Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat, atau dikenal dengan Raden Ayu Kartini, lahir di tengah-tengah keluarga yang berasal dari kalangan priyayi atau bangsawan Jawa. Karena itulah ia memperoleh gelar R.A (Raden Ajeng) di depan namanya. Gelar ini digunakan sebelum ia menikah. Setelah menikah, sesuai tradisi Jawa, gelarnya berganti menjadi Raden Ayu.
Jepara telah menjadi saksi nyata atas kelahirannya pada tanggal 22 April 1879. Meski lahir dan dibesarkan sebagai seorang ningrat Jawa, Kartini tidak menjadikan tembok keraton sebagai jeruji yang membatasi dirinya. Justru, ia melangkah lebih maju untuk menjadi jembatan yang menghubungkan dua dunia yang timpang: kaum bangsawan dan rakyat biasa. Hal ini ia lakukan melalui berbagai pemikiran, baik tentang pendidikan, kebebasan dalam berpikir, maupun hak untuk bermimpi.
Baginya, menjadi ningrat sejati bukan soal darah atau gelar, tetapi tentang adab, kepedulian, dan keberanian untuk memperjuangkan perubahan. Ia ingin seorang bangsawan tidak sekadar dihormati karena statusnya, tetapi karena pengabdiannya kepada masyarakat. Menurut Kartini, bahwa kemuliaan perempuan bukan berarti melawan laki-laki atau tatanan yang ada, tetapi memperjuangkan harkat sebagai manusia seutuhnya. Seperti yang ia tuliskan dalam suratnya kepada Ny. Abendanon, “Saya ingin melihat perempuan mempunyai kemerdekaan, bukan untuk melawan laki-laki, tetapi untuk menjadi manusia yang utuh.” Kutipan ini menegaskan bahwa perjuangan Kartini adalah tentang kemanusiaan, bukan pertentangan gender.
Meskipun tidak banyak keluar rumah, R.A. Kartini tetap membuka jendela dunianya. Ia menjalin korespondensi dengan sahabat-sahabatnya di Belanda, menjadi sarana untuk memperluas wawasan dan menyerap gagasan dunia luar. Keterampilannya dalam berbahasa Belanda memungkinkannya mengakses berbagai informasi, termasuk pemikiran perempuan Eropa yang ia temui dalam bacaan seperti koran, majalah, dan buku.
Dalam suratnya ia pernah menulis “Alangkah besar bedanya antara gadis-gadis Eropa dengan gadis-gadis kami! Betapa terbukanya pikiran mereka, betapa bebas dan merdeka mereka!” (Surat kepada Ny. Abendanon, 25 Mei 1899). Dari situ, ia mulai menyadari adanya kesenjangan besar antara perempuan pribumi dan perempuan Eropa, baik dalam hal pendidikan maupun peran sosial. Kesadaran inilah yang mendorong Kartini untuk memikirkan cara agar perempuan di tanah air bisa maju dan memperoleh hak yang setara.
Kartini juga menyaksikan banyak perempuan yang terkungkung oleh tradisi, tak berpendidikan, dan tak diberi ruang untuk berkembang. Ia geram melihat kenyataan tersebut. Baginya, perubahan besar harus dimulai dari pemberdayaan nyata. Salah satu langkah konkritnya adalah mendirikan sekolah perempuan di Jepara, tentunya dengan dukungan dari keluarganya.
Di era modern ini, menjadi “Kartini” berarti tetap membumi dalam segala pencapaian. Menjadi cerdas, berpendidikan, bahkan terpandang. Namun, tetap peduli untuk membela yang lemah, dan hadir untuk masyarakat. Karena sejatinya, kemuliaan seorang perempuan bukan hanya diukur dari gelar atau status, tetapi dari seberapa besar hatinya untuk berbagi dan menginspirasi.
Hari Kartini bukan hanya sekadar ‘mengenang’ sosok perempuan hebat dalam sejarah bangsa, tetapi sebagai refleksi atas perjuangannya yang belum usai. Masih banyak perempuan yang terhalang pendidikan, terkurung budaya patriarki, dan tak bebas menentukan masa depan. Kartini telah menyalakan lilin dalam gelap. Mau jadi siapapun kita, dan apapun peran kita, tugas kita adalah menjaganya agar tetap menyala.
Referensi:
Kartini, R.A. Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta: Balai Pustaka, 2008/1945
Marihandono, D., Khozin, N., Arbaningsih, D., & Tangkilisan, Y. B. Sisi Lain Kartini. Museum Kebangkitan Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Suheila, E. L. Biografi R.A. Kartini: Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku Cerita Ulang Tokoh.
Surat-surat Kartini kepada Ny. Abendanon, dikutip dalam Door Duisternis tot Licht.
Penulis: Fika Nurun Tajalla, Santri Mansajul Ulum.