KOLOM JUM’AT LXIV
Jum’at, 26 November 2022
Tahun 2022 menjadi tahun yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Saya melihat fenomena baru yang menghebohkan panggung media nusantara. Di tahun ini kita menyaksikan geliat baru semangat para perempuan ulama yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka mulai berkumpul dan bergerak bersama dan sinergi. Mereka datang dari berbagai kelompok dengan konsen yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan identitas sebagai Bu Nyai Nusantara. Ada pula yang menggunakan identitas sebagai muballighat. Ada pula yang mengelompokkan diri bersama para qurra’ dan hafidhat. Jika dilihat dari kapasitasnya, secara umum mereka adalah para pemimpin pada komunitasnya masing-masing. Mereka memiliki jama’ah pengajian, santri, maupun majlis taklim. Sebagian besar adalah para pengasuh pesantren yang tersebar di nusantara. Di daerah dan komunitasnya, mereka memiliki pengaruh besar dan menjadi motor penggerak masyarakatnya.
Pada tahun ini kelompok-kelompok besar yang mengumpulkan para Ibu Nyai, muballighat, maupun hafidzat itu secara bergantian menggelar pertemuan besar di tingkat nasional. Bulan Oktober lalu terdapat Silatnas JMQH (Silaturrahim Nasional Jam’iyyah Mudarasatul Quran lil Hafidzat). Awal bulan November 2022 (7-8 November) juga digelar Silatnas Bu Nyai Nusantara ke-3. Sementara itu pada minggu ini (24-26 November) sedang digelar Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang ke-2 di Jepara. Para perempuan ulama ini tampak bersemangat untuk menyuarakan dan merespon berbagai macam masalah kebangsaan, khususnya yang terkait dengan isu-isu perempuan di pesantren dan komunitasnya masing-masing. Fenomena ini menunjukkan adanya kebangkitan baru perempuan-perempuan ulama di nusantara ini.
Penyebutan perempuan ulama disini untuk menegaskan tentang jenis kelamin perempuan. Artinya, kebangkitan baru ini benar-benar dilakukan oleh perempuan-perempuan yang memiliki kapasitas keulamaan. Penegasan ini untuk memahami perbedaan antara ulama perempuan dan perempuan ulama. Dalam pandangan KUPI, ulama perempuan adalah orang-orang yang memiliki kapasitas keulamaan, memiliki akhlak yang baik, dan memiliki perspektif keadilan terhadap perempuan. Definisi tersebut tidak menunjuk kepada jenis kelamin tertentu. Artinya, siapapun, baik laki-laki maupun perempuan, yang telah memiliki kapasitas sebagaimana kriteria diatas, merekalah yang disebut ulama perempuan. Sementara perempuan ulama adalah seseorang yang berjenis kelamin perempuan dan memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni, baik yang memiliki perspektif keadilan terhadap perempuan maupun yang belum. Dalam konteks gerakan para Ibu Nyai di beberapa organisasi tersebut, mungkin lebih tepat saya sebut sebagai perempuan ulama. Karena mereka yang tergabung di dalamnya adalah ulama-ulama yang berjenis kelamin perempuan. Tetapi belum semuanya memiliki perspektif keadilan terhadap perempuan. Berbeda dengan KUPI yang rata-rata diikuti oleh para ulama yang memang sejak awal memiliki kesadaran atas pentingnya perspektif keadilan terhadap perempan.
Meski demikian, saya melihat adanya fenomena yang membanggakan dari geliat baru para perempuan ulama itu. Mereka secara gigih memberanikan diri menembus batas aturan budaya, agama, dan masyarakat yang masih sering membelenggu. Keberanian ini menunjukkan mereka telah menyadari bahwa kehadiran perempuan di wilayah publik sangatlah penting. Pandangan ini barangkali bukan lagi hal yang mewah bagi masyarakat kota yang telah terbuka. Tetapi bagi para Ibu Nyai dan Nawaning, keberanian ini adalah perjuangan besar yang tidak sedikit rintangannya. Rintangan itu datang dari mulai lingkaran terkecil, keluarga, hingga kekuatan besar yang mengatasnamakan agama. Tak sedikit yang akhirnya menyerah dan tak berdaya menghadapi keadaannya. Bahkan meskipun mereka telah memiliki pendidikan tinggi. Masih sangat terngiang dan sulit terhapus dari ingatan saya saat menyaksikan salah satu sahabat perempuanku yang berpendidikan tinggi dan harus merelakan aktifitas publiknya lantaran ganjalan izin suami yang harus ditaatinya. Masih banyak para sahabat-sahabat perempuan yang memiliki kapasitas keilmuan agama yang mumpuni harus mengalah telak untuk menikmati atap rumah dan dapur, lantaran kekhawatiran fitnah. Kekalahan perempuan-perempuan itu bukan karena ia tak mampu bernegosiasi, tetapi karena memang beratnya tembok batas yang harus diperjuangkan. Sementara lingkungan keluarga dan masyarakatnya tidak mendukung.
Karena itu, saya sangat mengapresiasi keberanian dan kemauan para Nawaning dan Nyai-Nyai di pesantren untuk beraktifitas di publik melalui perserikatan dan perkumpulan-perkumpulan apapun. Apalagi munculnya kelompok-kelompok para Nyai dan Nawaning itu dipenuhi dengan deretan kegiatan ilmiah yang mewah. Mereka menggelar bahtsul masa’il, khataman Alquran ratusan kali, menggelar halaqah ilmiah, berdiskusi dalam kelompok-kelompok kecil yang terbatas dan terfokus pada isu-isu tertentu, memimpin persidangan yang serius, dan seminar-seminar yang berbobot. Mereka bukan lagi sibuk memikirkan ‘bagaimana berpenampilan mewah dengan atribut mewah’ sebagaimana yang dituduhkan sebagian kalangan.
Sebaliknya, mereka berpikir serius mendiskusikan permasalahan-permasalahan perempuan yang mereka hadapi langsung di komunitasnya. Mereka memikirkan solusinya dan membangun jejaring untuk bergerak bersama. Bahkan, kelompok-kelompok ini juga sudah mulai menyadari tentang pentingnya membangun perspektif yang adil terhadap perempuan. Di beberapa forum, mereka menghadirkan tokoh-tokoh ulama perempuan, seperti Nyai Nur Rofi’ah, Nyai Badriyah, Nyai Hindun Anisah, dll., untuk memberikan edukasi tentang perspektif keadilan terhadap perempuan. Ini menunjukkan para perempuan ulama itu pelan-pelan telah bergerak menjadi ulama perempuan.
Saya yakin kebangkitan baru ini telah berpengaruh dalam mengubah mindset masyarakat yang melihat ‘keganjilan’ (kalau bukan tabu) istilah ‘ulama perempuan’ menjadi sesuatu yang biasa. Apalagi ketika masyarakat, melalui media, mulai menyaksikan bahwa yang terlibat dalam gerakan-gerakan ulama perempuan itu adalah para Ibu Nyai khash yang telah diakui kealiman dan kearifannya.
Kebangkitan para ulama perempuan ini sekaligus menandai hasil dari Kongres Ulama’ Perempuan Indonesia (KUPI) pertama, lima tahun lalu (2017) yang mendeklarasikan kepada dunia tentang adanya istilah ulama perempuan. Meskipun awalnya istilah itu dianggap ‘aneh’ dan ‘dicurigai’, tapi dalam waktu yang singkat, hasil kongres KUPI ke-1 itu telah berjasa besar terhadap rekognisi atas keulamaan perempuan. Rekognisi itu dibutuhkan dalam rangka membangun kepercayaan diri dan keberanian perempuan-perempuan ulama untuk bergerak dan beraktfitas dalam memberdayakan umatnya di wilayahnya masing-masing.
Selain itu, KUPI juga telah berhasil mengajak masyarakat luas, wabil khusus, para ulama untuk membicarakan isu-isu perempuan dengan melibatkan pengalaman perempuan secara langsung. KUPI telah berjasa menyadarkan masyarakat kembali bahwa permasalahan perempuan tidaklah bisa difahami tanpa melibatkan langsung perempuan. Di sini saya katakan ‘menyadarkan kembali’, karena kesadaran itu sebelumnya telah ada. Salah satunya adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Syafi’i dengan metode istiqro’-nya ketika menjelaskan hukum tentang darah haid dan istihadhah. Di masa itu, Imam Syafi’i telah melakukan metode survei kepada para perempuan untuk mendapatkan gambaran (tashawur) yang baik terhadap masalah perempuan. Tetapi tradisi itu kemudian menghilang berabad-abad oleh sejarah patriarkhi yang menenggelamkan perempuan. Sejarah patriarkhi itu telah melupakan fakta historis yang sangat berharga tentang pentingnya pelibatan pengalaman perempuan dalam penetapan hukum pada kasus-kasus perempuan. Karena itu, fakta ini harus didorong untuk kembali menjadi tradisi yang baik di lingkungan keagamaan, seperti pesantren. Disinilah kebangkitan para ulama perempuan pesantren sangat penting kehadirannya dan harus kita sambut baik. Karena mereka adalah bagian dari subyek penting dalam perubahan di masa depan.
Semangat kebangkitan ulama perempuan nusantara itu semakin nyata kita lihat dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia II di Jepara saat ini. Meluapnya jumlah peserta yang melebihi kapasitas maksimal kuota dari seluruh propinsi di Indonesia serta banyaknya peserta dari luar negeri menjadi bukti nyata atas penerimaan publik terhadap eksistensi ulama perempuan. Antusiasme mereka itu juga menunjukkan harapan masyarakat yang sangat tinggi akan kehadiran ulama perempuan sebagai penegak keadilan untuk mewujudkan kemaslahatan untuk semesta. Wallahu a’alam bisshawab***
Oleh: Umdah El Baroroh, Pendamping Santri Mansajul Ulum.