Saat ini, permasalahan kerusakan lingkungan telah terjadi di mana-mana. Secara umum, penyebab kerusakan lingkungan dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: faktor alam, dan faktor ulah manusia. Kerusakan lingkungan sangat berdampak bagi kehidupan manusia. Baik dari aspek ekonomi, sosial, pendidikan, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. Karena pada dasarnya kehidupan manusia selalu bergantung pada alam atau lingkungan.
Melansir website bpdb, contoh bukti nyata bahwa kerusakan lingkungan telah terjadi di Indonesia adalah kebakaran hutan, pencemaran sungai, pemanasan global, tanah longsor, dan banjir. Dengan demikian, permasalahan kerusakan lingkungan telah menjadi problem global. Berdasarkan penjelasan di atas, sudahkah kita menjaga dan merawat ekosistem dengan baik? Atau justru mengeksploitasinya?
Sebelum kita masuk pembahasan, penulis akan memberikan definisi terkait ekosistem. Dikutip dari umsu.ac.id, ekosistem adalah suatu sistem yang terdiri dari organisme hidup (biotik) dan lingkungan fisik (abiotik) yang saling berinteraksi di dalam suatu wilayah atau area tertentu. Penting bagi kita menjaga dan merawat ekosistem yang menjadi tempat kita memberlangsungkan kehidupan. Apalagi di era modern sekarang banyak aktivitas manusia yang merugikan lingkungan. Seperti penggunaan air minum dalam kemasan (AMDK), deforestasi, penggunaan pestisida berlebihan, perburuan hewan liar, penggunaan pukat harimau atau bom pada ikan, dan sebagainya. Allah menjelaskan hal ini dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 41 yang berbunyi:
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Di sisi lain, terdapat pepatah yang populer di telinga kita, yaitu “Apa yang kalian tanam itulah yang kalian tuai”. Apabila kita memperhatikan kondisi ekosistem saat ini, dapat disimpulkan bahwa kondisi ekosistem sedang tidak baik-baik saja. Sehingga perlu bagi kita untuk merubah gaya hidup yang berpotensi dapat merusak ekosistem.
Seringkali kita mendengar atau melihat berita bencana alam di Indonesia. Seperti banjir, tanah longsor, banjir, kekeringan air, dan kebakaran hutan. Tidak dapat dipungkiri kejadian-kejadian di atas tanpa ada campur tangan manusia. Sebagai contoh gas hasil pembakaran sampah berupa CO2 atau CFC (kerap digunakan dalam AC, kulkas, atau produk aerosol seperti hairspray dan cat semprot) keduanya termasuk emisi gas rumah kaca (GRK). Emisi GRK ini membuat bumi kita mengalami global warming sehingga terjadi perubahan iklim juga curah hujan yang ekstrim. Ditambah lagi deforestasi yang semakin digalangkan manusia membuat banjir, longsor, dan kekeringan air lebih mudah terjadi.
Kegiatan ekploitasi berlebihan yang dilakukan oleh manusia tanpa disertai adanya konservasi lingkungan dan mengesampingkan dampak jangka panjangnya, disebut sebagai egosistem. Lantas, bagaimana mengantisipasi egosistem terjadi pada generasi penerus kita? Dalam hal ini peran manusia khususnya anak muda dibutuhkan. Karena anak muda dengan nalar kritisnya yang memulai merawat ekosistem.
Beragam upaya dapat dilakukan, salah satunya adalah green lifestyle. Dicuplik dari laman web idntimes.com, green lifestyle adalah bentuk gaya hidup yang eco-friendly atau ramah lingkungan. Green lifestyle juga bisa dikategorikan langkah sederhana yang bisa kita lakukan untuk melestarikan ekosistem. Terdapat beberapa green lifestyle yang bisa kita lakukan sehari-hari seperti:
- Membiasakan 3R (Reuse, Reduce, Recycle).
- Mengurangi sampah air kemasan dengan 3Ng (Nggodhog, Nggo, Ngombe).
- Tidak boros bensin serta hemat listrik dan air.
- Meminimalisir pembakaran sampah.
- Berjalan kaki, bersepeda, atau menggunakan kendaraan umum.
- Menanam tanaman di rumah.
- Upayakan untuk menghabiskan makanan agar tidak ada sisa yang terbuang.
- Menanam biopori di sekitar rumah.
- Tidak berlebihan dalam penggunaan bahan kimia.
- Menggunakan produk lokal, dan masih banyak lagi.
Allah memberi kita amanah sebagai khalifah fil ardh untuk senantiasa menjaga keseimbangan alam sebagai bentuk rasa tawakkal dan syukur kita kepada Allah. Lalu Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Shad ayat 28 yang berbunyi:
اَمْ نَجْعَلُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ كَالْمُفْسِدِيْنَ فِى الْاَرْضِۖ اَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِيْنَ كَالْفُجَّارِ
Artinya: “Apakah (pantas) Kami menjadikan orang-orang yang beriman dan beramal saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di bumi? Pantaskah Kami menjadikan orang-orang yang bertakwa sama dengan para pendurhaka?”
Sudah sepantasnya kita renungkan hal ini bersama. Karena Allah tidak menyukai مُفْسِدِيْنَ yaitu orang-orang yang berbuat kerusakan. Disebutkan pula dalam hadits bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
خَيْرُ الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناس
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.”(HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ No: 3289).
Sebagaimana hadits di atas, kita dianjurkan untuk saling memberi manfaat antar sesama. Tak sebatas antar manusia, kita juga harus saling bermanfaat terhadap lingkungan, alam, maupun ekosistem. Karena seyogianya kita memelihara alam dengan sebaik-baiknya untuk menghargai alam yang sudah menjadi tempat kita memberlangsungkan kehidupan. Wallahu a’lamu bis showaab.
Oleh: Dyasahrin Khaszahra, Santri Mansajul Ulum