Di zaman modern seperti saat ini, dimana teknologi semakin berkembang semua apa yang kita inginkan bisa terwujud hanya dalam hitungan jam, menit, bahkan detik. Sehingga banyak dari kita yang tergiur oleh teknologi dan tidak mampu dalam memanfaatkannya sebagaimana mestinya. Akibatnya, timbulah permasalahan-permasalahan sosial yang muncul seiring dengan perubahan teknologi yang semakin pesat. Mulai dari degradasi moral yang kian hari semakin parah, penyebaran informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan, hingga penyelewengan kekuasaan oleh pemerintah yang tidak tahu tentang keadaan rakyatnya.
Keadaan seperti ini pernah dirasakan oleh ulama zaman dahulu. Biasanya saat fenomena ini terjadi, mereka mengasingkan diri dari pergaulan antar sesama manusia. Kegiatan ini, di kalangan ulama tasawuf populer disebut dengan istilah “uzlah”. Uzlah adalah meninggalkan keramaian dan menjauh ke tempat yang sepi agar terhindar dari fitnah. Tentu saja uzlah mempunyai konsekuensi terputusnya seseorang dari hubungan sosial masyarakat. Padahal di sisi lain, manusia merupakan mahluk sosial yang pasti membutuhkan bantuan orang lain dan memiliki tanggung jawab sosial di manapun dan kapanpun. Lantas apakah “uzlah” saat ini masih relevan untuk diimplementasikan di tengah banyaknya hal-hal negatif dan status manusia sebagai makhluk sosial?
Sebelum kita membahas mengenai persoalan “uzlah”, alangkah baiknya kita perlu mengetahui definisi dari “uzlah” serta pembagiannya. “Uzlah” secara etimologi adalah menyendiri atau mengasingkan diri. Sedangkan secara terminologi adalah mengasingkan diri dari pergaulan manusia dan fokus hanya untuk beribadah kepada Allah semata. Sedangkan menurut ulama-ulama tasawuf “uzlah” terbagi menjadi dua. Yaitu “uzlah dzhahiriyah” dan “uzlah batiniyah”.
“Uzlah dhahiriyah” adalah “uzlah” yang telah didefinisikan sebelumnya yaitu mengasingkan diri dari hubungan ke masyarakatan secara totalitas. Seperti menyendiri di tempat-tempat sepi. Seperti puncak gunung atau lembah. Sedangkan “uzlah” yang kedua yaitu “uzlah batiniyah” adalah mengasingkan batin kita atau hati kita dari sifat-sifat atau perilaku-perilaku yang bertentangan dengan agama. Walaupun demikian, kita masih tetap berinteraksi dengan orang-orang di sekitar kita. Artinya, kita masih menjalankan kodrat kita sebagai mahluk sosial. Jadi metode “uzlah” yang kedua ini memberikan konsekuensi kepada kita agar kita dapat menjaga hati supaya tidak terpengaruh oleh segala efek-efek negatif yang berkembang di sekitar kita.
Menurut Imam Wahbah Az-Zuhaili, salah satu ulama terkemuka di bidang Fiqh dan Ushul Fiqh, menjelaskan bahwa “uzlah” disyariatkan ketika terjadi banyak fitnah atas diri manusia yang membahayakan. Beliau berpendapat demikian karena merujuk pada salah satu surat di dalam Al-Qur’an, yaitu surat Al-Kahfi. Dalam ayat tersebut diceritakan sekelompok pemuda yang dikenal dengan sebutan Ashabul Kahfi. Mereka adalah sekolompok pemuda yang mengasingkan diri di dalam gua. Kegiatan itu mereka lakukan karena pada saat itu keadaan di sekitar mereka mulai meresahkan, seperti akidah masyarakat yang tidak benar. Bahkan saat itu raja juga sering berbuat kezaliman. Sehingga jalan pintas yang bisa mereka lakukan untuk menghindari hal ini hanyalah mengasingkan diri ke dalam gua.
Al-Qur’an sendiri pada dasarnya tidak mensyariatkan untuk memutuskan hubungan dengan manusia hanya untuk bermunajat kepada Allah. Bahkan Al-Qur’an justru menegaskan untuk menguatkan hubungan kita dengan manusia lainnya sebagai bentuk manifestasi bahwa kita adalah makhluk sosial.
Seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Hujurat ayat 10:
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”
Ayat ini mengajarkan kita untuk menjadi makhluk yang bisa menjaga hubungan dengan makhluk lainnya dan dapat berdamai dengan sesama. Selain itu, jangan saling berselisih agar tidak memicu terjadinya perpecahan. Ayat ini juga secara tidak langsung memberikan pemahaman bahwa kita sebagai manusia tidak boleh secara sepihak memutus hubungan kita dengan manusia sekitar tanpa adanya alasan yang memungkinkan, seperti rusaknya akidah dan moral manusia.
Mengenai relevansi “uzlah” di era sekarang. Kita bisa melihat dari dua sudut pandang, yakni tekstual dan kontekstual. Dari segi tekstual, istilah “uzlah” secara harfiah mungkin masih bisa relevan dengan zaman sekarang, tergantung bagaimana kita menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Namun Kebanyakan orang cenderung akan mengatakan “tidak”. Karena hal tersebut tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang terus berubah. Misalnya sebuah tanggung jawab yang diemban oleh seorang kepala keluarga dalam menafkahi keluarganya. Kepala keluarga tersebut pasti tidak mungkin menolak tanggungjawabnya dengan alasan ingin melakukan “uzlah”.
Sedangkan ketika seorang kepala keluarga tersebut mencari nafkah untuk keluarganya atau bekerja pasti tidak mungkin terlepas dari interaksi dengan manusia lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa “uzlah” secara tekstual itu kurang relevan terhadap zaman sekarang. Sedangkan secara kontekstual, “uzlah” masih memiliki nilai relevansi dan dapat diimplementasikan dalam kehidupan modern saat ini, yakni dengan menggunakan metode “uzlah batiniyah” di mana kita tetap menjaga hubungan kita dengan lingkungan yang ada disekitar kita. Akan tetapi dengan konsekuensi kita harus bisa menjaga hati agar tidak terpengaruh oleh hal-hal negatif yang kemungkinan besar akan timbul dalam kehidupan sosial kita.
Inilah bentuk relevansi “uzlah” dalam tatanan dunia modern saat ini. Karena hakikat dari “uzlah batiniyah” ini hanyalah menjaga diri dari perilaku yang tercela tanpa perlu mengasingkan diri. Sedangkan “uzlah dzahiriah” cenderung lebih memandang perlunya untuk mengasingkan diri secara fisik. Padahal kita sebagai manusia di zaman modern ini pasti tidak bisa terlepas dari bantuan dan berinteraksi dengan manusia lainnya.
Begitulah sikap kita sebagai umat muslim tehadap benturan zaman dan peradaban yang menjadikan seseorang dapat tergerus jika tidak mempunyai iman yang kuat dalam hatinya. Maka untuk menjadi seorang mukmin yang ideal kita harus selalu beribadah kepada Allah di samping tidak melupakan kodrat kita sebagai makhluk sosial yang akan selalu bahu membahu dalam menyikapi berbagai hal. Semoga kita dilindungi oleh Allah SWT dari hal-hal negatif di sekitar kita. Amin.
Oleh: Vicky Oktavianto, Santri Mansajul Ulum