Setelah kelulusan, aku segera berkemas untuk menyusul Mbak Ayu. Ku ambil uang peninggalan ibu. Dua hari setelah kejadian di tempat judi bapak dikabarkan meninggal dunia oleh orang sekitar. Bapak meninggal karena bunuh diri. Aku menatap mayat bapak dengan tatapan datar, memandikannya, mengkafani, dan terakhir mensholatinya. Aku tidak ikut menguburkan mayat bapak–tak sudi. Aku masih sakit hati dibuatnya.
Aku mulai memasuki sebuah bangunan yang mereka sebut pondok. Seseorang menghampiriku yang nampak kebingungan di depan pagar. Dia bertanya kepadaku, hendak mencari siapa? Kujawab bertemu pemilik tempat ini. Laki-laki di hadapanku mengernyit, dia mempersilahkan ku masuk, menunggu di sebuah teras salah satu bangunan. Tak lama kemudian terdengar langkah seseorang. Aku menoleh, kudapati sesosok laki-laki yang telah udzur berjalan menghampiriku. Dimana laki-laki tadi? Ah! Ternyata dia berada di belakang sosok sepuh tersebut, membungkuk takzim. Sosok sepuh tadi mempersilahkanku masuk ke dalam. Aku mengangguk, masuk ke dalam ruangan yang ku yakini sebagai ruang tamu. Kulihat laki-laki tadi berjalan menggunakan lututnya saat keluar dari sini setelah mencium tangan sosok sepuh itu.
Sosok sepuh itu bertanya lembut dengan suara seraknya, menanyakan alasan kedatanganku. Aku menelan ludah. Suara itu entah kenapa membuatku merasa pulang, merasa diterima, dan ditunggu kepulangannya.
“Anu, saya mau ikut tinggal di sini.” Ucapku tergagap. Kuceritakan semua kejadian yang sudah kualami, kecuali tentang Mbak Ayu.
“Ini uang saya, hanya ini yang tersisa. Saya bisa disuruh apa saja asal dibolehkan tinggal di sini.” Lanjutku yang masih tergagap sambil menyodorkan tas yang berisi uang.
Entah apa yang terjadi selanjutnya, aku akhirnya dibolehkan tinggal di sini. Sosok sepuh tadi ternyata adalah abah yai yang sering diceritakan Mbak Ayu saat liburan di rumah. Beliau mengembalikan uangku. Kupikir aku tak akan pernah melanjutkan sekolahku hingga jenjang SMA. Nyatanya abah yai mau membiayai sekolahku hingga lulus asal nilaiku tidak turun, bukan harus dapat peringkat satu.
Beberapa hari setelah aku mondok, aku meminta salah satu kang ndalem –santri yang membantu abah yai dan ibu nyai– untuk memanggilkan Mbak Ayu. Adalah kang Umar, orang yang kumintai tolong, yang dahulu menghampiriku di depan gerbang pondok. Awalnya dia curiga kepadaku, apa hubungannya Mbak Ayu denganku? Ku jelaskan bahwa hubunganku dengan Mbak Ayu adalah kakak-beradik kandung. Barulah setelah itu dia memanggilkannya untukku.
“Ibu dan bapak sudah meninggal.” Itu yang kuucapkan pertama kali saat kami bertemu.
“Kenapa kok mbak nggak kamu kabari!?” tanyanya penuh amarah. aku hanya menggelengkan kepala.
“Mbak jangan pulang sebelum dapat suami.” Ucapku.
Mbak Ayu terisak, “Ada apa sih?” tanya Mbak Ayu yang mulai kesal. Aku tetap menggeleng.
Setelah kejadian itu aku tak pernah bertemu dengan Mbak Ayu lagi. Kehidupanku di pondok berjalan mulus, aku didaftarkan abah yai di sebuah madrasah aliyah yang beliau kelola. Awalnya aku terkejut dengan sistem pembelajaran di sini, pelajarannya banyak yang belum pernah ku pelajari di sekolahku dulu. Seperti ngaji kitab kuning, dimana guru atau ustadz membacakan makna sebuah kitab dan kita memaknainya dibawah kalimat bahasa arab tersebut dengan menggunakan tulisan arab pegon. Aku cukup senang mempelajarinya. Tak masalah, itu seru bagiku mempelajari hal-hal baru yang belum pernah kupelajari. Lagi pula aku termasuk tipe orang yang cepat paham. Maka dari itu, aku bisa dengan mudah dan cepat mengejar ketertinggalan. Hingga suatu hari terjadi hal yang tidak pernah ku sangka-sangka.
“Ini dia, si Seta! Kemarin aku lihat dia di kamar 6 sendirian, pasti dia yang nyuri uang di sana!” tuduh seorang santri putra yang berperawakan besar. Aku diam menatap gerombolan di depanku. Mereka menatapku dengan tatapan kebencian yang kentara.
“Tuh lihat! Dia aja nggak merasa bersalah sama sekali.” Sewot salah satu dari mereka dengan menunjuk wajahku.
Sie. Keamanan datang, setelah dilapori salah satu santri bahwa ada keributan di kamar 6. Ada kang Umar sebagai ketua seksi keamanan dia pun ikut turun tangan. Aku menghela napas pendek. Kang Umar menyuruhku untuk mengikutinya, ku angguki saja. Di sisi lain nampak seorang santri putra yang menuduhku tadi tersenyum mengejek. Aku tahu dia, teman sekelasku yang sering cari ribut denganku. Terakhir kali kami ribut karena dia menuduhku bersurat-suratan dengan salah satu santri putri.
“Kamu mau mengakui kesalahanmu?” tanya kang Umar datar, sesaat setelah tiba di kantor. Kujawab tidak.
“Udah, Mar. Kita aduin saja ke abah kalau si Seta ini adalah biangnya penyolongan selama ini. Kita tentuin aja ta’zirannya, antara dikeluarin dari pondok apa dimaafin abah.” Usul salah satu anggota sie. Keamanan berapi-api. Nampaknya dia sudah muak dengan beberapa kasus pencurian di pondok yang mana belum diketahui siapa pelakunya. Kang Umar diam, tidak meng-iya-kan maupun menolaknya.
“Kalau gitu kang Hasan tak kasih tahu, biar dia ngomong sama abah. Soalnya abah tindak ngajak dia tadi.” Timpal yang lain.
Setelah itu semua bubar, menunggu kedatangan abah yai. Kang Umar masih di sini, menatapku dengan tatapannya yang tajam itu. Namun aku tahu, dibalik sifat galaknya itu, dia adalah seorang kakak yang baik dan pengertian.
“Mau ganti profesi jadi Robin Hood kamu?” tanya Kang Umar tiba-tiba, tetap dengan ekspresi datarnya namun dengan pertanyaan yang agak nyeleneh.
Aku menggeleng, “Ndak kang, mau jadi sunan Kalijaga saja yang lebih melokal.” Jawabku tak kalah nyeleneh. Tiba-tiba kepalaku dipukul olehnya.
“Dasar!”
Aku terkekeh, benarkan? Lalu terjadi keheningan diantara kami berdua. Tak ada yang mau bersuara terlebih dahulu. Sayup-sayup terdengar suara adzan maghrib dari arah masjid pondok. Kang Umar menghela napas.
“Mau tak panggilin mbakmu?” tanyanya pada akhirnya. Aku tersenyum, mengangguk. Percakapan itu berakhir damai tanpa ada keributan.
Sekarang, di sinilah aku yang tengah berhadapan dengan Seta yang mengakhiri ceritanya. Kututup mulut dengan kedua tanganku, kedua mataku kembali memanas.
“Jangan nangis, mbak.” Ucapnya lembut, yang justru membuatku hendak menangis seketika. Kamu difitnah! Teriakku dalam hati.
Aku memeluknya, mengatakan maaf berkali-kali. Seta membalas pelukanku tak kalah erat. Saat itu juga seseorang tiba-tiba memanggilnya. Seta melepaskan pelukannya. Ku usap air mataku lalu menoleh, ternyata kang Hasan. Itu berarti abah yai sudah rawuh. Kutatap wajahnya yang memesona seperti rembulan dengan penuh kekaguman.
“Mbak tahu, terkadang kita sesekali harus menatap bayangan, bukan cahayanya saja.” Ucap Seta tiba-tiba kepadaku lalu berjalan menghampiri Kang Hasan. Selepas mengatakannya tiba-tiba Kang Umar datang menghampiri mereka berdua. Netra kami bertemu sesaat, laki-laki itu tersenyum seraya mengangguk sekilas. Seperti hendak mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Kutatap kepergian Seta dengan tatapan penuh tanya.
Selesai.
Karya: Nebula, Santri Mansajul Ulum