Allah telah memerintahkan kepada manusia untuk belajar dan terus belajar, mempelajari segala ilmu mulai dari sejak manusia terlahir hingga memejamkan mata untuk selamanya. Semua ilmu, ya semua ilmu. Tak dibatasi oleh bagaimana manusia itu ditakdirkan. Terlahir sempurna atau tidakkah manusia itu di dunia, dilahirkan dalam keadaan berekonomi yang bagaimana bahkan terbatas oleh kodrat manusia itu dilahirkan laki-laki atau perempuan. Ilmu masak perlu juga dipelajari oleh kaum adam dan ilmu membenarkan genting rumah pun perlu dipelajari oleh kaum hawa.
رَبِّ هَبۡ لِي مِنَ ٱلصَّاٰلِحِينَ
(Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh)
Itulah doa yang senantiasa dipanjatkan oleh setiap orang tua yang beragama Islam. Mereka berharap anak-anaknya menjadi pribadi yang sholih sholihah. Untuk mencapai tujuan tersebut maka orang tua diharuskan untuk mendidik mereka dengan sholih sesuai ajaran agama dan juga meriyadhohinya. Namun mendidik tak semudah berdoa. Di dalam mendidik, orang tua perlu juga belajar akan bagaimana menjadikan anak mereka sholih dan sholihah. Hal terebut dapat kita lakukan dengan meneladani bagaimana pendidikan ala Rasulullah, sahabat atau keluarganya atau bisa juga dengan meneladani konsep para orang-orang alim atau waliyullah dalam mendidik anaknya. Di antara konsep pendidikan yang bisa kita teladani adalah konsep pendidikan ala Tarim.
Sebagaimana yang kita tahu, Tarim terkenal sebagai kota seribu wali. Di kota ini telah terlahir beribu wali qutub, dan kita bisa menjumpai wali di setiap sudut kota Tarim. Kota ini begitu meneduhkan. Kota ini terkenal akan kereligiusan dan keilmuannya. Nabi Muhammad SAW bahkan pernah memuji kota ini dalam sabdanya, ” Sesungguhnya aku benar-benar mencium harumnya karunia Tuhan yang Maha Pemurah dari Yaman. Berapa banyak mata air kemurahan dan hikmah yang terpancar dari sana”.
Seorang syarifah menceritakan bahwa salah satu adat unik di Tarim (tepatnya pada zaman dahulu, sekarang sudah banyak berubah ) adalah seorang anak laki-laki tidak boleh keluar rumah di masa kecilnya sebelum mengkhatamkan kitab Bidayatul Hidayah. Bukan hanya sekedar khatam membaca atau hafalan tetapi anak tersebut haruslah sudah mengkhatamkan dan mengamalkan semua isinya. Sehingga mereka tidak keluar pagar rumah mereka kecuali sudah berimamah (sorban yang dililit di kepala tanda keilmuan seseorang) dan belum tumbuh kumis mereka (saking muda usianya) tetapi sudah menjadi wali min auliya illah. Hingga nantinya bila anak laki-laki tersebut sudah aqil baligh, ayahnya akan mengadakan jamuan besar dan mengundang para ulama-ulama besar dan paling alim pada zamannya. Bukan sekedar hanya untuk tasyakuran sahaja tetapi tujuannya untuk mendudukkan anak laki-laki tersebut di hadapan para ulama dan para ulama tersebut makan melontarkan pertanyaan-pertanyaan fiqih, aqidah dan ilmu-ilmu dasar lainnya kepada anak tersebut.
Masih tentang pendidikan anak ala Tarim, Habib Abdul Qodir Baabud menceritakan bagaimana para ahlul tarim mendidik anak mereka, diantaranya adalah :
a. Ketika anak sudah mulai berbicara, maka ajarilah mereka cara berbicara yang baik. Seperti mengajarkan mengucap lafadz Allah. Habib Ali Abdurrahman Al Masyhur menyampaikan latihlah anak mengucapkan Rodhitu billahi rabba, wa bil-islami dina, wa bi Muhammadin shallallahu ‘alaihi wa sallama nabiyyan wa rasula. Kalau perlu kenalkan dengan nasab Nabi.
b. Ajari anak agar menghormati orang tua, kerabat, dan guru. Misalnya, mencium tangan, memanggil orang yang lebih tua sesuai dengan kedudukan dalam keluarganya, dan berbicara dengan lemah lembut.