WEJANGAN X
10 Ramadhan 1444 H
“Riyalat” adalah istilah yang biasa dipakai oleh kalangan pesantren untuk menyebut latihan rohani. Ia berasal dari bahasa Arab “riyadlah” yang secara harafiah berarti latihan, “training”. Dalam bahasa Arab modern, kata “riyadlah” bermakna: olah raga (sport). Yang dimaksud dengan “latihan” di sini tentu saja bukan latihan fisik, melainkan olah jiwa, latihan yang ditujukan untuk membersihkan dan menyucikan jiwa. Istilah yang kerap dipakai para sufi Islam adalah “tahdzib al-akhlaq”.
Sebagaimana seorang atlit sepak bola membutuhkan pelatih untuk melakukan latihan rutin, begitu juga seorang “salik”, pejalan rohani. Ia membutuhkan seorang guru yang disebut “murshid”. Keberadaan guru adalah niscaya, apalagi untuk sebuah perjalanan yang amat penting: perjalanan rohani menuju Sumber Kehidupan, yaitu Allah. Jika perjalanan duniawi untuk menuju sebuah tempat saja seseorang membutuhkan seorang pemandu, minimal Google Maps, apalagi perjalanan menuju kebahagiaan yang sejati. Jelas ia butuh guru.
Seorang guru haruslah mengerti kondisi dan situasi seorang murid. Tak ada metode riyalat yang “one size for all”, satu ukuran untuk semua. Setiap murid yang memiliki kondisi tertentu membutuhkan cara dan metode riyalat yang khusus. Al-Ghazali mengajarkan jenis-jenis latihan yang bisa diberikan oleh seorang guru kepada seorang salik yang menjadi muridnya.
Salah satu metode latihan yang diajarkan oleh al-Ghazali adalah berkenaan dengan bagaimana seorang murid/salik menghancurkan “ego”-nya. “Ego”, yakni kesadaran tentang “aku” yang terlalu berlebihan, bisa menjadi penghalang seseorang untuk mencapai tujuan utama: yaitu kesucian jiwa. Ego yang tidak dikendalikan bisa menjadi sumber pelbagai penyakit hati, misalnya sombong, dengki, iri, dsb.
Ada beberapa cara yang diajarkan al-Ghazali. Misalnya, guru bisa memerintahkan muridnya yang memiliki latar belakang keluarga berada (secara ekonomi mapan dan bahkan kaya!) untuk duduk meminta-minta di pasar. Istilah yang dipakai al-Ghazali di sini adalah “kudyah”, yaitu meminta-minta dengan amat-sangat, bukan minta-minta yang biasa. Seorang murid yang berasal dari keluarga kaya bisa saja memiliki ego yang besar karena kekayaannya itu. Ego semacam ini bisa menjadi penghalang baginya untuk menyerap akhlak yang baik. Dengan memerintahkan sang murid untuk duduk di pasar dan meminta-minta, sang guru telah mengajarinya untuk mengatasi ego-nya itu.
Ini hanya salah satu cara saja.
Cara lain: ketika melihat muridnya yang tampak bangga dengan pakainnya yang necis, mahal, dan bermerek, sang guru bisa memerintahkannya untuk mengerjakan pekerjaan tangan yang kotor, misalnya membersihkan kamar mandi atau “ngangsu”, yakni menimba untuk mengisi bak mandi (tentu ini di zaman ketika belum ada mesin pompa air).
Kenapa latihan ini mesti dilakukan sang murid? Sebab, murid yang terbiasa memakai pakaian yang indah dan mahal bisa saja mengidap semacam ilusi bahwa pakaiannya itu akan menaikkan derajatnya, membuatnya lebih tinggi dari orang lain, melambungkan status sosialnya, dst. Perasaan-perasaan semacam ini harus “dihancurkan” karena menjadi sumber kesombongan. Seseorang yang memiliki perasaan-perasaan seperti ini bisa mengalami kekeruhan dalam hatinya. Istilah yang dipakai al-Ghazali: “masyghulun binafsihi “, hati dan jiwanya sibuk mengurus perkara tampilan.
Hati yang sibuk dengan perkara tampilan luar seperti ini bisa terhijab, terhalang dari Allah. Ini tidak berarti bahwa seorang muslim tidak boleh memakai pakaian yang indah dan mahal. Tidak sama sekali. Yang dilarang adalah sikap hati yang memandang pakaian sebagai segala-galanya, sehingga lupa pada sesuatu yang lebih sejati, yaitu kesucian hati dan jiwa.
Seseorang perlu latihan yang panjang untuk bisa mengatasi ego. Ini bukan perkara yang mudah. Latihan-latihan dengan melakukan pekerjaan yang bisa “merendahkan” ke-aku-an seseorang perlu dilakukan. Inilah sebabnya para kiai zaman dahulu kerap memerintahkan santrinya melakukan tugas-tugas yang tampak agak menjijikkan, misalnya membersihkan toilet. Tugas-tugas rendahan semacam ini diperintahkan oleh sang kiai sebagai cara untuk “riyalat” alias latihan rohani.
Di zaman sekarang, latihan-latihan semacam ini mungkin dianggap aneh, bahkan dipandang sebagai “bullying” atau perundungan kepada seorang murid. Mungkin guru di zaman ini perlu menemukan cara-cara lain yang lebih sesuai untuk melatih seorang murid secara rohani. Cara bisa berubah sesuai dengan zaman. Tetapi intinya sama: ego seorang manusia yang menguasai dirinya bisa berbahaya, karena itu harus ditaklukkan.
Ego yang sudah berhasil ditaklukkan akan memudahkan seseorang untuk menyerap akhlak-akhlak yang baik. Sementara ego yang liar, yang menggelembung besar tak terkendali akan menyulitkan seseorang untuk menyerap sifat-sifat yang terpuji.
Seseorang dengan ego besar sama dengan cangkir yang penuh air. Ia sulit untuk menerima tuangan air yang baru. Karena itu, seorang murid perlu “mengosongkan” cangkirnya agar mudah menerima ajaran-ajaran dari sang guru.***
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College