Menu

Mode Gelap

Opini Santri · 21 Nov 2023 17:45 WIB ·

Relasi NKRI dan Hukum Islam


 Relasi NKRI dan Hukum Islam Perbesar

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar ke empat yang tersebar di berbagai pulau dari Sabang sampai Merauke. Maka tak khayal jika di dalamnya terdapat beragam suku, budaya, ras dan agama yang beragam macamnya. Di antara banyaknya agama di Indonesia, Islam merupakan agama yang memiliki jumlah pemeluk terbanyak dibandingkan dengan agama lainnya. Islam datang sebagai rahmatal lil alamin, dalam artian kehadiran Islam di tengah kehidupan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia dan alam semesta. Sebagaimana di dalam alquran Allah berfirman: 

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ  

Artinya: “Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107) 

Ayat di atas menegaskan bahwa ajaran Islam yang dipahami secara benar akan mendatangkan rahmat untuk semua orang, baik orang muslim ataupun non-muslim, bahkan untuk seluruh alam. Dalam konteks negara Indonesia, perlu kita pahami bersama bahwa, Indonesia merupakan negara demokrasi. Sehingga hukum-hukum Islam tidak dapat dijadikan sebagai hukum positif negara, melainkan sebagai etika sosial. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Pencetus Fiqh Sosial dari Desa Kajen Pati, Kyai Sahal. 

Dari penjelasan ini, terdapat kesinambungan dengan hukum Islam atau lebih dikenal dengan istilah “fiqh” yang merupakan tatanan hasil ijtihad para ulama’ untuk menghukumi af’al atau perbuatan mukallaf. Di dalam mendefinisikan fiqh ulama’ memiliki qaul-qaul sendiri. Di antaranya Menurut Sayyid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatho ad-Dimyathi as-Syafi’I yang masyhur dengan julukan Al-Bakri di dalam kitabnya I’anatut Tholibin mengatakan:

“Fiqh secara etimologi adalah Al fahm (faham) dan secara terminologi adalah Ma’rifatul ahkam asy syari’ah al ‘amaliyyah al muktasab min adillatiha attafsilliyyah (Mengetahui hukum-hukum syari’at Islam tentang perilaku/pekerjaan yang mana hukum ini dihasilkan atau diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci)”

Dikatan juga menurut Asy syaikh al imam Syarofuddin Yahya Al-Amrithi dalam kitabnya Tashilut turuqot atau lebih dikenal dengan Nadhom Al-Waroqot mengatakan:

والفقه علم كل حكم الشرعي # جاء اجتهادا دون حكم قطعي

 

Artinya: “Fiqh adalah suatu ilmu yang membahas semua hukum Syar’i yang merupakan hasil Ijtihad bukan hukum Qoth’i”

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Fiqh adalah hasil pemikiran Ulama’ terdahulu. Karena sifatnya yang dinamis dan menyesuaikan keadaan pada akhirnya fiqh pun dapat eksis sampai detik ini. Walaupun demikian, seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa di Negara Indonesia hukum-hukum Islam tidak dapat diterapkan secara kaffah (dalam hal ini “fiqh” dijadikan sebagai hukum positif) karena latar belakang Negara Indonesia yang mempunyai keberagaman agama, suku, ras, dan budaya. Di sisi lain, dari aspek sejarah bangsa Indonesia menaklukan penjajah dan meraih kemerdekaan karena adanya persatuan dari warga yang mempunyai agama, ras, dan budaya yang berbeda.  

Hukum Islam yang tidak diberlakukan oleh masyarakat Indonesia secara sempurna di antaranya adalah jinayah dalam kasus pencurian, yang mana dalam Islam hukuman bagi seorang pencuri adalah potong tangan namun di Indonesia hanyalah hukuman penjara. Penerapan hukum Islam yang tidak bisa diterapkan secara kaffah ini bukan lain karena demi kemaslahatan bersama. Bayangkan saja jika saat ini Negara Indonesia adalah Dar Islam, lalu bagaimana nasib non muslim yang ada di Indonesia ini nantinya?

Menurut Ahmad Hawassy dalam bukunya yang berjudul “Kajian Akhlaq Dalam Bingkai Aswaja” mengatakan Kafir Dzimmi yaitu orang kafir yang diizinkan untuk tinggal di negeri kaum muslimin, dan sebagai gantinya mereka mengeluarkan jizyah yakni semacam upeti. Tujuannya adalah sebagai kompensasi perlindungan terhadap mereka dan mengindahkan batasan-batasan aturan Islam. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang menyakiti orang dzimmy sesungguhnya dia telah menyakiti diriku sendiri.”

Dalam hal ini, Kafir dzimmy nantinya pasti akan terikat hukum Islam seperti hukum potong tangan bila mencuri, dibunuh jika murtad dan masih banyak lagi ketetapannya. Lalu bagaimana posisi orang non-muslim dengan realita bahwa saat ini mereka hidup di negara mayoritas Islam meskipun negaranya bukanlah Dar Islam?

Dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Banjar pada 2019, diputuskan bahwa dalam konteks negara bangsa tidak ada lagi penyebutan kafir, karena semua orang punya hak dan kewajiban setara. Mereka disebut muwathinun atau warga negara. Penyebutan non-muslim ini tak lain untuk menjunjung tinggi kesetaraan di negara ini. Hukum-hukum Islam saat ini harus elastis dapat menyesuaikan undang-undang yang ada. Seperti orang yang murtad di dalam fiqh harus dibunuh. Akan tetapi hal ini tidak dapat kita lakukan. Karena dalam hukum positif terdapat pasal 18 yang berbunyi “Setiap orang mempunyai hak untuk berpikir, berperasaan dan beragama”. Pasal ini menjunjung tinggi nilai keadilan dan kesetaraan yang ada di Indonesia, dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah Ayat 42 disebutkan:

وَاِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ 

Artinya: “Jika engkau memutuskan (perkara mereka), putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”

Tujuan dari semua ini tak lain untuk menjaga eksistensi Islam sebagai rahmatal lil alamin. Ketika kita asal main bunuh, potong tangan apakah masih bisa dikatakan sebagai rahmatal lil alamin

Maka dari itu penerapan fiqh harus betul-betul elastis demi menjaga keadilan. Pemikiran-pemikiran yang seperti inilah yang harus dimiliki umat Islam saat ini terutama Bangsa Indonesia untuk dapat mengaktualisasikan fiqh mengikuti perkembangan zaman di bangsa ini adalah bangsa yang Bhineka Tunggal Eka. Oleh karena itu, kita sebagai umat muslim harus bisa menyesuaikan hukum pada negara ini dengan pandangan kesetaraan, seperti saat ini Indonesia tidak bisa dikatakan sebagai negara Islam karena penerapan hukumnya tidak bisa secara utuh seperti di Arab saudi dan Qatar.

Meskipun Indonesia tidak menerapkan hukum Islam secara menyeluruh, namun pada dasarnya nilai-nilai dari hukum Islam itu sendiri tetap terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Jika semua hal tadi dilakukan eksistensi agama Islam sebagai rahmatal lil alamin pun akan tetap terjaga. Wallahualam Bissawab.

Oleh: Abul Fatih Hadiyatulloh, Santri Mansajul Ulum. 

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 126 kali

Baca Lainnya

Dampak Dualisme Hukum Terhadap Perempuan

8 Oktober 2024 - 17:05 WIB

Meneladani Jejak Langkah Imam Syafii

1 Oktober 2024 - 11:39 WIB

Isu Mayoritas dan Minoritas Agama

24 September 2024 - 18:38 WIB

Pentingnya Nilai Moral dalam Pendidikan

17 September 2024 - 19:46 WIB

Cantik dari Dalam atau Cantik dari Luar?

10 September 2024 - 19:03 WIB

Peran Negara Lain dalam Kemerdekaan Indonesia di Kancah Internasional

3 September 2024 - 10:47 WIB

Trending di Opini Santri