Menu

Mode Gelap

kajian keislaman · 23 Feb 2024 13:04 WIB ·

Memahami Shalat dan Permasalahan di dalamnya


 Sumber: id.pinterest.com Perbesar

Sumber: id.pinterest.com

Bagi umat Islam ibadah shalat merupakan ibadah yang paling utama dan sangat berharga, ibadah yang pertama kali Allah SWT wajibkan dan ibadah yang amalnya pertama kali dihisab di hari kiamat. Shalat merupakan rukun Islam yang ke dua setelah membaca dua kalimat syahadat, shalat merupakan tiang agama dalam suatu hadist dikatakan:

الصلاة عماد الدين، فمن أقامها فقد أقام الدين، ومن هدمها فقد هدم الدين

Artinya: Shalat merupakan tiang  Agama barang  siapa  telah mendirikan shalat maka ia telah mendirikan agama dan barang siapa telah meninggalkan shalat maka ia telah merobohkan Agama. ( HR. Al-Baihaqi ).

Kewajiban shalat  menjadi gugur apabila  shalat yang dilakukan telah memenuhi syarat-syarat dan rukunnya. Syarat shalat ialah perkara yang harus terpenuhi sebelum melakukan shalat dan harus selalu ada sampai shalat selesai. Sedangkan rukun shalat ialah perkara yang wajib dilakukan ketika melakukan shalat.

Termasuk salah satu syarat shalat ialah suci dari hadast dan najis.  Oleh karena itu bagi orang yang hendak melakukan shalat harus memastikan bahwa dirinya telah suci dari hadast kecil atau besar dan memastikan tubuh, pakaian, dan tempat yang digunakan untuk shalat telah steril dari najis.

Meski demikian terkadang hal yang tak terduga terjadi di pertengahan shalat seperti kotoran cicak yang tiba-tiba jatuh dari atap dan mengenai pakaian, tiba-tiba ada najis di tempat sholat, dan anak kecil naik di atas punggung orang yang sedang shalat. Lantas bagaimana hukum shalatnya orang yang demikian?

Melihat permasalahan di atas setidaknya ada tiga kasus yang perlu di bahas yaitu: (1) Bagaimana hukum shalat seseorang yang pakaianya tertimpa najis?; (2) Bagaimana hukum shalat seseorang yang tiba-tiba di tempat shalatnya ada najis?; dan (3) Bagaimana hukum shalat seseorang sambil menggendong anak kecil?

Kasus pertama, hukumnya diperinci;

1. Shalatnya batal apabila najisnya masih basah. Hal itu karena  sulitnya seseorang untuk segera membuang najis yang masih basah sebagaimana penjelasan Imam Said bin Muhammad Ba’alawi dalam kitab Busyro Al-Karim:

وتبطل أيضًا بكل مناف عرض له بلا تقصير، وتعذر دفعه حالًا، كتنجسه برطب

Artinya: Shalat menjadi batal juga sebab datangnya perkara yang membatalkan shalat tanpa adanya tindak kecerobohan dari orang yang shalat dan sulit untuk menghilangkanya seketika, seperti terkena najis yang basah. (Said bin Muhammad Ba’alawi,  Busyro Al-Karim, hal. 252)

2. Shalatnya tidak batal apabila najisnya kering. Hal ini karena sangat memungkinkan bagi orang yang bersangkutan untuk segera membuang najis tersebut dengan cara mengibaskanya. Penjelasan ini sebagaimana dalam kitab Busyro Al-Karim:

فإن أمكن دفعه حالًا، كأن كشف عورته ريح، وكذا حيوان كآدمي على ما قاله (ح ل)، أو تنجس نحو ردائه فألقاه، أو نفض النجس اليابس لا بنحو كمه حالًا .. لم يضر، ويغتفر هذا العارض؛ لقلته بخلاف الرطبة

Artinya: Jika memungkinkan seseorang untuk langsung menolak sesuatu yang membatalkan shalat, seperti angin, hewan atau manusia yang telah membuka auratnya, atau selendang yang terkena najis kemudian melemparnya atau mengibaskan najis yang kering seketika, maka hal itu tidak berbahaya (tidak membatalkan shalat). Najis seperti itu bisa di maafkan karena sedikit. Berbeda jika najisnya basah. (Said bin Muhammad Ba’alawi,  Busyro Al-Karim, hal. 252-253).

 

Pada kasus kedua, shalatnya  tetap sah akan tetapi hukumnya makruh karena bersebelahan dengan najis dan ketika rukuk atau sujud harus menghindari najis tersebut sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami di dalam kitab Al-Minhaj Al-Qowim.

ولا يضر محاذاة النجاسة» لبدنه ومحموله «من غير إصابة في ركوع أو غيره»، وإن تحرك بحركته كبساط بطرفه خبث لعدم ملاقاته له ونسبته إليه، نعم تكره الصلاة مع محاذاته كاستقبال نجس أو متنجس

Artinya: Tidak berbahaya (tetap sah) shalat yang bersebelahan (segaris lurus) dengan najis tanpa menyentuhnya ketika rukuk atau lainya meskipun najis tersebut bisa bergerak karena gerakan orang itu, seperti karpet yang diujungnya terdapat najis. Karena tidak adanya persentuhan dengannya. Namun demikian, shalat tersebut dihukumi makruh lantaran bersebelahan dengan najis seperti halnya shalat menghadap najis. (Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhaj Al-Qowim, hal. 50)

Hal itu senada dengan penjelasan Imam Abu Bakar As-Syatho di dalam kitab Hasyiyah I’anatut Tholibin    

وخرج بالاتصال المحاذاة فلا يضر نجس يحاذيه لعدم ملاقاته له، فصار كما لو صلى على بساط طرفه نجس فإن صلاته صحيحة،

Artinya: Dikecualikan dari bertemu dengan najis yaitu bersebelahan dengan najis, maka tidak berbahaya (tetap sah) shalat yang bersebelahan dengan najis karena tidak menempel dengannya, seperti shalat di atas karpet yang ujungnya terdapat najis. (Imam Abu Bakar As-Satho, Hasyiyah I’anatut Tholibin, juz 1 hal. 262).

Pada kasus ke tiga, shalatnya tetap sah jika tubuh atau sesuatu yang dipakai anak kecil itu tidak terdapat najis. Adapun shalat dengan menggendong anak hukumnya itu boleh dan tidak membatalkan sholat berdasarkan salah satu hadis nabi, bahwa Rasulullah pernah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab. Dalam sebuah riwayat disebutkan:

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِي: أَنَّ النَّبِي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتِ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، وَلِأَبِي الْعَاصِ بْنِ رَبِيْعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ، فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا وَإِذَا قَامَ رَفَعَهَا

Artinya: Dari Abu Qatadah al-Anshari: bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dengan menggendong Umamah binti Zainab bint Rasulullah saw, dan Abu al-‘Ash bin Rabi’ah bin Abd Syams. Jika sujud, dia (nabi) meletakkan anak itu, dan jika berdiri, dia menggendongnya kembali. (HR Anas bin Malik).

Terkait hadist di atas Imam Ala’uddin ibnu ‘Atthar di dalam kitab Al-Uddah fi Syarhi Al-Umdah menjelaskan bahwa kebolehan menggendong anak kecil ketika sholat bukan diperuntukkan hanya kepada anak perempuan saja akan tetapi juga kepada anak laki-laki.

الثاني: لم يقل أحد بتخصيص جواز حمل الصبية دون غيرها من الصبيان والرجال وسائر الحيوان في الصلاة إذًا حكمنا بطهارة ذلك كله

Artinya: Kedua, tidak ada seseorang yang mengatakan bahwa hadis ini menunjukkan kekhususan kebolehan menggendong anak perempuan saja di dalam shalat. (Imam Ala’uddin ibnu ‘Atthor, Al-Uddah fi Syharhi Al-Umdah, juz 1 hal. 492)

Kendati demikian, ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam hal ini agar shalatnya tetap sah, yaitu: (1) tentang kondisi anak; dan (2) gerakan orang yang menggendongnya. Anak yang digendong ketika shalat tidak boleh dalam keadaan najis, baik badan maupun pakaiannya. Kedua, tidak boleh ada tiga kali gerakan yang terus-menerus. Jika dua hal ini terpenuhi, maka shalatnya sah.

 بشرط أن يكون ثياب الصبيان وأجسادهم طاهرة وإن الفعل القليل لا يبطل الصلاة وأن الأفعال إذا تعددت وتفرقت لا تبطل الصلاة .. وهو دليل مذهب الشافعي على صحة صلاة من حمل الصبي والصبية في صلاة الفرض والنفل للأمام والمأموم والمنفرد

Artinya: Dengan syarat pakaian anak kecil, dan badannya harus suci. Sesungguhnya, pekerjaan yang sedikit tidak membatalkan shalat. Pekerjaan yang banyak, jika berbilangan dan tidak terus-menerus juga tidak membatalkan shalat (jika terus-menerus, maka batal). Ini adalah dalil dalam mazhab Syafi’I tentang keabsahan shalat seseorang yang menggendong anak laki-laki atau anak perempuan, baik dalam shalat fardhu maupn sunnah, baik bagi imam, makmum, maupun orang yang shalat sendiri. (Musnad As-Syafi’i, Imam Syafi’i, hal.  369).

Semoga dengan bertambahnya pengetahuan terhadap permasalahan-permasalahan di dalam shalat dan hukumnya dapat menjadikan kita lebih mantap dan semangat dalam melakukan ibadah shalat.

Oleh: Muhammad Fackri Bashri, Santri dan salah satu Asatidz Madin Mansajul Ulum.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 482 kali

Baca Lainnya

Merespon Polemik Online Shop (Toko Online) di Era Post Truth

1 September 2023 - 18:47 WIB

Persoalan Niat Puasa Ramadhan

24 Maret 2023 - 23:19 WIB

Trending di kajian keislaman