KAJIAN KEISLAMAN
Kita telah kembali memasuki bulan suci Ramadhan, bulan yang penuh kemuliaan. Sebagai seorang muslim yang bertanggung jawab atas keislamannya, tentu kita musti paham persoalan-persoalan seputar puasa, terlebih terkait niat. Dalam suatu ibadah apapun, niat adalah perkara yang paling fundamental, yang dengannya, suatu ibadah bisa dikatakan sah ataupun tidak. Oleh karenanya, pembahasan terkait “niat” ini menjadi pembahasan yang sangat penting yang harus difahami setiap muslim, khususnya menyangkut keabsahan puasa.
Dalam literatur madzhab kita, madzhab Syafi’i, niat puasa ini diklasifikasikan menjadi dua bagian; niat dalam puasa wajib dan niat dalam puasa sunnah. Bagian yang pertama, masuk di dalamnya puasa Ramadhan dan puasa wajib lainnya, seperti puasa karena nadzar, atau puasa karena qadha’. Skema niat dalam puasa wajib ini juga berbeda dengan tata cara niat dari puasa sunnah, seperti puasa Senin/Kamis. Seorang muslim yang hendak berpuasa wajib, seperti puasa Ramadhan, maka harus niat mulai sejak masuk waktu malam atau sebelum masuk waktu shubuh. Hal ini berbeda dengan niat puasa sunnah yang boleh ditunaikan di siang hari.
Di riwayatkan dari Sayyidah Hafshah -Radhiyallahu ‘Anha-, Nabi SAW bersabda :
من لم يبيت الصيام قبل الفجر فلا صيام له
Artinya, “Barang siapa yang tidak menginapkan niatnya (dalam puasa wajib) sebelum terbit fajar shodiq, maka tidak sah baginya berpuasa.”
Berangkat dari hadits Sayyidah Hafshoh inilah, mayoritas Ulama dari kalangan Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah mewajibkan niat berpuasa di malam hari. Artinya, niat puasa wajib tidak diperkenankan untuk ditunaikan setelah masuk waktu shubuh. (lihat: Maushu’ah Fiqhiyyah, Al-Durar Al-Saniyyah hal 300, juz 1)
يجب تبييت النية من الليل قبل طلوع الفجر (١)، وهو قول جمهور أهل العلم: المالكية (٢)، والشافعية (٣)، والحنابلة (٤)
Berkenaan dengan niat ini, para ulama telah lebih dulu membuat tradisi yang sangat luar biasa dan patut kita syukuri kebermanfaatannya. Dengan dipandu sang Imam setelah usai shalat tarawih, kaum muslimin yang ikut berjamaah dituntun untuk membaca niat puasa secara bersama-sama. Hal ini tak lain adalah bentuk kepedulian mereka kepada kita untuk mengantisipasi terjadinya lupa berniat akibat tidak sempat atau bangun kesiangan. Karena, diakui atau tidak, faktanya lupa berniat ini tak jarang dialami oleh kaum muslimin ketika musim Ramadhan tiba, lebih-lebih bagi kaum muslimin yang berhalangan hadir dalam shalat tarawih berjama’ah.
Lupa Niat Puasa di Bulan Ramadhan
Dalam pengamatan penulis, lupa berniat-ketika hendak berpuasa itu ada dua motif. Pertama, lupa berniat karena tidak ikut serta dalam shalat tarawih berjamaah dan atau bangun kesiangan. Secara hukum, orang yang semacam ini jelas tidak bisa berpuasa. Kalaupun memaksakan puasa, menurut mayoritas Ulama puasanya tidak dikatakan sah. Karena syarat sah puasa adalah adanya niat di malam hari, sebagaimana penjelasan penulis di atas. Sementara dalam kasus tersebut, ia tidak berniat di malam hari dan tidak bangun untuk makan sahur.
Solusi untuk mengantisipasi terjadinya kasus seperti ini, kita bisa bertaqlid pada Imam Malik yang mencukupkan niat puasa Ramadhan di malam pertama saja untuk puasa sebulan penuh. Adapun redaksi niatnya adalah:
نَوَيْتُ صَوْمَ جَمِيْعِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ تَقْلِيْدًا لِلْإِمَامِ مَالِكٍ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى
Artinya, “Aku niat berpuasa di sepanjang bulan Ramadhan tahun ini dengan mengikuti Imam Malik, fardhu karena Allah.”
Bahkan menurut Imam Al-Qolyubi -Rahimahullah- dalam Hasyiahnya, di sunnahkan untuk berniat puasa sebulan penuh pada malam pertama bulan Ramadhan.
وَيُنْدَبُ أَنْ يَنْوِيَ أَوَّلَ لَيْلَةٍ صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ أَوْ صَوْمَ رَمَضَانَ كُلَّهُ لِيَنْفَعَهُ تَقْلِيدُ الْإِمَامِ مَالِكٍ فِي يَوْمٍ نَسِيَ النِّيَّةَ فِيهِ مَثَلًا لِأَنَّهَا عِنْدَهُ تَكْفِي لِجَمِيعِ الشَّهْرِ
Artinya, “Disunnahkan untuk berniat puasa pada malam pertama bulan Ramadhan untuk sebulan penuh, agar bisa berguna baginya ketika ia lupa berniat di kemudian hari, dengan bertaqlid kepada Imam Malik. Karena menurutnya niat puasa Ramadhan cukup dilakukan sekali untuk seluruhnya” (lihat : Hasyiah Al-Qolyubi Juz 2, hal 66).
Jika di hari pertama belum sempat berniat di malam hari, ditambah bangun kesiangan, maka solusinya adalah mengikuti madzhab Imam Abu Hanifah yang memperbolehkan niat puasa ditunaikan sebelum melewati tengah hari. Hal itu sebagaimana yang diuraikan dalam kitab “Ikhtilaf Al-Aimmah Al-Ulama” oleh Ibnu Hubairoh -Rahimahullah:
وقالَ أبُو حنيفَة: تجوز بنيته من اللَّيْل ولَو لم ينْو حَتّى أصبح ونوى أجْزَأته النِّيَّة ما بَينه وبَين الزَّوال
Artinya, “Abu Hanifah berkata: Diperkenan niat puasa di sebagian malam. Jika seseorang belum sempat berniat di malam hari sampai menjelang waktu pagi, kemudian ia niat seketika itu, maka niat yang ditunaikan antara waktu itu dan zawal (dzuhur) telah dianggap mencukupi.”
Pendapat Imam Abu Hanifah ini-pun sempat digunakan sebagai dalil dalam fatwa Dar al-Ifta’ Mesir yang dimuat oleh website resmi YoumSabi sebagai solusi bagi umat Islam yang lupa niat sampai datangnya pagi. Bahkan Dar al-Ifta’ menambahkan pendapat sebagian Ulama Hanafiyah yang mengatakan bahwa niat puasa bisa dilakukan pada siang hari selama belum melakukan perkara-perkara yang membatalkan puasa meskipun telah melewati waktu zawal. Menurut mereka, puasa Ramadhan adalah puasa fardhu yang tidak membutuhkan niat, sehingga ketika seseorang sedari shubuh telah menjalankan ritual puasa sebagaimana umumnya muslim lainnya, serta tidak melakukan perkara-perkara yang membatalkan, maka puasanya tetap sah.
ولم يشترط الأحناف النية في صيام رمضان لكونه صيام فرض ، فما دام قد أدى الصيام بامتناعه عن الطعام والشراب فيكون صومه صحيحًا
Mestinya, jika melihat keberagaman pendapat ini, seorang muslim tetap bisa berpuasa meskipun lupa berniat di malam hari, atau bangun kesiangan yang mengakibatkan tidak menjumpai waktu berniat sebelum shubuh. Bahkan kalaupun sampai melewati waktu zawal dan belum berniat, puasanya bisa terhitung sah menurut sebagian ulama Hanafiyah.
Kedua, lupa niat puasa tetapi makan sahur. Kebanyakan dari kita mungkin pernah mengalami kejadian seperti ini. Biasanya hal itu terjadi karena kita tidak ikut serta dalam shalat tarawih. Tetapi saat sahur tiba, kita bangun untuk makan sahur. Secara nalar, kita bangun untuk makan sahur tentu dalam rangka persiapan menunaikan puasa Ramadhan di keesokan harinya. Oleh karenanya, menurut Imam Baijuri, orang dalam kasus ini dianggap sudah berniat, sebagaimana yang telah ditulis dalam Hasyiahnya (Juz 2, hal 408):
ولو أكل أو شرب؛ خوفا من الجوع أو العطش نهارا، أو امتنع من الأكل أوالشرب أو الجماع خوف طلوع الفجر ؛ فإن خطر بباله الصوم بالصفات التي يشترط التعرض لها … كفى ذلك في النية ؛ لتضمنه قصد الصوم وهو حقيقة النية، وإلا فلا.
Sampai disini tampaknya sudah sangat gamblang, kapan semestinya seorang muslim harus berniat. Jika bisa ditunaikan di setiap malam, tentunya itu yang paling afdhal dan baik, karena pendapat ini disetujui oleh mayoritas Ulama madzhab. Jika kita agak ragu untuk bisa menunaikannya setiap malam, maka Imam Malik menawarkan pendapat yang disetujui kalangan Ulama Syafi’iyyah, yaitu niat puasa selama bulan Ramadhan. Pendapat itu bisa diikuti untuk berjaga-jaga dari kelalailan atau lupa. Jika telah terlanjur tidak mengikuti pendapat di atas dan belum berniat sampai menjelang pagi, kita diperkenankan untuk mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah yang memperbolehkan niat puasa sampai sebelum zawal (dzuhur) tiba. Jika ingatnya setelah dzuhur, maka kita masih punya pilihan terakhir untuk mengikuti fatwa Dar al-Ifta’ yang mengutip pendapat sebagian Ulama Hanafiyyah di atas.
Meski demikian, ketika kita taqlid pada madzhab tertentu, maka etika yang harus dipatuhi adalah mengikuti pendapatnya dalam satu qadhiyah secara keseluruhan, bukan mengambilnya sepotong-sepotong. Misalnya, jika kita lupa untuk berniat ala madzhab Syafi’i, kemudian kita mengikuti madzhab Imam Malik, maka kita musti mengikuti semua perkara yang menyertai keabsahan puasa menurut Imam Malik. Karena itu hal-hal yang membatalkan puasa juga harus mengikuti madzhab Imam Malik, meskipun menurut madzhab Syafi’i tidak membatalkan. Contohnya, makan dan minum tanpa kesengajaan, mungkin menurut madzhab Syafi’i dimaafkan, tapi menurut Ulama Malikiyah hal tersebut membatalkan puasa. Nah, hal-hal semacam ini sangat perlu kita perhatikan dalam berfikih. Sehingga menurut hemat penulis, seorang muslim sebaiknya memang harus berhati-hati dalam urusan agama, terlebih terkait perkara ibadah fardhu, seperti puasa.
Meski demikian bukan berarti tidak diperbolehkan untuk mengikuti pendapat madzhab lain. Apalagi jika hal itu adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan keagamaan orang awam yang notabene masih keberatan untuk berpuasa. Karena dalam urusan fatwa, hukum Maa Qobla al-Fi’l (sebelum terjadi) dan Ma Ba’da al-Fi’l (setelah terjadi ) memang harus dibedakan, apalagi dalam konteks masyarakat awam. Dalam menghadapi masyarakat awam, Abul Mawahib As-Sya’roniy-Rahimahullah- dalam Mizan Kubro-nya tidak mempermasalahkan perpindahan madzhab bagi mereka. Karena kadar keimanan atau keagamaan mereka masih lemah. Ia memperbolehkan untuk menghadirkan pendapat Ulama, meskipun dari luar madzhab. (lihat: hal 8, Khutbah Kitab).
Sebaliknya, bagi orang yang mampu untuk memegang kuat madzhabnya, maka janganlah menurunkan derajatnya layaknya masyarakat awam. Sebagai bentuk kehatian-hatian dalam kasus lupa niat di malam hari, ada baiknya kita, sebagai penganut madzhab Syafi’i, tetap imsak (menahan diri dari makan dan minum sampai waktu berbuka tiba), serta meng-qadha’ puasanya di kemudian hari. Hal itu sebagai konsekuensi kita mengikuti Madzhab Syafi’i.
Lafaz Niat
Niat pada dasarnya cukup dilakukan di dalam hati. Adapun pelafazan niat dengan lisan, itu hanya sebagai pembantu untuk menyuarakan hati. Sehingga, ketika seseorang hanya berniat di dalam hati, maka sudah sangat cukup dan sah hukumnya. Yang perlu difahami pula bahwa yang terpenting dalam niat adalah memahami atas apa yang diniatkan, bukan sekadar kebenaran lafaz arabnya. Karena niat tidak disyaratkan menggunakan Bahasa Arab. Percuma saja kita menggunakan Bahasa Arab dengan gramatika yang benar, tapi tidak tahu maknanya.
Untuk pelafadzan yang paling ringkas, seperti yang dijelaskan oleh Imam Baijuri dalam Hasyiahnya adalah:
نويت صوم رمضان
Artinya, “Aku berniat untuk puasa Ramadhan”
Niat seperti itu sudah cukup. Adapun yang sempurna, menurutnya adalah:
نويت صوم غد عن أداء فرض رمضان هذه السنة لله تعالى
Artinya, “Aku berniat berpuasa esok hari untuk menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Ta’ala”
Semoga di bulan Ramadhan tahun ini, kita senantiasa mampu menunaikan lebih banyak kebaikan dan ibadah, sehingga limpahan rahmat dan ampunan dari Allah SWT bisa menjadi hadiah istimewa untuk kita semua. Amiiiin
Oleh: Kamal Abdillah, alumni Mansajul Ulum tanun 2018 dan mahasiswa Al-Azhar University Kairo).