidak dihargai.

Krisis batasan diri ini tidak hanya mempengaruhi kesehatan mental, tetapi juga kualitas hubungan sosial. Hubungan yang dibangun tanpa kejujuran dan batasan sehat akan terasa berat sebelah. Orang yang terbiasa selalu berkata “ya” bisa merasa terjebak dan kesal, sementara orang-orang di sekitar mereka mungkin tidak menyadari beban yang ditanggung. Alih-alih menciptakan kedekatan, sikap ini justru memicu ketidakpuasan dan jarak emosional.

Menurut saya, menjadi people pleaser bukanlah sifat yang sepenuhnya salah. Peduli pada orang lain, menolong, dan bersikap ramah adalah kualitas yang patut dihargai. Namun, ketika perhatian dan bantuan itu membuat seseorang kehilangan kendali atas hidupnya sendiri, hal ini justru menjadi masalah serius. Menyenangkan semua orang tidak boleh menjadi tujuan utama hidup; kebahagiaan dan keseimbangan sejati muncul ketika seseorang mampu mengenali dan menjaga batasan diri.

Pada akhirnya, menjadi people pleaser bukan sekadar masalah perilaku, tetapi cerminan krisis batasan diri yang sering tidak disadari. Menyenangkan orang lain memang wajar dan bahkan bisa membuat hubungan sosial menjadi harmonis, tetapi ketika hal itu mengorbankan waktu, energi, dan kebahagiaan pribadi, konsekuensinya bisa sangat besar. Kehidupan yang sepenuhnya diatur oleh ekspektasi orang lain membuat seseorang kehilangan jati diri, kepercayaan diri, dan bahkan arah hidupnya sendiri.

Saya percaya bahwa keberanian untuk berkata “tidak” adalah langkah penting untuk menemukan keseimbangan hidup. Menjadi baik hati bukan berarti selalu menuruti keinginan orang lain, tetapi mampu menolong dengan tulus sambil tetap menjaga diri sendiri. Proses ini memang tidak mudah—sering kali menimbulkan rasa bersalah, cemas, atau ketakutan ditolak—tetapi seiring waktu, belajar menegaskan batasan akan meningkatkan rasa percaya diri, kebebasan emosional, dan kualitas hidup secara keseluruhan.

Pada titik tertentu, setiap orang perlu menyadari bahwa hidup tidak melulu tentang menyenangkan semua orang. Kadang, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah menyenangkan diri sendiri terlebih dahulu. Ketika kita mampu menyeimbangkan perhatian pada orang lain dan penghargaan terhadap diri sendiri, kita tidak hanya hidup lebih bahagia dan sehat, tetapi juga lebih mampu memberikan kontribusi positif bagi orang di sekitar kita. Dengan kata lain, menjaga batasan diri bukanlah tanda kelemahan, melainkan pondasi untuk hidup yang lebih bermakna dan hubungan sosial yang lebih sejati.

Penulis: Tasya Anwar Aliyah, Santri Mansajul Ulum.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 42 kali

Baca Lainnya

Begadang: Antara Risiko dan ‎Keutamaan

2 Desember 2025 - 14:12 WIB

Hukum Membasuh Jambang Saat Wudu

25 November 2025 - 14:03 WIB

Pesantren dan Tantangan Modernitas

18 November 2025 - 17:29 WIB

Hak dan Kewajiban: Dua Sisi Mata Uang untuk Keadilan Sosial

11 November 2025 - 13:43 WIB

AI dalam Pendidikan Indonesia: Sebuah Tools Development atau Alat Manipulasi?

4 November 2025 - 13:51 WIB

Melewati Zaman, Menjaga Iman: Menyelaraskan Dunia dan Akhirat

28 Oktober 2025 - 13:00 WIB

Trending di Opini Santri