KOLOM JUM’AT CXII
Jum’at, 6 Desember 2024
Dalam perkembangan sejarah Filsafat, kemampuan rasio dan empiris sebagai sumber kebenaran yang dimiliki oleh manusia telah menjadi bahan perdebatan para filsuf selama berabad-abad. Pertikaian kedua paham yang saling bertolak belakang ini akan sangat berarti bagi eksistensi filsafat dan ilmu pengetahuan di era selanjutnya. Lantaran, berawal dari pertikaian kedua paham inilah, buah pemikiran dari pertanyaan filosofis akan terlahir. Yakni, sebuah pertikaian fundamental yang menanyakan apa sumber pengetahuan utama yang dimiliki oleh manusia. Akal atau empiris?
Di Eropa, orang-orang yang memiliki kepercayaan terhadap akal sebagai sumber pengetahuan utama yang dimiliki oleh manusia, serta kepercayaan bahwa manusia memiliki ide bawaan tertentu yang mendahului pengalaman, maka mereka yang berpedoman pada paham tersebut dikenal sebagai kaum rasionalis. Pada saat itu, cara berfilsafat kaum rasionalis sangat mendomiasi pemikiran yang ada. Lantaran paradigma berfilsafat yang berdasarkan pada akal telah membawa manusia keluar dari cara berpikir mitos menuju logos.
Kaum rasionalis menguasai cara berfilsafat di Eropa hingga pada abad ke 17. Pada saat itu, paham tersebut banyak diikuti oleh tokoh-tokoh besar seperti Rene Descartes (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Leibniz (1646-1716). Namun, di abad ke 18, kaum rasionalis mulai mendapatkan kritikan tajam dari kaum empiris. Lantaran mereka dinilai terlalu mendewakan akal sebagai sumber kebenaran utama, dan seakan menafikan eksistensi dari empirisme.
Di sisi lain, bagi kaum empiris pikiran manusia sama sekali tidak memiliki ingatan apa-apa yang sebelumnya tidak terjamah oleh indra. Sebaliknya, mereka percaya bahwa manusia mendapatkan pengetahuan dari apa yang mereka indra. Rumusan klasik empirisme ini awal mulanya berasal dari Aristoteles (384-322 SM) yang meyakini bahwa “Tidak ada sesuatu yang ada dalam pikiran kecuali yang sebelumnya diserap oleh indra.” Kritikan ini menjadi tamparan keras bagi kaum rasionalis yang berkeyakinan kepada Plato (427-347 SM) bahwa manusia terlahir membawa ide-ide bawaan atau (Innate ideas) dari dunia ide. Dan hal tersebut tentu juga merapuhkan paradigma pemikiran kaum raionalis yang telah dibangun selama berabad-abad.
Kemudian, paham empirime menjadi bandingan dari paham rasionalisme dalam pertikaian esensi sumber kebenaran utama yang dimiliki oleh manusia. Hingga akhirnya, eksistensi empirisme pun mulai terasa di abad ke 18. Lantaran paham ini mulai dipopulerkan, serta memiliki pengikut dari tokoh-tokoh berpengaruh di Eropa. Seperti Jhon Locke (1632-1704), David Hume (1711-1776) dan George Berkeley (1685-1753)
Pertikaian antara kaum rasionalis dan empiris masih terus berlanjut serta menjadi bahan perdebatan hangat bagi para filsuf di Eropa. Hingga kemudian, seorang filsuf Jerman, Imanuel Kant (1724-1804) membawakan angin segar bagi perseteruan kedua paham yang tidak ada habisnya tersebut. Lantaran Kant datang untuk mencoba mengkritisi kedua paham rasionalisme dan empirisme sekaligus. Sampai ia berpendapat bahwa kaum rasionalis dan empiris pada kenyataanya hanya mementingkan satu sisi dari dua unsur saja (rasionalisme dan empirisme). Padahal, bagi Kant kedua duanya sama pentingnya dalam membantu manusia untuk mevalidasi sebuah kebenaran. Karena ia beranggapan antara rasio dan empiris sama-sama memiliki kelemahan dan juga kelebihan. Maka seharusnya kedua paham tersebut harus saling melengkapi satu sama lain.
Oleh karenanya, Kant percaya bahwa antara rasio dan empiris sebenarnya sama-sama memiliki kontribusi tersendiri dalam membantu manusia untuk memperoleh sebuah kebenaran. Hingga akhirnya Kant mendamaikan perseteruan antara rasio dan empiris dengan filsafat kritisismenya. Yakni sebuah sintesis atau penggabungan antara paham rasionalisme dan empirisme.
Filsafat kritisisme Imanuel Kant inilah yang kemudian hari menjadi sumbangsih besar bagi terlahirnya berbagai ilmu pengetahuan di era saat ini. Lantaran perkawinan antara rasionalisme dan empirisme ini yang menjadi tolok ukur suatu metode keilmuan yang dipakai di zaman sekarang.
Oleh: Ahmad Ainun Niam, Redaktur EM-YU