KOLOM JUM’AT CVI
Jum’at, 6 September 2024
Sudah hampir satu abad penuh umur negara Indonesia ini telah berjalan. Dihitung sejak saat proklamasi kemerdekaannya dari kolonialisme pada tahun 1945 silam. Silih berjalanya waktu, gerakan-gerakan transformasi secara terus menerus pun telah menghiasi masa-masa orde lama hingga era reformasi saat ini, guna mewujudkan cita-cita negara Indonesia sebagai negara yang maju dan berkelanjutan.
Namun, di balik kenyataan eksplisit itu semua, ternyata masih ditemukan hal-hal kontradiksi yang mau tak mau harus diakui bersama. Walaupun negara Indonesia ini secara fisik telah merdeka sepenuhnya, akan tetapi secara riil ternyata masih terdapat sebagian masyarakat yang merasakan belenggu bekas peninggalan kolonialisasi zaman dahulu. Dipandang dari luar, dampak dari bekas kolonialisasi saat ini memang tidak semenakutkan seperti halnya era penjajahan Belanda ataupun Jepang, yang mana kejadian tersebut sampai memakan korban jiwa. Akan tetapi, jika diteliti lebih mendalam, bekas-bekas kolonialisasi saat ini ternyata sama membahayakannya dengan era kolonialisasi yang dulu pernah terjadi. Lantaran keadaan tersebut dapat melumpuhkan, serta membatasi kebebasan berfikir masyarakat Indonesia. Salah satu belenggu yang masih eksis saat ini adalah bayang-bayang feodalisme yang tengah mencengkram keberlangsungan sistem pendidikan di Indonesia.
Dalam persepektif sejarah, feodalisme merupakan suatu mata rantai dari sistem hubungan kemasyarakatan antara kelas tuan tanah dan kelas budak yang terjadi di Eropa. Kejadian tersebut bermula dikisaran pertengahan abad IX sampai pada abad XV. Dikarenakan didalam sistem feodalisme terdapat pembedaan strata sosial antara pemilik tanah dan si penggarap, maka pada gilirannya feodalisme akan mempolakan suatu bentuk penghambaan dari si budak atau penggarap tanah kepada tuan tanah, yang implikasinya akan membentuk status superioritas dan inferioritas. Selain itu, hal tersebut terjadi juga disebabkan lantaran kebergantungan buta para kelas budak kepada para kelas tuan tanah atau bangsawan.
Kembali lagi ke era sekarang, sebenarnya pola feodalisme yang mana dulu juga sempat hinggap di Indonesia, kini telah berganti corak dengan pola yang sama sekali berbeda, yakni pola pensakralan serta taklid buta antara murid kepada guru dalam suatu ruang lingkup pendidikan. Lebih tepatnya di lembaga-lembaga pendidikan yang masih memegang teguh ajaran-ajaran konservatisme yang menganggap guru sebagai penyampai ilmu, sementara siswa diposisikan sebagai objek yang diam. Sehingga hal tersebut seakan menjadikan kepasifan murid dalam berpikir.
Gambaran sederhananya mengenai feodalisme yang terjadi dalam ruang lingkup pendidikan saat ini adalah apabila seorang guru tengah memaparkan materinya di hadapan para siswa, maka seperti biasa, siswa akan mendengarkan, memperhatikan serta menerima apa yang ia dengar dengan seksama tanpa melakukan penalaran atau validasi, apakah materi yang gurunya sampaikan itu sudah valid atau belum. Sehingga akibatnya murid hanya stagnan menerima serta taklid buta tanpa mengetahui causalitas dan filosofisnya. Hal tersebut terjadi lantaran terdapat pola feodalisme yang memposisikan murid sebagai objek inferior yang hanya dapat menerima transferan pengetahuan, serta anggapan apa yang disampaikan guru pasti benarnya. Secara tak disengaja, keadaan semacam ini sama saja kita mematikan serta membatasi siswa untuk mengembangkan pikiran dan penalarannya.
Pola feodalisme dalam dunia pendidikan semacam ini, seakan membuat image terhadap kelas, dimana guru aktif dalam menyampaikan, sedangkan siswa pasif dalam melakukan pemikiran, padahal di sisi lain, salah satu orientasi dari suatu pendidikan adalah untuk mengembangkan pikiran manusia. seperti apa yang telah diucapkan oleh William Deresiewicz, bahwa“The true purpose of education is to make mind”. Sedangkan apabila kita melihat pola pendidikan yang feodalis, itu sangatlah kontradiksi dengan tujuan diadakannya pendidikan. Karena seperti di penjelasan sebelumnya. Dalam pendidikan yang feodalis siswa seakan dipaksa mendengar tanpa diberi space untuk bersuara, mengutarakan pendapat atau bahkan berdialektika dengan guru. Padahal hal-hal tersebut merupakan mediasi atau cara bagi siswa untuk mengembangkan pikiran, serta memunculkan pemahaman-pemahaman baru yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Seperti apa yang telah dipaparkan sebelumnya, gambaran feodalis seperti inilah yang masih terasa di dalam pendidikan Indonesia, terkhusus di tempat-tempat dimana konservatisme yang menjunjung tinggi nilai-nilai sopan santun terhadap guru sangat di kultuskan. Sehingga konsekuensinya, jika ada seorang murid yang berbeda pendapat dengan guru, seketika ia akan diklaim tidak sopan. Padahal sebenarnya siswa hanya ingin memastikan kevalidan pemahamannya. Apakah pemahaman yang ada di dalam benaknya ini sudah benar atau belum.
Oleh karena itu, untuk menuju (SDM) sumber daya masyarakat Indonesia yang benar-benar berkualitas dan merdeka, maka kita perlu membebaskan sistem pendidikan di Indonesia dari bayang-bayang feodalisme terlebih dahulu. Lantaran, pendidikan merupakan hal yang sangat urgent dalam pengembangan masyarakat. Kita perlu memastikan, apakah sistem pendidikan yang dipakai di negara kita ini sudah sesuai dengan tujuan? Serta apakah pendidikan yang dienyam oleh masyrakat ini sudah sesuai dengan eksistensi pendidikan itu sendiri atau belum? Dalam artian, sistem pendidikan yang mampu mengarahkan siswa ke arah berpikir kritis yang dibersamai dengan dialektika, tanpa menjadikan siswa sebagai objek yang tertindas dengan cara hanya mendapatkan transferan ilmu dari guru sebagaimana seperti sistem pendidikan gaya bank.
Penulis kira, sebenarnya hal ini merupakan salah satu problematika yang perlu untuk disadari bersama, guna menjawab secara esensial, apakah negara ini benar-benar sudah terbebas dari kolonialisme atau belum. Lantaran, tidak mungkin kita membebaskan masyarakat dari belenggu feodalisme dengan hanya mengandalkan kesadaran dari segelintir orang saja. Melainkan seluruh elemen masyarakat harus sadar, terkhusus yang berposisi sebagai guru dan murid untuk saling bersinergi dalam membuat suatu lingkup pendidikan yang terbebas dari taklid buta, kepasifan serta kebisuan dalam mengekspresikan pendapat. Wallahu a’lam bisshawab.
Oleh: Ahmad Ainun Niam, Santri Mansajul Uum.