Menu

Mode Gelap

Opini Santri · 8 Jul 2025 15:11 WIB ·

Moralitas Waktu


 Moralitas Waktu Perbesar

Di tengah kehidupan modern yang kompleks dan penuh distraksi, gejolak hati dan jiwa saling berdatangan  dirasakan oleh tiap individu. Orang-orang terlihat sibuk mengurusi performa sosial, mencari benefit, bahkan membuat daftar tanpa ujung dengan terus menekan diri untuk selalu produktif. Dalam dunia di mana hedonisme dan materialisme mejadi budaya, manusia bukan hanya kehilangan waktu dan ketenangan, tetapi juga makna. Mereka lupa bertanya, untuk apa aku melakukan ini semua?.

Sementara waktu terus berjalan menuntut manusia untuk tetap maju dan beradaptasi, mereka yang terjatuh, tertinggal jauh di belakang tanpa ada pertolongan dan dorongan, kecuali diri mereka sendiri. Mereka ialah manusia yang gagal menyikapi, bagaimana seharusnya waktu diperlakukan,  mereka selalu mengharap lebih dari waktu, tetapi tidak pandai memaknainya, terpaku pada hasil dengan mengabaikan proses dan nilai yang terkandung di dalamnya. Mereka kurang bijaksana jika mengelola waktu demi produktivitas belaka.

Konsepsi Moral tentang Waktu

Dalam perpsektif stoikisme, waktu bukan sekedar dimensi linier maupun urutan peristiwa, melainkan ruang eksistensial dimana ia menjadi panggung manusia menunjukkan kualitas keberadaannya, melalui pilihan-pilihannya setiap saat. Waktu bukan hanya tentang faktor fisikal, tetapi juga faktor moral.

Secara fisik, waktu merupakan hal absurd dan abstrak yang dengannya, segala sesuatu dapat terjadi. Ia tidak dapat dicuri, keadilan yang pasti di mana tidak ada yang mendapat jatah lebih atau kurang darinya, semuanya sama. Jadi, terdengar ambigu jika sesorang mengatakan bahwa ia menginginkan waktu lebih dari biasanya. Namun demikian,  banyak orang  yang merasa tidak cukup dan kurang puas olehnya, yang hal ini menunjukkan bahwa masalah utamanya bukanlah terletak pada jumlah waktu, tetapi bagaiamana cara manusia menggunakannya.

Dalam De Brevitate Vitue, Seneca menulis, ”Kita tidak kekurangan waktu, tapi kita menyia-nyiakan banyak waktu.” Waktu adalah aset berharga yang tak mungkin terbarukan, maka itu, setiap bentuk pemborosan waktu juga merupakan bentuk dari penyia-nyiaan dari potensi eksistensial manusia. Permasalahnya terletak pada kesadaran moral seseorang, apakah dia sadar akan terbatasnya waktu.

Sejalan dengan pemikiran seneca, Al-ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, secara konkret dan panjang lebar menjelaskan gagasannya tentang waktu, ia menulis, “Waktu adalah kehidupan. Barang siapa menyia-nyiakan waktunya, maka ia telah menyia-nyiakan hidupnya.”  Atau, pemikiran Hasan al-Bashri menggambarkan identitas manusia dengan kumpulan hari, “”Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu hanyalah kumpulan hari. Jika satu harimu berlalu, maka sebagian dari dirimu telah pergi.”

Secara implisit, keduanya menekankan bahwa identintas dan keberadaan manusia bukan terletak di tubuhnya, melainkan bagaimana ia menjalani waktunya. Maka menurut Fakhruddin ar Razi dalam tafsirnya berpendapat, waktu merupakan tempat berlangsungnya segala perintah dan larangan Allah (khitob) kepada manusia. Maka, umur, dalam takaran waktu, menjadi  satu-satunya peluang untuk memperbaiki kehidupan dunia dan akhirat,

Analogi yang Mengandung Cacat

Pemikiran manusia dalam menggambarkan waktu mungkin sekilas terkesan bijak, dan terdengar logis. Akan tetapi lain halnya, jika salah dalam menganalogikan justru dapat menyesatkan cara berpikir. Ironisnya, bila ditelaah lebih lanjut, banyak sekali analogi tentang waktu ternyata mengandung cacat apabila salah dalam mengintrepretasikannya.

Penganalogian waktu sebagai uang terlalu menganggap kecil permasalahan, jelas, waktu lebih penting daripada uang. Cara pandang seperti ini mengajak untuk menjadi materialistis, waktu tidak bernilai kalau tidak bernilai ekonomi. Analogi ini membawa kepada pola pikir bahwa uang lebih nyata daripada waktu.

Sebagai contoh, katakanlah ada sesorang yang selalu mengukur kehidupannya dengan uang, anggapannya, bahwa uanglah yang mengatur kehidupannya. Dengan 5 juta, dia bisa mengelola kehidupannya selama sebulan. Padahal bila direfleksikan lebih jauh, justru waktu jauh lebih penting. Seharusnya, manusia tidak perlu membuat kacau kehidupannya karena tidak mampu dalam mendapatkan uang atau mengelola 5 juta selama sebulan. Namun, dia bisa benar-benar membuat hidupnya berantakan karena tidak mampu mengelola waktunya dari 24 jam sehari selama sebulan, agar mememenuhi seluruh pengeluaran yang semestinya.

Analogi cacat lainnya, semisal, “Semua akan indah pada saatnya”, atau yang serupa, “Tenang, waktu masih panjang”.  Analogi ini, baik secara psikologis, sosial, dan praktis, dapat menggiring manusia ke pola hidup yang kurang efisien dan meremehkan kesempatan yang ada, jika terjadi kekeliruan dalam pemaknaan sebelum  diaplikasikan pada kehidupan.

Sebenarnya, banyak pengaruh positif yang bisa diambil darinya. Hanya saja, ketidakprofessional dalam menafsirkankan analogi tersebutlah yang menjadikannya cacat. Sebagai solusi, penting untuk mengkritisi analogi tersebut, sehingga tidak timbul cacat, ataupun salah interpretasi akannya. Karena, bagaimana manusia berperilaku, merupakan refleksi dari caranya memandang waktu.

Dikarenakan ada hal yang di luar jangkauan manusia, maka, mengelola waktu bukan hanya soal durasi, membuat schedule, ataupun demi mengejar produktifitas di atas segalanya. Akan tetapi, tentang bagaimana moral dan kesadaran diri seseorang dalam menyikapi waktu. Sebagai prinsip, hal ini tidak bisa diabaikan, demi menjalani kehidupan yang bermakna, utuh, dan selaras dengan kodrat rasional manusia. Intinya, waktu bukan sekadar alat untuk mencapai sesuatu, melainkan bagian dari kehidupan yang perlu dijalani dengan penuh kesadaran dan kebajikan.

Oleh: Izza Ajib Sulthony, Santri Mansajul Ulum.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 46 kali

Baca Lainnya

Menyambut Ramadhan: Antara Persiapan Spiritual dan Sosial

25 Februari 2025 - 16:49 WIB

Sejarah Hari Santri Nasional

24 Oktober 2023 - 18:18 WIB

Trending di Opini Santri