KOLOM JUM’AT LXIII
Jum’at, 18 November 2022
Mendengar kata fiksi, mungkin pikiran yang ada dalam benak kita akan terbayang pada cerita khayalan, rekaan atau suatu yang bersifat imajinasi belaka. Seperti novel, roman, cerpen dan lain sebagainya. Memang benar, bahwa karya fiksi adalah karya imajinatif yang bersumber dari khayalan. Pada intinya karya fiksi tentu bukanlah sebuah karya ilmiah yang berisi paparan suatu pembahasan atau penelitian secara ilmiah, seperti skripsi, tesis, disertasi, artikel jurnal, atau opini.
Masyarakat umum, khususnya para pemuda dan pelajar, sekarang cenderung lebih menyukai bacaan karya fiksi, seperti novel, roman, cerpen, dan puisi, dibandingkan membaca karya ilmiah. Sementara kita tahu bahwa karya-karya fiksi itu hanya memuat pembelajaran yang sangat minim. Pada akhirnya para pembaca pun hanya akan memperoleh pengetahuan yang minim juga. Kebiasaan itu mengakibatkan mereka enggan untuk bergumul dengan karya-karya ilmiah. Mereka menjaga jarak dari tulisan-tulisan ilmiah, karena menganggap bahwa tulisan ilmiah itu lebih sulit untuk difahami dari pada tulisan fiksi. Tentu saja hal seperti itu dapat menurunkan level kualitas bacaan seseorang menjadi lebih rendah.
Menyikapi hal tersebut, ada beberapa penulis yang memiliki ide cerdas untuk menjadikan karya fiksi sebagai media pembelajaran terhadap fakta-fakta ilmiah. misalnya, kita dapat mengamati buku-buku fiksi yang ditulis oleh para penulis dari Barat. Mereka memiliki cara cerdik dalam mengelabuhi para haters tulisan ilmiah. Salah satu yang dilakukan adalah mengkombinasikan antara tulisan fiksi dan ilmiah. Seperti yang telah dilakukan oleh seorang guru filsafat di suatu sekolah, sekaligus penulis novel dari Norwegia yang bernama Joastin Gaarder. Dirinya menyadari jika pelajaran filsafatnya tidak diminati oleh khalayak umum. Karena pelajaran tersebut cukup sulit untuk dimengerti. Maka ia mencoba menulis sebuah novel yang di dalamnya mengandung pelajaran-pelajaran filsafat. Ia menceritakan filsafat dalam novelnya yang berjudul Shopie’s World. Novel tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Dunia Shopie. Banyak orang yang menyanjungnya karena kecerdasanya dalam menjelaskan filsafat dalam bentuk cerita yang mudah difahami. Pada akhirnya novel Joastin [Dunia Shopie] ini mengantarkanya meraih kepopuleran internasional. Novel tersebut bahkan sudah diterjemahkan ke dalam enam puluh bahasa dan terjual lebih dari empat puluh juta eksemplar.
Selain Shopie’s World, Joastin juga memiliki novel lainya yang tak kalah menarik dari sebelumnya. Seperti novelnya yang berjudul Dunia Anna. Novel tersebut mengisahkan seorang gadis enam belas tahun yang bernama Anna dan kekasihnya, Jasson, yang dituntut oleh Nova cucunya sendiri di masa depan untuk mencari cara mencegah kepunahan Flora dan Fauna yang diakibatkan oleh pemanasan global di zamannya. Di situ Joastin juga menceritakan kisah romance yang disukai oleh anak-anak muda serta penjelasan-penjelasan sains yang ilmiah.
Selain Joastin Gaarder ada pula penulis besar dari Amerika yang bernama Dan Brown. Dirinya dianggap sebagai seorang yang sangat jenius karena keberhasilanya memadukan antara sejarah agama dan seni dalam bentuk novel yang berjudul The Da Vinci Code. Buku tersebut menceritakan pemecahan kode yang tersembunyi dalam lukisan-lukisan legendaris seorang seniman dari Italia, Leonardo Da Vinci. Ia juga menyertakan sejarah agama yang kontroversi. Sehingga buku tersebut banyak digemari oleh berbagai kalangan karena lebih mudah dimengerti. Bukunya tersebut juga menjadi buku best seller nomor satu di dunia internasional. Selain The Da Vinci Code ia juga menulis novel fiksi tentang sains dan agama dalam bentuk novel juga. Seperti novel fiksinya yang berjudul Angels and Demons, Deception Point dan Inferno.
Dari situ kita dapat mengambil pelajaran bagaimana cara cerdik para penulis buku-buku fiksi di Barat dalam mentransformasikan temuan-temuan ilmiah melalui buku-buku fiksi. Cara yang mereka lakukan adalah dengan pengkombinasikan antara karya imajinasi dan fakta ilmiah. Tujuannya tentu saja adalah untuk memudahkan para pembaca awam dalam memahami teori-teori ilmiah yang dianggap rumit dan sulit. Di Indonesia sendiri, sebenarnya kita juga memiliki para penulis fiksi yang melakukan hal yang sama. Salah satu diantaranya adalah Pramoedya Ananta Toer, YB. Mangun Wijaya, Ayu Utami, dan lain-lain. Ada pula penulis novel di era milenial yang cukup fenomenal baru-baru ini, yaitu Ning Hilma Anis. Novelis perempuan dari pesantren ini termasuk melakukan upaya transformasi nilai budaya melalui karya-karya fiksi. Novelnya yang berjudul Wigati adalah novel budaya yang sarat dengan kajian antropologi. Bahkan novel ini merupakan hasil penelitian panjang tentang kebudayaan wayang di Jawa. Tetapi Ning Hilma berhasil menuliskannya menjadi karya sastra yang sangat indah dinikmati para pembaca dari kalangan muda.
Dengan membaca karya-karya fiksi semacam itu, kita, anak-anak muda, tidak perlu lagi takut untuk ketinggalan pengetahuan. Kita bisa memulai belajar karya ilmiah melalui karya fiksi. Setelah kita mendapatkan pengetahuan dari sana, kita akan tingkatkan untuk mulai merambah karya ilmiah tanpa harus ada rasa takut maupun benci. Pada intinya belajar itu bisa dilakukan dari manapun dan dimanapun. Yang terpenting adalah ada kemauan!
Oleh: Ahmad Ainun Niam, Santri Mansajul Ulum.