KOLOM JUM’AT XLVI
Jum’at, 17 Juni 2022
Negara Indonesia populer di kancah internasional sebagai negara “multi-etnis dan budaya”. Itulah karakteristik Bangsa Indonesia yang memiliki keragaman fisik ataupun sosial budaya. Keragaman suku, budaya, bahasa, etnis, ras dan agama merupakan sebuah keniscayaan pemberian sang kuasa. Sehingga bangsa Indonesia mempunyai tanggung jawab besar dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan negaranya. Di tengah keragaman agama, tetapi penduduk Indonesia mayoritas adalah beragama Islam. Meski demikian, hal itu tidak menjadikan profil bangsa Indonesia sebagai negara Islam. Indonesia menyebut dirinya sebagai Negara Kesatuan Repubik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 1 Ayat 3 dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Yang dimaksud negara hukum adalah negara yang di dalamnya terdapat berbagai aspek peraturan-peraturan yang bersifat memaksa dan mempunyai sanksi tegas apabila dilanggar.
Menurut prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH., LLM., hukum adalah keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya lembaga dan proses untuk mewujudkan hukum itu ke dalam kenyataan. Sehingga seluruh aspek kehidupan bernegara, termasuk perkawinan, diatur dalam Undang-Undang sebagai pijakan hukum negara. Namun masih sedikit orang yang mengerti tentang perkawinan dalam tatanan hukum positif (hukum yang berlaku di negara). Minimnya pengetahuan terhadap hukum positif ini juga diantara penyebab masih berlangsungnya praktek pernikahan dini di Indonesia. Hal itu kemudian diperparah dengan faktor lain yang berbeda-beda. Misalnya, lantaran terjadinya kehamilan di luar nikah, adat istiadat, kondisi ekonomi, dan masih banyak yang lainya. Tentunya angka pernikahan dini yang kian melonjak juga akan mengakibatkan perceraian yang melonjak. Apapun latar belakang seseorang melakukan pernikahan dini pada dasarnya adalah sebuah perbuatan melawan hukum (PMH).
Definisi perkawinan secara yuridis, sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan bahwa hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan hukum antara subjek-subjek yang mengikatkan diri dalam perkawinan atas dasar persetujuan. Dengan adanya persetujuan tersebut, mereka menjadi terikat. Sedangkan menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan No. 1/1974: “Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.” Di dalam penjelasan UU Perkawinan dengan lebih tegas lagi disebutkan bahwa tidak ada perkawinan yang dianggap sah di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Hal itu, sesuai dengan UUD 1945.
Meskipun keabsahan pernikahan didasarkan pada agama masing-masing, tetapi setiap warga negara berkewajiban untuk memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku di dalam hukum positif negara. Adapun syarat-syarat perkawinan telah diatur dalam UU perkawinan sebagaimana berikut:
- Adanya persetujuan kedua calon mempelai.
- Adanya ijin kedua orang tua/wali bagi calon pasangan yang belum berusia 21 tahun.
- Usia pasangan telah mencapai 19 th.
- Antara calon mempelai pria dengan wanita tidak dalam hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin.
- Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain.
- Tidak berada dalam waktu tunggu (iddah) bagi calon wanita yang janda.
Sebagai bentuk hubungan yang terikat antara dua pihak, asas perkawinan di Indonesia adalah monogami, Dalam UUP No.1/1974 dijelaskan bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 3 ayat 1). Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan (Pasal 3 ayat (2) dengan memenuhi persyaratan. Mengenai persyaratan poligami telah diatur dalam Pasal 4 ayat (2) yang berbunyi :
- Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri;
- Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan ;
- Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Dalam pasal lain ditambahkan:
- Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
- Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
- Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anaknya.
Sayangnya, pemahaman masyarakat tentang hukum positif dalam masalah perkawinan masih cukup rendah. Hal itu kemudian diperparah dengan adanya dualisme pemahaman hukum; hukum agama dan hukum positif. Dualisme pemahaman hukum ini terjadi lantaran adanya kesalahpahaman terhadap pasal yang menyatakan bahwa keabsahan perkawinan didasarkan pada agama masing-masing. Penjelasan ini mengakibatkan adanya anggapan masyarakat yang merasa tidak perlu memperhatikan aturan yang berlaku dalam UU. Karena itu syarat-syarat yang diatur oleh negara melalui UU Perkawinan di atas, sering diabaikan di masyarakat. Terutama pada syarat yang tidak senafas dengan agama. Misalnya, pada ketentuan umur atau aturan tentang poligami.
Faktor dualisme diatas diperparah pula oleh rendahnya komitmen para penegak hukum di Indonesia terhadap penegakan hukum perdata, khususnya perkawinan. Kasus perkawinan anak yang meningkat tajam pada masa pandemi, misalnya, justru difasilitasi oleh penegak hukum yang mudah memberikan ijin dispensasi nikah. Bahkan ada pula yang dilakukan dengan menuakan umur melalui pemalsuan data kelahiran. Demikian pula dalam praktek poligami. Negara belum memiliki aturan yang ketat terhadap pelanggaran hukum positif di ranah perdata. Akibatnya, kasus-kasus akibat pelanggaran aturan hukum positif di ranah perdata ini masih sangat tinggi, seperti kasus perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga.
Sebagai warga negara yang baik, kita harus ikut berpartisipasi aktif dalam mendorong dan mengedukasi masyarakat agar melek hukum positif dalam masalah perdata. Dorongan ini pada dasarnya sejalan dengan perintah agama yang menyatakan tentang kewajiban taat terhadap Ulil Amri atau pemimpin negara. Wallahu A’lam Bisshawab.
Oleh: Muslimin, Alumni tahun 2019, Mahasiswa Hukum Universitas Wiralodra, Indramayu.