Menu

Mode Gelap

Cerpen · 18 Apr 2025 09:54 WIB ·

AK24


 AK24 Perbesar

Jemarinya bergerak lincah, mengotak-atik gadget canggihnya. Membuka aplikasi penting yang terhubung dengan maha karya eksperimennya. Selesai menemukan yang tepat, cukup satu ketukan. Di ruangan lain dengan lorong panjang, pencahayaan remang, satu di antara belasan lemari kaca terbuka. Uap dingin mengepul seketika, bagai kabut tebal yang kemudian tersingkap, menampakkan sosok gadis berkaca mata tebal, dengan rambut lurus hitam legam.

Sepasang kakinya yang tanpa alas kaki mulai melangkah melewati lorong panjang, gaun putih selututnya mengayun mengikuti irama. Setangkupan lisan itu melengkung manis, bahagia. Itulah yang ia rasakan. Bukan karena untuk pertama kalinya ia dibebaskan dari almari berpendingin –melewati daun pintu, langkahnya berhenti dalam jarak 4 meter di hadapan tuannya– melainkan karena untuk pertama kalinya ia bertemu dengan tuannya tanpa pembatas kaca.

“AK24.” Oh tidak, jantungnya berdetak kencang. Dengarlah itu, suaranya berat yang begitu dingin, tapi anehnya justru menghiasi setiap lorong telinganya.

“Yes, Sir!” jawabnya riang, tapi tegas.

“Saya akan memberimu tugas.”

“Siap, Sir!” Fix, antusiasmenya sudah menjadi-jadi.

***

Langkahnya terhenti di depan sebuah restoran udang dengan di jendelanya tertempel selembar kertas bertulis ‘Di Cari Koki Baru, SECEPATNYA!’. Gadis itu tersenyum lebar. Sampai detik ini, semua skenarionya berhasil sempurna.

Yap. Mengapa koki dua mendadak mengundurkan diri? Karenanya! Bagaimana bisa selama beberapa hari terakhir restoran menjadi berkali-kali lipat lebih ramai? Jawabannya juga sama, karenanya! Yup, dan tidak ada yang tahu itu.

Gadis itu melangkah bahagia memasuki restoran, kaca mata tebalnya mulai bekerja. Hologram seketika muncul jarak satu jengkal di depan matanya, mulai memproses data.

Apakah AK24 robot? Ahaha, Tentu saja bukan. AK24 100% manusia. Hanya saja ia dilengkapi dengan kaca mata bawaan yang super canggih. Jadi, kaca mata itu bukan kaca mata minus? Hei, tentu saja itu kaca mata minus. Satu-satunya anggota tubuh AK24 yang tidak bisa tuannya perbaiki adalah matanya, karena memang sejak lahir sekalipun matanya sudah mengalami gangguan penglihatan. Yeah, tapi karena itulah ia spesial. Tuannya membuatkan khusus kaca mata tebal super canggih ini. sekali ia meminta, seperti ‘bimsalabim’ segala informasi yang diinginkannya muncul dalam sekejap.

Gadis itu menolak mengikuti barisan, terus melangkah ke meja kasir, membuat orang-orang yang ramai berdesakan itu sontak melihat ke arahnya. Tapi bukannya marah atau berteriak tidak terima, orang-orang itu menatap heran sekaligus takjub. Apakah AK24 cantik? Tidak juga. Apakah penampilan AK24 aneh? Tidak, ia biasa saja, mengikuti lingkungan sekitarnya, ia mengenakan setelan formal dan berjilbab rapi. Hanya saja lihatlah lurus di balik kaca mata tebal itu, sepasang netra indah dengan semburat jingga tepat di tengah, persis seperti sepasang mata heimdall dalam film Thor.

Langkah gadis itu berhenti, tepat di samping meja kasir yang penunggunya tengah sibuk melayani pelanggan. Tapi seketika terjeda setelah melirik ke arah dua netra AK24.

“Saya, Balqis.” Sebutnya, memilih nama indah milik salah seorang ratu di zaman nabi Sulaiman a.s. Seorang nabi yang kental sejarahnya terdengar di telinga-telinga orang Islam.

Sesaat orang itu mengernyit bingung. “Oh, Mbak sudah ditunggu! Silahkan langsung ke dapur.”

***

Senyum yang sedari tadi terus mengembang, seketika luntur. Balqis mengeluh tertahan melihat orang-orang yang sibuk berlarian di dapur, tidak bisa diam. Memasak, mencuci piring, aroma-aroma bumbu bercampur sunligth menguar kemana-mana, bunyi berisik dari spatula yang beradu dengan wajan berkelontangan, belum lagi bunyi blender, air yang mendidih, gas yang mendesis. Nasib, sejak ia sukses diperbaiki oleh tuannya, setiap anggota tubuhnya bekerja 2-3 kali lebih hebat, termasuk pendengaran dan penciumannya. Tapi bukan itu yang ia keluhkan.

Ia hanya berharap, ia tidak disuruh memasak sekarang.

Seorang laki-laki dengan topi kokinya yang membumbung tinggi, dan celemek dengan gambar udang menghampirinya.

“Balqis?” tanyanya dengan senyum mengembang. Tangannya bergerak mengusir keringat di dahi, napasnya menderu kencang, jelas sekali ia kerepotan.

“Kamu saya terima dan bisa mulai bekerja sekarang.” Belum sempat Balqis mengangguk membenarkan, apalagi menjawab ‘Ya’. Laki-laki itu sudah buru-buru melempar keputusan yang sejak beberapa detik lalu sangat tidak ingin ia dengar. Yah, mau bagaimana lagi, inilah konsekuensi dari rencananya.

Balqis tidak bisa memasak. Itu kenyataannya. Sejak ia lahir sampai umur 9 tahun, ia terjebak dalam peperangan. Sampai akhirnya ia menjadi korban peperangan, dilempar oleh ledakan bom dalam jarak 3 meter. Tuannya menyelamatkannya. Memperbaikinya dalam lemari berpendingin selama bertahun-tahun. Lalu bagaimana ia bisa belajar memasak?

Emh, bapak ada samplenya?” tanyanya sedikit ragu. Bagaimana bisa ia memasak sekarang? Satu, ia sama sekali tidak mengenal bumbu dapur. Dua, setiap masakan seseorang sekalipun, memiliki ciri khasnya tesendiri. Bagaimana ia menirunya? Sedangkan ia belum pernah mencicipinya sama seekali. karena itu ia membutuhkan sample. Dan kalau bisa, untuk setiap jenis makanan.

Laki-laki itu tampak berpikir.

“Saya tadi baru memasak nasi goreng udang, sama omelet udang, koki II tadi memasak sup cumi, kamu boleh mencicipinya.”

Balqis berpikir sejenak, kemudian mengangguk mengikuti langkah pak bos barunya. Muhammad Miqdad, seorang koki sekaligus pemilik restoran udang yang sering digandrungi. Restoran Al-Mubarok, yang berdiri sejak puluhan tahun lalu, dengan estafet kepemilikan yang aneh.

Jarak dua meter, nasi goreng yang masih panas itu tampak meyakinkan di atas wajan. Kaca mata Balqis mulai memindai. Segala macam bahan mulai terhampar di layar digital di depan kaca mata, termasuk bumbu-bumbu detilnya seperti berapa persen garam dituang, juga berapa menit memasak dengan suhu panas berapa derajat celcius.

Miqdad mempersilahkan Balqis untuk mencobanya sebelum dihidangkan. Langsung saja jemari lentik gadis itu mulai menyendok sesuap, pura-pura mengidentifikasi rasa melalui lidah, padahal kacamatanya sudah selesai menyimpan informasi sejak pertama kali pandang.

***

Sebuah tangan besar mencomot udang krispy yang baru matang. Ujung netranya yang cantik dengan semburat jingga di tengahnya menangkap hal itu, terus mengikuti arah kemana udang itu dibawa. Eh?

Miqdad, laki-laki berusia 30-an itu tersenyum, pede saja mengunyah udang krispi.

“Enak. Hampir sempurna, tapi satu yang kurang.” komennya, “Kau serius sekali memasaknya. Lihat, sampai penuh keringat di dahimu. Sampai lupa menaruh rasa cinta di masakannya.”

Eh? Bukannya memang harus serius? Bekerja keras?

Bosnya tersenyum semakin lebar. Tertawa kecil. Lesung pipit muncul begitu saja di pipi sebelah kirinya.

“Restoran sudah tutup, sudah tidak ada yang boleh pesan.”

Reflek Balqis menoleh. Benar saja, sudah tidak ada memo pesanan di papan. Bagaimana ini? Ia terlanjur memasak udang krispy dan tongseng cumi dengan porsi besar, dengan asumsi untuk berjaga-jaga, karena dua menu itulah yang banyak pesanannya.

“Ma-maaf, apakah kita bisa menyimpannya di freezer?”

Miqdad tertawa, menggeleng. Tidak boleh. Mana ada restoran elit yang menyajikan makanan sisa kemarin. Dua lengan Miqdad justru meraih dua spatula yang ada di genggaman tangan kanan dan kiri Balqis. Mengambil alih memasaknya.

“Kau tahu? Berkatmu kita bisa makan besar.” Dan bosnya itu justru tertawa renyah. Tawa yang tidak pernah Balqis dengar seumur hidupnya. Tawa yang seketika membuatnya candu untuk mendengarnya.

Itu cerita satu minggu lalu, tepat satu minggunya bekerja. Itu berarti sudah dua minggu ia menjabat sebagai koki III. Seharusnya tugasnya sudah selesai. Karena setelah kejadian itu, ia akhirnya tahu jawaban yang ditunggu-tunggu oleh tuannya. Tapi sayang, jawaban itu tidak akan pernah sesuai dengan perkiraan tuannya. Karena memang, jawaban itu tidak akan pernah logis bagi kami.

Tapi walaupun begitu, seharusnya ia tetap bisa langsung pulang dan melaporkan hasilnya. Tapi tidak.

Sepasang kakinya melangkah pelan di komplek Asri. Sesuai namanya, komplek ini asri dengan tumbuhan hijau lebat di masing-masing rumah. Nampak tentram dan damai. Berbanding terbalik dengan apa yang ia lihat belasan tahun lalu. Tidak ada satu rumah pun yang tidak hancur, jendelanya, dindingnya, semuanya dirobek habis-habisan oleh mesin peledak. Hampir tidak ada tempat yang dapat digunakan berteduh, apalagi berlindung.

Tidak ada yang namanya keheningan, bahkan jika itu larut malam. Selalu ada suara desingan yang berujung ledakan bom, atau peluru-peluru yang disasarkan kepada siapa saja. Tangisan, teriakan ketakutan, rintihan kesakitan, menjadi bagian dari keseharian.

Seulas senyum terbit di wajah Balqis, memilih mengenyahkan kenangan buruk itu. Ia memilih kenangan yang paling ia suka saja. Pagi itu cerah. Ingatan yang paling ia suka itu, kala pertama kalinya ia membuka mata, setelah bertahun-tahun tertidur dalam lemari berpendingin dari kaca.

Awalnya ia terkejut, tapi ia sama sekali tidak melawan, meminta dibebaskan. Ia justru tertegun. Untuk pertama kalinya, ia mengenal keheningan. Sangat nyaman. Dan sangat tenang. Tidak lama setelahnya, sosok itu muncul di hadapannya. Sepasang bibirnya datar, tidak tersenyum sama sekali. Tetapi sepasang matanya menatap yakin, kemudian mengangguk tipis, seakan mengatakan semuanya akan baik-baik saja.

Langkahnya terhenti, kini bangunan itu berada tepat di hadapannya. Dalam jarak 5 meter. Awal pertama kali ia mendapat lokasi restoran ini, ia berpikir, kenapa restoran yang terkenal di penjuru negeri ini justru bersemayam di tengah desa, yang jauh sekali dari kota.

Hari libur, restoran sepi. Ia sendiri tidak tahu mengapa langkahnya justru kemari. Gadis itu menghela napas. Ingatan itu, sepertinya bukan lagi menjadi satu-satunya ingatan yang paling ia suka. Banyak sekali ingatan lain yang terus nyelonong masuk di pikirannya akhir-akhir ini, membuatnya gelisah tapi justru tersenyum-senyum sendiri.

Tanpa sadar, senyum Balqis terukir. Nah, kan, senyum-senyum sendiri.

Oy!”

Balqis terlonjak. Reflek ia menoleh. Miqdad, bosnya, sudah berdiri saja tepat dua jengkal di sampingnya. Tampak habis jogging, peluh membanjiri rambut, dahi, dan kaus olah raganya. Tapi anehnya, bukan celana training, laki-laki itu justru memakai sarung.

“Ngapain senyum-senyum sendiri?”

Balqis tidak dapat menjawab. Kini semburat jingga itu tidak hanya muncul di netra Balqis, tapi juga pipinya.

“Ayo masuk, sepertinya kamu rindu bekerja.” Laki-laki itu tertawa. “Yah, melihat sehari-harinya kamu yang suka bekerja keras, itu masuk akal. Disuruh libur sehari saja sudah tidak betah.” Aduh, cerewet sekali bosnya.

“Duduk,”

Balqis duduk di salah satu bangku meja makan. Miqdad terus melangkah menuju dapur. Satu menit setelahnya ia sudah kembali, dengan satu botol air mineral di tangan kanannya.

“Minum. Kamu tidak suka susu putih bukan?” Lalu satu kotak susu cokelat di tangan kirinya, ia berikan kepada Balqis.

“Tapi melihat matamu, sepertinya kamu bukannya ingin bekerja. Ada apa? Mungkin ada yang bisa saya bantu?”

Sesaat Balqis terdiam, “Tidak ada apa-apa.”

Hmm,” laki-laki itu bergumam dengan khasnya. “Memang sedikit tidak pantas sih, bercerita dengan saya, seorang laki-laki yang bahkan kamu baru mengenalnya. Apalagi statusku adalah bosmu. Tapi hey, siapa peduli? Anggap saja aku temanmu.”

Teman? Sudah lama sekali ia tidak mendengar kalimat itu, apalagi memilikinya. Kepala Balqis tertunduk, air mata luruh begitu saja dari balik kaca matanya, membuatnya memutuskan melepas kaca mata tebal itu. Memang, sudah berhari-hari ia pendam semua ini. Ia bingung harus apa? Memutuskan apa? Atau bertanya kepada siapa?

“Kamu bebas bercerita kepada saya.”

Balqis mengangkat kepalanya. Laki-laki itu tersenyum tenang, sorot matanya teduh, kemudian mengangguk. Semuanya akan baik-baik saja.

“Tidak ada apa-apa, Pak. Hanya saja saya bingung.”

“Di dunia ini, manusia memang selalu dihadapkan dengan pilihan.”

Balqis terdiam sesaat. Bosnya ini, berbicara seakan tahu apa masalahnya. Gadis itu menarik napas dalam.

“Saya ini… orang buangan.”

Dahi bosnya tampak mengernyit, meminta penjelasan lebih lanjut.

Sekali lagi, Balqis menarik napas panjang.

“Katakanlah, saya ini orang buangan, Pak. Hidup dalam kesusahan selama bertahun-tahun. Tidak ada yang peduli, karena memang tidak ada yang bisa peduli. Karena kami semua sama. Waktu itu, umur saya 9 tahun, saya pikir saya hampir berada di ujung cerita. Tidak berharap untuk bisa hidup lebih lama.” Balqis tersenyum di tengah ceritanya.

“Saya kira waktu itu, tidur panjang saya tidak ada akhirnya, tapi ternyata saya selamat, setelah bertahun-tahun. Seseorang menyelamatkan saya, sungguh saya merasa sangat berterima kasih padanya. Hidup saya, jauh lebih baik. Tapi rasa terima kasih itu, lama-kelamaan tidak sesederhana yang saya kira. Saya mencitainya, dia.. tuan saya. Saya akan melakukan apapun untuknya. Sekalipun hal itu tidak mungkin dilakukan atau justru merugikan saya. Saya sangat senang jika itu dapat membuat tuan saya senang. Saya mencintainya, dan saya ingin selalu seperti itu.

“Tapi rasa lain mendadak muncul, untuk orang lain pula. Rasa itu terus mengusik saya, tapi anehnya saya justru senang. Saya tidak tahu itu apa, atau sebenarnya saya menolak sadar bahwa itu adalah,” Lagi-lagi, balqis menari napas panjang. “Saya.. hanya ingin mencintai tuan saya.”

Hening, Balqis menyudahi ceritanya. Terdengar helaan napas singkat dari bosnya. Balqis mengangkat kepalanya, melihat respon Miqdad. Lesung pipit itu muncul, bosnya tersenyum.

“Saya selalu ingin memiliki cinta yang seperti itu, cintamu kepada tuanmu, cinta memuja namanya. Tidak peduli apa yang terjadi pada kita, mau itu suka atau justru luka, asal itu darinya kita suka. Tapi sayang kamu salah sasaran. Cinta itu seharusnya disasarkan kepada Allah, yang menggenggam takdir kita.” Miqdad diam, tersenyum hangat.

Berarti, cinta itu salah.

“Dan yang satunya lagi saya tidak tahu itu apa. Penjelasanmu kurang detil.” Laki-laki itu tersenyum.

Dan saya justru sudah tahu, Pak.

***

Sekarang ia kembali, berhadapan dengan tuannya untuk melaporkan hasil misinya. Ah, jangan tertawa, misinya ini sepele sekali sebenarnya. Berbanding jauh jika disamakan dengan misi-misi intel di film-film. Misinya:

  1. Resep rahasia apa yang dimilki resoran Al-Mubarok.
  2. Rahasia di balik ramainya restoran Al-Mubarok.

Sepele sekali, kan?

Pertama, jelas tidak ada yang namanya resep rahasia yang seperti di kartun spongebob. Resepnya sederhana sekali. Cinta. Perasaan bahagia, sukarela, ikhlas saat memasaknya.

Eh, tapi jangan salah. Resep cinta ini bukan bualan. Teori fisika kuantum sudah membuktikannya melalui eksperimen beras oleh Dr. Masaru Emoto. Eksperimennya berupa uji ketahanan beras di tiga guci berbeda dengan masing-masing label yang berbeda pula. Yang satu dengan label cinta, yang kedua tidak berlabel yang menunjukkan ketidak pedulian, yang terakhir berlabel benci. Pokoknya baca sendiri kalau penasaran!

Kedua, ini bukan rahasia. Miqdad sendiri dengan senang hati menceritakanya, di hadapan banyak orang malah.

Estafet kepemilikan restoran jatuh kepada Miqdad, bukan karena ia adalah keturunan pemilik sesungguhnya. Sama seperti pemilik-pemilik sebelumnya, Miqdad hanyalah santri, dan pemilik sesungguhnya restoran itu adalah kiainya. Sebenarnya, Miqdad juga heran apa yang membuat restoran ini selalu ramai dan digandrungi banyak orang. Tapi Miqdad yakin itu karena barokah kiainya. Sesuatu yang tidak akan mungkin didapatkan tuannya.

“Laporan selesai, Sir.” AK24 menyudahi laporannya. Walau sebenarnya banyak yang ingin ia bicarakan.

“Lalu?”

Eh?

“Bukankah masih ada yang ingin kau tanyakan, Balqis?”

***

Karya: Ikrima Elok Zahrotul Jannah,  alumni Mansajul Ulum 2023.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 97 kali

Baca Lainnya

Lima Butir Jagung

21 Maret 2025 - 11:38 WIB

24 Hours

21 Februari 2025 - 12:47 WIB

Air Mata Annisa

24 Januari 2025 - 09:25 WIB

cinta

Air Mata Annisa

27 Desember 2024 - 11:34 WIB

cinta

Sabar dan Tawakkal Adalah Kuncinya

29 November 2024 - 09:32 WIB

Doa Ilmu

1 November 2024 - 10:29 WIB

Trending di Cerpen