Menu

Mode Gelap

Kolom Jum'at · 25 Apr 2025 11:13 WIB ·

Tradisi Jabat Tangan, Bagaimana Menurut Syari’at?


 Sumber: detik.com. Perbesar

Sumber: detik.com.

KOLOM JUM’AT CXXII
Jum’at, 25 April 2025

Belum lama kita merayakan Hari Raya Idul Fitri. Hari raya ini merupakan momentum tahunan yang sangat dinanti oleh umat Islam. Selain sebagai penanda berakhirnya bulan Ramadan, Idul Fitri juga menjadi simbol kembalinya manusia pada fitrah. Di dalamnya terdapat tradisi khas yang tersebar luas di berbagai wilayah muslim, khususnya di Indonesia, yaitu berjabat tangan sambil saling mengucapkan maaf. Tradisi berjabat tangan ini dilakukan kepada sanak saudara, para tetangga dekat kita, termasuk juga para tamu. Baik itu laki-laki dengan sesama jenisnya atau lawan jenis yang mahram dan tidak mahram.  Kemudian hal ini memunculkan sebuah pertanyaan: apakah tradisi ini memiliki dasar dalam syariat Islam? Bagaimana para ulama fiqh memandang tradisi ini?

Jabat tangan biasanya dikenal dengan istilah mushafahah. Secara bahasa, mushafahah berarti menyentuhkan telapak tangan dengan tangan orang lain sebagai bentuk salam atau sapaan. Dalam syariat, berjabat tangan atau mushafahah merupakan perilaku yang menjadi bagian dari adab Islami yang mengandung nilai kasih sayang dan memperkuat ukhuwah. Karenanya ia sangat dianjurkan, seperti apa yang telah dijelaskan dalam salah satu hadits Rasulullah SAW.:

عن البراء بن عازب رضي الله عنه قال : قال رسول الله
«مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ، إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا»
)رواه أبو داود والترمذي ، وقال: حديث حسن(

“Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan, melainkan akan diampuni dosa keduanya sebelum mereka berpisah.”

Di hari raya Idul Fitri, umat Islam di Indonesia terbiasa berjabat tangan sebagai bentuk memaafkan dan mempererat hubungan silaturahmi. Namun, apakah amalan ini disyariatkan secara khusus? Atau sekadar kebiasaan sosial yang diperbolehkan?

Para ulama fiqh membedakan antara:

  • Ibadah murni (ibadah mahdhah) yang harus memerlukan dalil syar’i.
  • Adat kebiasaan (al-‘adat) yang bisa dihukumi berdasarkan tujuan dan bentuknya.

Penjelasan itu sesuai dengan kaedah yang dijelaskan dalam kitab Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah wa Tathbiiqotuha fi Al-Madzahib Al-Arba’ah:

الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
عند الجمهور.: الأصل فيها التحريم حتى يدل

“Hukum asal atas suatu hal adalah diperbolehkan hingga ada dalil yang menunjukkan atas keharamannya.”

Jadi, selama berjabat tangan di hari raya tidak diyakini sebagai bagian dari ibadah khusus yang diajarkan Rasulullah SAW, maka hukumnya boleh, bahkan dianjurkan jika tujuannya mempererat persaudaraan. Lebih tegasnya, kita bisa melihat pendapat-pendapat para ulama madzhab berikut ini:

  1. Mazhab Hanafiyah

Berjabat tangan (mushafahah) saat bertemu antara sesama muslim selama tidak diyakini sebagai ibadah yang ditetapkan pada waktu tertentu itu diperbolehkan, bahkan sangat dianjurkan. Jika diyakini sebagai ibadah, maka hal itu dianggap bidah.

قال ابن عابدين في رد المختار (2/418):
“وأما المصافحة عقب الصلوات فبدعة، إلا إن كان على وجه المودة لا على أنها سنة.”

“Adapun berjabat tangan setelah salat adalah bid‘ah, kecuali jika dilakukan karena kasih sayang dan tidak diyakini sebagai sunnah (dari rasul).”

Jadi secara umum, mushofahah disunnahkan saat pertemuan biasa, tapi tidak boleh dikaitkan dengan ibadah khusus kecuali ada dalilnya.

  1. Mazhab Malikiyah

Mushafahah disunnahkan saat bertemu, dan merupakan bagian dari adab Islam yang baik. Namun, jika dilakukan dalam waktu atau cara tertentu tanpa dasar dari syariat, maka tidak disyariatkan.

قال الإمام مالك في المدونة (1/227):
المصافحة سنة عند اللقاء، ولا بأس بها

“Mushafahah adalah sunnah ketika bertemu, dan tidak apa-apa jika dilakukan.”

قال ابن عبد البر في التمهيد (5/239) :
“المصافحة حسنة عند اللقاء، وقد فعلها الصحابة رضي الله عنهم”

“Mushafahah adalah perbuatan yang baik saat pertemuan, dan telah dilakukan oleh para sahabat.”

  1. Mazhab Syafi’iyah

Mushafahah disunnahkan setiap kali bertemu antara sesama muslim, dan tidak masalah jika dilakukan setelah shalat atau pada momen tertentu selama tidak diyakini sebagai ibadah tetap.

قال النووي في المجموع شرح المهذب (4/515) :
المصافحة مستحبة عند كل لقاء، وقد جاءت بها أحاديث صحيحة”

“Mushafahah disunnahkan saat setiap pertemuan, dan telah datang hadits-hadits shahih tentangnya.”

وجاء في تحفة المحتاج (2/125) :
تسن المصافحة لمن حضر وقدِمَ من سفر أو لم يره مدة، وتكره لمن هو معه دائمًا إن اعتقد أنها سنة”

“Disunnahkan mushafahah bagi orang yang datang dari berpergian atau tidak bertemu lama, dan makruh jika dilakukan dengan orang yang selalu bersamanya jika diyakini sebagai sunnah tetap.”

  1. Mazhab Hanabilah

Mushafahah dianjurkan saat bertemu, karena adanya riwayat yang menjelaskan, dan merupakan bentuk bagian dari ukhuwah. Namun mereka juga melarang jika dikaitkan dengan waktu ibadah tertentu tanpa dalil, seperti setelah shalat.

قال ابن قدامة في المغني (3/21) :
يستحب عند التلاقي المصافحة، لما ورد من الأخبار بذلك. وأما عقب الصلاة فليست من السنة”

“Disunnahkan mushafahah saat bertemu, berdasarkan hadits-hadits yang ada. Adapun setelah salat, maka itu bukan dari sunnah.”

وقال المرداوي في الإنصاف (2/378) :
المصافحة سنة عند اللقاء، وتركها خلاف الأولى”

“Mushafahah adalah sunnah saat pertemuan, dan meninggalkannya adalah menyalahi keutamaan.”

Kemudian dalam hal mushafahah antara lawan jenis yang tidak mahram, ulama empat madzhab bersepakat tentang keharaman hal tersebut, walaupun dalam suasana hari raya.  Seperti yang sudah dijelaskan dalam kitab al-Adillah al-Syar’iyah al Tahrim Mushafahah al-Mar’ah al-Ajnabiyah:

“اتفق علماء الأمة من السلف والخلف من أهل التفسير والحديث والفقه وغيرهم على تحريم مصافحة المرأة الأجنبية ولم يعرف لهم مخالف على مر العصور والأزمان”
“وهذه أقوال العلماء في هذه المسألة من أتباع المذاهب الأربعة وغيرهم يبينون فيها أن مصافحة المرأة الأجنبية حرام شرعًا للأدلة التي سنذكرها الخ…”

Dari Sayyidah Aisyah R.A meriwayatkan:

وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ رواه البخاري

“Demi Allah, tangan Rasulullah SAW tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali.”

Tetapi jika perempuan yang diajak berjabat tangan adalah perempuan yang sudah tua, terdapat pendapat yang membolehkan. Hal itu seperti yang ditegaskan oleh Wahbah al-Zuhaili dalam Kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Beliau menyatakan bahwa mayoritas ulama, kecuali madzhab Syafi’i membolehkan mushafahah dengan perempuan tua yang tidak mahram.

Syekh Ali Jum’ah dalam fatwanya yang dilansir di laman Dar al-Ifta’, Mesir juga menyatakan bahwa persoalan mushafahah dengan perempuan yang tidak mahram terdapat perbedaan pendapat.

مصافحة الرجل للمرأة الأجنبية محل خلاف في الفقه الإسلامي؛ فيرى جمهور العلماء حرمة ذلك، إلا أن الحنفية والحنابلة أجازوا مصافحة العجوز التي لا تُشتَهَى؛ لأمن الفتنة… بينما يرى جماعة من العلماء جواز ذلك؛ لما ثبت أن عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه صافح النساء لمَّا امتنع النبي صلى الله عليه وآله وسلم عن مصافحتهن عند مبايعتهن له، فيكون الامتناع عن المصافحة من خصائص النبي صلى الله عليه وآله وسلم

Artinya, “Jabat tangan seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya menjadi arena perbedaan pendapat ulama dalam kajian fiqih Islam. Mayoritas ulama memandang haram praktik itu kecuali madzhab Hanafi dan Hanbali yang membolehkan praktik itu terhadap perempuan tua yang tidak lagi membangkitkan syahwat karena aman dari fitnah… Ketika sebagian ulama membolehkan praktik itu berdasarkan riwayat bahwa Sayyidina Umar RA berjabat tangan dengan perempuan di mana Rasulullah SAW menahan diri dari praktik tersebut, maka penahanan diri Rasulullah dari praktik itu dipahami sebagai bagian dari kekhususan Nabi Muhammad SAW,” (Lihat Syekh Ali Jumah, Darul Ifta, [Mesir, Darul Ifta: 2011], nomor 2287).

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa tradisi mushafahah di hari raya ini merupakan wujud dari semangat ukhuwah dan cinta kasih dalam Islam. Selama tidak melanggar prinsip-prinsip syariat dan tidak diyakini sebagai ibadah khusus, maka ia menjadi bagian dari al‘urf as sahih (kebiasaan yang baik) dengan ketentuan:

  • Tidak diyakini sebagai ibadah yang ditetapkan
  • Dilakukan dengan tujuan untuk menjaga tali silaturrahmi agar selalu terjaga
  • Dilakukan dengan sesame jenis atau sesama mahramnya, kecuali jika kepada perempuan tua yang tidak menimbulkan fitnah.

Penulis: Aknaz Makhfiya, Santri Mansajul Ulum.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 194 kali

Baca Lainnya

Regulasi Fiqih dalam Transaksi Uang Kripto

9 Mei 2025 - 16:31 WIB

Tradisi Ketupat: Sejarah dan Makna Filosofis

11 April 2025 - 14:55 WIB

Tantangan Santri dalam Menghadapi Era Society 5.0

28 Maret 2025 - 15:54 WIB

Brain Rot: Problem Baru di Era Digitalisasi

14 Maret 2025 - 18:22 WIB

Bahayanya Khitan Perempuan

28 Februari 2025 - 18:00 WIB

Tantangan Santri Menjadi Mahasiswa di Perguruan Tinggi

14 Februari 2025 - 17:21 WIB

Trending di Kolom Jum'at