Dilansir dari BBC Indonesia, seorang santri berinisial BBM (14 tahun) meninggal diduga akibat penganiayaan yang terjadi di salah satu pondok pesantren di Jawa Timur. Kepolisian telah menetapkan empat pelaku sebagai tersangka, di mana salah satunya disebut masih kerabat korban. Berdasarkan pengakuan terduga pelaku, kata Rini Puspita Sari selaku penasehat hukum, pemukulan dilakukan karena korban tidak melakukan beberapa aturan, seperti mengikuti salat berjemaah dan piket. Sehingga pelaku mengingatkan korban. Namun karena jawaban korban yang tidak sinkron saat ditegur membuat pelaku akhirnya emosi dan spontan melakukan kekerasan. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Bukankah selama ini pesantren disoroti sebagai tempat untuk mendidik santri yang berakhlakul karimah?
Menyinggung hal tersebut dapat dibuktikan bahwa dalam realitanya terdapat degradasi moral yang menjangkiti sivitas akademik dalam sebuah pesantren. Sedangkan pesantren sendiri didedikasikan untuk dapat membentuk sumber daya manusia yang seimbang intelektual dan moralitasnya. Dengan lekatnya ajaran Islam pula seharusnya pesantren menjadi lingkungan yang baik dan aman bagi sivitas yang ada didalamnya.
Namun mencuatnya kasus kekerasan di atas menimbulkan banyak kontroversial. Bahkan narasi pesantren ‘tidak aman’ bertebaran di mana-mana. Hal ini yang meresahkan hati orang tua untuk mendelegasikan anaknya ke lingkungan pesantren. Padahal lewat nyantri anak dapat menjadi sebuah entitas yang siap terjun ke masyarakat dan berkontribusi besar terhadap bangsa. Jika ditelisik, merujuk kasus sebelumnya, menurut penulis terdapat setidaknya dua hal yang memicu adanya kekerasan.
Pertama, rendahnya kesadaran inklusivitas dalam sebuah pesantren. Inklusivitas sendiri berasal dari kata inklusif. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) inklusif artinya termasuk; terhitung. Sedangkan secara umum inklusivitas adalah sebuah pengakuan dan penghargaan atas keberadaan atau eksistensi keberagaman.
Refleksi inklusivitas dalam pesantren menekan betapa pentingya setiap orang diperlakukan dngan hormat dan adil, bukannya malah bersikap intoleran dengan melakukan kekerasan. Namun melihat kasus di atas, wajar saja bagi pengurus memberikan sanksi terhadap santri yang melanggar aturan. Sehingga penting diingat bagi pengurus untuk tidak subjektif dan tidak mudah tersulut emosi. Adapun jika tidak ada efek jera yang didapat seyogyanya dilaporkan kepada pengasuh untuk ditindaklanjuti.
Kedua, longgarnya regulasi sebuah pesantren. Terkait kasus diatas, Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur sudah memastikan bahwa pondok pesantren terkait tidak memiliki izin operasional sebagai tempat pondok pesantren. Ihwal inilah yang menyebabkan pengawasan menjadi lemah. Karena Pemerintah tidak bisa masuk memberikan pengawasan, dan kalau ada apa-apa [pesantren] tidak bisa diminta pertanggungjawaban. Sehingga dapat memberikan peluang untuk terbukanya tindakan-tindakan yang bisa dianggap sebagai kekerasan. Padahal dengan izin dan regulasi yang jelas sebuah pesantren dapat membangun kepercayaan tersendiri dalam masyarakat.
Terlepas dari dari 2 poin di atas, dengan jelas Islam menggaungkan ajaran mencegah kerusakan dalam kaidah daf’ul mafasid jauh sebelum eksistensi undang-undang anti kekerasan.
Membuntuti kasus ini Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren bersama Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kementerian Agama mendeklarasikan Pesantren Ramah Anak yang memiliki lima prinsip dasar, yaitu: Pertama, tidak ada diskriminasi. Kedua, berorientasi kepentingan terbaik anak. Ketiga, hak perkembangan dan kelangsungan hidup. Keempat, partisipasi aktif atau mendengar suara anak. kelima, tidak ada kekerasan. Melalui 5 prinsip ini pemerintah berharap dapat membentuk pesantren yang ramah anak serta meminimalisir tindak-tindak kekerasan yang acap kali terjadi di lingkungan pesantren. Wallahu ‘alam.
Penulis: Dyasahrin Khaszahra, Redaktur EM-YU.